ANALIS MARKET (07/6/2021) : IHSG Berpeluang Bergerak Bervariatif dengan Potensi Menguat Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pada perdagangan hari Jum’at, 04/06/2021 lalu, IHSG ditutup melemah 26 poin atau 0.43% menjadi 6.065. Sektor transportasi logistik, industry dasar, industrial, property, consumer non siklikal, energi, Kesehatan, consumer siklikal, keuangan bergerak negative dan menjadi contributor pada penurunan IHSG. Investor asing membukukan pembelian bersih sebesar 265 miliar rupiah.

“Berdasarkan analisa teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak bervariatif dengan potensi menguat terbatas dan ditradingkan pada level 6.004 – 6.103. Arus akan berubah dengan sangat cepat, perhatikan setiap situasi dan kondisi yang terjadi,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (07/6/2021).

Adapun cerita di awal pekan ini akan kita awali dari;

1.BANK SENTRAL EROPA

Berbicara Bank Sentral Eropa, ternyata mereka akan bertemu lho pada pekan ini. Sesuatu yang sebetulnya pelaku pasar dan investor tidak terlalu peduli, tapi sayang apabila pertemuan mereka di lewatkan. Lho kok tidak peduli, memang kenapa? Soalnya, Bank Sentral Eropa jarang beraksi, bisanya cuma narasi :D. Nah kali ini mereka akan berkumpul untuk berdiskusi terkait dengan apakah mereka akan memperpanjang pembelian obligasi darurat yang sebelumnya mereka sudah lakukan atau tidak, karena apapun yang mereka pilih, hal ini akan menentukan sejauh mana pemulihan ekonomi di Eropa akan terjadi. Sejauh ini, pemulihan ekonomi telah memasuki tingkat keyakinan yang lebih kuat dari sebelumnya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. PMI mengalami lonjakan paling tinggi sejak 2008, dan inflasi secara perlahan tapi pasti mulai mengalami kenaikkan. Para pembuat kebijakan melihat bahwa situasi dan kondisi yang terjadi saat ini masih kurang memperlihatkan tanda tanda pemulihan ekonomi. Kebijakan ultra longgar masih diperlukan untuk mendorong fase pemulihan dari krisis yang disebabkan oleh Covid 19. Perekonomian Eropa yang masih rapuh inilah yang membuat kebijakan dan stimulus yang sudah diberikan akan sangat sulit untuk diakhiri. Resiko inflasi masih akan menghantui, sama seperti kasus di Bank Sentral Amerika, hal ini yang akan diwaspadai oleh Bank Sentral Eropa. Lagarde sendiri tentu akan membahas mengenai proyeksi inflasi, meskipun kita semua tahu, begitupun dengan Lagarde yang akan mengatakan bahwa itu semua hanyalah sementara. Beberapa negara yang melakukan lockdown juga diperkirakan akan mulai mengalami perbaikan ekonomi ketika pelonggaran aktivitas di berlakukan. Namun Bank Sentral Eropa di harapkan dapat terus berbuat lebih banyak untuk menjaga stimulusnya, menjaga situasi dan kondisi agar lending menjadi bagian yang tetap menguntungkan. Terkait apakah Bank Sentral Eropa akan melakukan perubahan terhadap stimulusnya atau tidak, itu akan dapat kita nantikan pada pertemuan mereka selanjutnya. Inflasi memang akan menjadi perhatian, dan akan selalu begitu. Tapi tidak akan ada pemulihan ekonomi kalau tidak ada kenaikkan inflasi. Bank Sentral Kanada diperkirakan juga akan mulai untuk melakukan kebijakan moneter begitupun dengan Bank Sentral Rusia, tapi kembali lagi, itu semua barulah hanya proyeksi ditengah situasi dan kondisi yang panas terkait dengan pemulihan ekonomi. Karena bagi mereka, untuk menjaga inflasi, maka kebijakan moneter pun tentu harus beradaptasi karena para Bank Sentral merasa bahwa perekonomian mulai menunjukkan overheating, meskipun menurut kami masih belum terlalu terlihat. Namun bagi Yellen, dirinya tidak terlalu memikirkan inflasi yang begitu di khawatirkan bagi banyak orang. Kementrian Keuangan Amerika terus mendorong agar Biden dapat terus maju untuk dengan rencana stimulus besarnya senilai $4 triliun, sekalipun rencana tersebut akan mendorong kenaikkan inflasi hingga tahun depan, dengan tingkat suku bunga yang akan melakukan penyesuaian. Yellen mengatakan bahwa apabila rencana stimulus besar tersebut akan menyebabkan tingkat suku bunga menjadi lebih tinggi, tentu hal tersebut justru akan menjadi nilai tambah dari sudut pandang masyarakat dan Bank Sentral Amerika. Bagi Yellen, inflasi yang mengalami kenaikkan dalam beberapa bulan terakhir, merupakan anomaly sementara yang muncul akibat pandemic, hal tersebut sama seperti rantai pasokan dan lonjakan pengeluaran yang mengalami kenaikkan akibat dibukanya kembali perekonomian. Yellen yakin, setiap stimulus yang di berikan memang akan menyebabkan kenaikkan inflasi, namun itu hanya sementara dan akan memudar tahun depan. Amerika telah berjuang untuk melawan inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah selama dalam kurun 1 dekade, dan saat ini kami ingin mereka kembali ke dalam lingkungan yang normal, dan tentu saja hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk imbuh Yellen. Kementrian Keuangan tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak akan menyerah untuk memperjuangkan paket stimulus berikutnya, lagipula stimulus tersebut sebetulnya merupakan investasi secara langsung yang digunakan untuk memenuhi kebutuhkan ekonomi Amerika yang sudah berlangsung lama. Yellen pun berhasil menyakinkan para Bank Sentral dan Mentri Keuangan yang bergabung dalam kelompok G7 pada conference call kemarin dimana mereka akhirnya sepakat, bahwa inflasi yang mengalami kenaikkan, hanya bersifat sementara. Berbicara tentang keyakinan, apa yang diyakini oleh Yellen tentu di amini juga oleh Powell yang dimana dirinya merupakan sosok yang begitu sangat yakin bahwa kenaikkan inflasi hanyalah sementara. Powell akan terus menyakinkan para pelaku pasar dan investor bahwa The Fed akan terus mendukung pemulihan ekonomi dengan tidak mengubah tingkat suku bunga hingga 2023. Tapi kita bicara mengubah tingkat suku bunga lho, bukan berarti pengurangan obligasi tidak berjalan untuk menuju normalisasi bukan? Oleh sebab itu pertemuan Bank Sentral Eropa akan menjadi saksi sejauh mana mereka berkomitment untuk melakukan dukungan terhadap pemulihan ekonomi, tapi pertemuan Bank Sentral Amerika, akan menjadi saksi sejauh mana Bank Sentral The Fed akan memegang teguh perkataanya.

2.SEPAKAT!!!

Akhirnya nih pemirsa, setelah berdiskusi sekian lama, G7 akhirnya sepakat untuk menerapkan pajak minimum setidaknya 15% atas pendapatan global bagi perusahaan, serta membuka jalan bagi negara negara dimana perusahaan tersebut menghasilkan keuntungan dapat di kenakan pajak. Kesepakatan tersebut merupakan sebuah jalan pertama untuk melakukan pembaharuan peraturan pajak internasional yang tidak mengalami perubahan sejak 1 abad silam. Kesepakatan ini tentu merupakan sebuah jalan pertama, karena masih banyak yang harus di selesaikan, terutama negara negara yang ingin ikut bersama menandatangani kesepakatan tersebut dan proses implementasinya bisa memakan waktu bertahun tahun. Kementrian Keuangan Amerika, Yellen mengatakan bahwa kesepakatan tersebut merupakan sebuah langkah dan keputusan yang tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga menjadi sebuah kesepakatan yang sangat penting saat ini. Yellen mengatakan bahwa apa yang kita lihat saat ini merupakan sebuah kebangkitan multilateralisme, dimana semua negara G7 dan G20 bekerja sama untuk mengatasi krisis yang saat ini sedang di hadapi oleh perekonomian global. Oleh sebab itu pemirsa, kita harus focus pada pertemuan G20 mendatang di Italia pada bulan July, serta pembicaraan jangka panjang OECD dimana ada 140 negara berpartisipasi. Kesepakatan pajak merupakan sebuah momentum penting bagi semua pihak, karena disatu sisi bagi perusahaan teknologi akan menjadi sebuah aturan main yang jelas dimana mereka harus membayar pajak. Diskusi terkait dengan pajak ini merupakan sesuatu yang diperjuangkan selama 4 tahun di semua forum Eropa dan Internasional, dan pada akhirnya peraturan mengenai pajak ini mengalami kemajuan meskipun belum di implementasikan. Hanya satu pesan yang berkesan bagi kami dari Kementrian Irlandia yang dimana dirinya mengatakan bahwa kesepakatan seperti apapun dengan tarif minimum, haruslah memenuhi kebutuhan negara kecil dan berkembang. Tentu ini menjadi sesuatu yang sangat positive bahwa ini bukan saja mengenai pajak, tapi sesuatu yang juga dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan dampak yang diberikan terhadap perkembangan bisnis kedepannya karena akan mempengaruhi pemulihan ekonomi.

3.MUNGKIN TERJADI

Dampak dari diterapkan kebijakan lockdown Malaysia direspon positif oleh pergerakan harga CPO yang saat ini kembali dalam trend penguatan. Ketidakpastian karena pembatasan dinilai akan memperburuk kekurangan tenaga kerja yang saat ini sudah menurun, hal tersebut diproyeksikan dapat berdampak pada penurunan produksi di tengah naiknya permintaan dunia. Selain itu, momentum kenaikan harga CPO juga didorong oleh kenaikan harga minyak kedelai di bursa Chicago dan Dalian. Harga minyak kedelai menguat karena eksportir terbesar yaitu Brasil mengalami kekeringan parah yang menghambat produksi. Bahkan, Pemerintah Brasil telah mengeluarkan peringatan darurat air yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, ekspektasi pemulihan permintaan juga tengah mendukung pasar. China, saat ini sebagai importir minyak sawit terbesar kedua di dunia, telah meningkatkan pembelian setelah penurunan persediaan domestik ikut mendorong harga dan meningkatkan margin keuntungan importir. Terjaganya harga CPO di atas 3.800 dinilai dapat berdampak positif bagi kinerja ekspor Indonesia, sehingga dengan sentiment tersebut diharapkan dapat menopang kinerja perekonomian di kuartal II tahun ini. Tentu saja target pertumbuhan ekonomi pada Q2 2021 diharapkan dapat tercapai di atas 5%, karena ini akan menjadi bekal yang sangat baik untuk mendukung pemulihan ekonomi kedepannya. Kekhawatiran tentu saja ada ditengah meningkatnya kasus Covid 19, namun selama optimis menjaga, kami melihat bahwa perekonomian dapat tetap berjalan bersanding dengan kesehatan.