ANALIS MARKET (18/02/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, penurunan obligasi diperdagangan kemarin (17/2) cukup dalam.
Penurunan kemarin merupakan yang terdalam dalam kurun waktu sejak January 2021.
Tentu hal ini memberikan sebuah tanda tanya, ada apa dengan pasar obligasi?
Apakah ini merupakan sebuah rasa pesimis bahwa Bank Indonesia belum akan menurunkan tingkat suku bunganya terus obligasi ngambek?
Mungkin saja pemirsa, apa yang tidak mungkin di dunia, mungkin saja terjadi di pasar. Kehati-hatian merupakan salah satu modal yang terpenting saat ini.
Kami cukup bersyukur bahwa kami merekomendasikan jual kemarin, semoga masih bisa dijual di harga tinggi ya pemirsa, sebelum akhirnya menyerok kembali di harga terendah.
Penurunan masih berpotensi berlanjut hari ini pemirsa, namun mungkin akan ada Bank Indonesia yang akan membuat pasar menunggu sebelum melanjutkan penurunan.
Apabila ternyata beritanya positive, tentu penurunan bukan berarti tidak mungkin berubah menjadi penguatan. Secara variable, mulai dari Rupiah dan inflasi yang memiliki korelasi paling positive, tentu masih memberikan ruang dan kesempatan bagi Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga.
Namun secara momentum, mungkin saja hal tersebut tidak terjadi karena di rasa Bank Indonesia belum tepat.
Kami percaya Bank Indonesia akan memantau situasi dan kondisinya hingga Q1 2021 sebelum akhirnya memutuskan apakah akan di lakukan pemangkasan tingkat suku bunga atau tidak. Kalau ternyata hari ini di pangkas, mungkin Bank Indonesia mau kasih kita hadiah valentine di bulan yang penuh cintah ini pemirsa.
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Kamis (18/2) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas hingga Bank Indonesia mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya.
“Kami merekomendasikan jual hari ini,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Kamis (18/02/2021).
Adapun cerita di pagi hari ini akan kita awali dari;
1.SEBUAH SURAT DARI THE FED
Dalam sebuah surat yang berjudul, FOMC minutes meeting pada bulan January lalu, beberapa pejabat The Fed mengatakan bahwa mereka membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum pada akhirnya The Fed mengurangi program pembelian obligasi. Hal ini bukanlah sesuatu yang tabu untuk kita bahas, namun justru harus kita bahas agar kita diminta bersiap apabila saatnya tiba. Memang saat ini perekonomian Amerika masih jauh dari kata pulih, dan membutuhkan beberapa kemajuan substansial yang lebih lanjut untuk dicapai oleh The Fed. Perekonomian yang masih jauh dari kata pulih inilah yang merupakan sebuah gambaran pesan yang dovish. The Fed juga mengatakan bahwa pasar tenaga kerja saat ini masih sangat jauh dari level yang diharapkan, karena hingga saat ini hampir 10 juta pekerjaan masih dibawah level yang berlaku sebelum pandemic wabah virus corona di mulai. Prospek vaksinasi yang mulai diberikan kepada masyarakat di Amerika terus menambah spekulasi investor terkait dengan kapan The Fed akan melakukan pengurangan program pembelian obligasinya yang dimana saat ini masih berjalan dengan nominal $120 miliar per bulan. Beberapa Presiden Fed daerah juga mengatakan bahwa ada kemungkinan program pembelian tersebut akan dipangkas di akhir tahun 2021 jika ternyata perekonomian berjalan lebih baik dari yang diharapkan. Pembicaraan mengenai Taper Tantrum terus dibahas sejak kejadian 2013 silam, ketika Bank Sentral berfikir bahwa program pengurangan pembelian obligasi akan mampu mengguncang pasar dan memukul perekonomian. Khususnya negara berkembang yang saat ini tengah berada dalam fase pemulihan dan berusaha kembali bangkit. Ketidaksiapan inilah yang membuat kekhawatiran, bahwa fase pemulihan belum mencapai tahap yang sempurna, tapi sudah harus dihadapkan dengan program pengurangan obligasi khususnya bagi negara Emerging Market seperti Indonesia salah satunya. Dan tentu saja, kalau kita ingat pada tahun 2013 silam, kita dengan situasi dan kondisi normal saja mengalami tekanan yang sangat hebat. Bagaimana sekarang ketika situasi dan kondisi abnormal, apakah kita mampu untuk menanggung tekanan kembali? Gejolak, sudah pasti terjadi. Bicara mampu itu lain lagi. Saat ini target dari The Fed adalah lapangan kerja penuh ditambah dengan target inflasi 2%. Masalahnya adalah imbal hasil US Treasury sudah mulai mengalami kenaikkan terlebih dahulu karena adanya ekspektasi dan harapan pemulihan yang pasti akan terjadi. Tidak hanya itu saja, naiknya imbal hasil memberikan suatu asa bahwa stimulus dari Biden akan keluar pada akhir bulan nanti, ditambah dengan bantuan dari Kongres Demokrat yang akan mengesahkan langkah langkah bantuan fiscal untuk mempercepat fase pemulihan ekonomi. Para pelaku pasar dan investor sejauh ini menyatakan bahwa prospek program vaksin masih berjalan dengan sangat baik, stimulus yang siap untuk diberikan meskipun belum tahu itu kapan, memberikan sebuah proyeksi bahwa perekonomian jangka menengah pun ikut membaik. Meskipun secara target jangka panjang, perekonomian masih jauh dari kata pulih karena masih diiringi dengan tingginya tingkat ketidakpastian. Para Gubernur Bank Sentral memberikan perhatian lebih kepada beberapa variable bebas yang dapat meningkatkan inflasi dalam kurun beberapa bulan mendatang karena vaksinasi akan terus mendorong meningkatkan kekebalan dalam populasi, sehingga mendorong perekonomian untuk dibuka kembali yang tentu saja akan menyebabkan inflasi. Inflasi yang timbul nanti akan ada 2, sementara atau selamanya. Ini akan menjadi perhatian, karena masih ada variable yang tidak pasti terkait dengan pemulihan. Oleh sebab itu kami melihat bahwa prosesnya masih sangat panjang, penyebaran vaksin bukan berarti semua perekonomian akan membaik seperti membalikkan telapak tangan. Keamanan dan kenyamanan masih akan menjadi sebuah pilihan bagi masyarakat untuk mulai melakukan konsumsi untuk mendorong daya beli yang membangkitkan ekonomi.
2.SECANGKIR KOPI BERSAMA BI
Menjelang RDG BI pada hari Kamis pelaku pasar cukup mencermati kebijakan tersebut . Hal ini tergambarkan pada pergerakan IHSG yang cukup terbatas dalam satu pekan terakhir dimana pelaku pasar membutuhkan trigger guna memperjelas arah dari IHSG. Berdasarkan konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, Bank Indonesia diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps dari 3.75% menjadi 3.5%. Sejalan dengan penurunan yang diproyeksikan tersebut, suku bunga pinjaman dan simpanan juga diproyeksikan mengalami penurunan sebesar 25 bps. Jika mengacu pada inflasi bulan Januari yang berada di 1.55% memang terdapat ruang yang cukup bagi suku bunga untuk dapat turun sebesar 25 bps. Inflasi inti yang turun cukup signifikan dari level tertingginya sejak Maret 2020 memberikan focus yang besar terhadap pemerintah dan juga bank sentral untuk mengembalikan daya beli masyarakat yang hilang sebagai dampak dari pandemi. Terlebih bulan February diproyeksikan adanya perlambatan pada inflasi, hal tersebut seiringan dengan pengetatan aktivitas yang masih berlangsung. Berdasarkan consensus ,inflasi bulan February diproyeksikan berada pada 1.4% atau lebih rendah dibandingkan bulan January 2021. Tentu hal ini memberikan harapan bagi pelaku pasar untuk Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga acuan saat ini dimana peran dari kebijakan moneter diharapkan dapat menopang pertumbuhan dari riil sektor. Fokus Bank Indonesia dalam membantu sektor bisnis untuk berekspansi juga ikut mengalami tekanan yang cukup besar dimana indeks keyakinan bisnis masih belum pulih, sehingga hal tersebut memberikan tekanan pada perlambatan kredit sepanjang 2020. Kinerja kredit bulan Desember mengalami perlambatan sebesar -2.4% YoY, tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi pelaku pasar dimana dukungan dari Bank Sentral terkait penurunan suku bunga belum dapat memberikan kepercayaan para pelaku usaha untuk dapat berekspansi. Pertanyaannya cukup sederhana pemirsa, apakah dengan adanya penurunan tingkat suku bunga “lanjutan” merupakan langkah yang efektif ditengah situasi dan kondisi seperti saat ini? Ruang memang masih terbuka, dan tentu saja harapan untuk pemangkasan tingkat suku bunga masih ada. Namun kalau tidak efektif terhadap penurunan tingkat suku bunga dasar kredit juga menurut kami akan sia sia. Kami dan pelaku pasar serta investor lainnya tentu berharap bahwa tingkat suku bunga dapat turun, namun saat ini itu merupakan prioritas kedua bagi kami. Prioritas pertama kami justru adalah menanti seorang kekasih, eh bukan pemirsa. Tapi menantikan surat sakti dari Bank Indonesia terkait dengan kebijakan transparansi net interest margin perbankan. Hal ini menjadi cikal bakal dasar bagi perbankan untuk memberikan tingkat suku bunga kreditnya. Bank Indonesia tentu tahu betul bahwa bisnis perbankan di Indonesia merupakan yang termanis seantero dunia. Tapi ditengah situasi dan kondisi saat ini yang dimana merupakan fase pemulihan, kebangkitan dari pandemic, semua pihak tidak hanya memikirkan keuntungan semata. Dan perbankan merupakan salah satu sector sentral untuk melakukan stimulus kredit yang mampu membantu Indonesia untuk dapat pulih, khususnya bagi sector UMKM yang dimana memberikan kontribusi terbesar. Oleh sebab itu, tentu saja kami berharap Bank Indonesia dapat segera mengeluarkan surat sakti tersebut, dan tidak ada salahnya bukan, bank sesekali mengeluarkan tingkat suku bunga kredit rendah bukan hanya untuk bank itu sendiri, tapi juga untuk pemulihan ekonomi Indonesia. NPL tetap menjadi perhatian utama, resiko tetap tidak bisa dihilangkan. Namun kami percaya, setiap resiko yang ada harus dikelola agar tetap terjaga. Dan disanalah tugas perbankan untuk menjaganya. Yuk, sembari menikmati secangkir kopi, tidak ada salahnya menanti BI.

