ANALIS MARKET (19/4/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Bergerak Variatif

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, naiknya harga obligasi kemarin, karena adanya penurunan imbal hasil US Treasury yang mendorong harga obligasi dalam negeri juga turut mengalami penguatan.

Namun apakah ini akan berlanjut atau tidak, mungkin akan sedikit tertahan pada pekan ini. Pertemuan Bank Indonesia pada pekan ini, diikuti dengan pertemuan Bank Sentral Eropa menjadi sebuah perhatian tersendiri bagi pelaku pasar dan investor saat ini.

Kami masih melihat Bank Indonesia masih akan menahan tingkat suku bunga mereka untuk sementara waktu, setelah sebelumnya terjadi pemangkasan 25 bps.

Apabila memang di butuhkan, tentu Bank Indonesia masih memiliki amunisi sebesar 25 bps lagi untuk memangkas tingkat suku bunga mungkin pada kuartal 3 atau 4 nanti. Proyeksi perekonomian dari bank Indonesia sendiri juga akan mencuri perhatian, ditengah banyaknya proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal 2 2021 yang dimana merupakan harga mati untuk bisa mencapai 7%.

Akan menjadi perhatian tersendiri bagaimana pemerintah dapat mengejar pertumbuhan ekonomi, karena tentu ini akan mempengaruhi pergerakan saham dan obligasi kedepannya.

Dari Bank Sentral Eropa sendiri mungkin tidak perlu di khawatirkan pemirsa, karena gitu gitu saja keputusannya, tidak ada sesuatu yang menarik dari Bank Sentral Eropa.

Sejauh ini, data PMI Composite, Service, dan Manufacturing di Eropa berpotensi turun.

Lambatnya distribusi vaksin akan menjadi salah satu alas an kenapa pemulihan di Eropa berjalan dengan sangat lambat.

Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, pasar obligasi berpotensi akan dibuka bervariatif hari ini dengan rentang pergerakan 35 – 50 bps. Naik dan turunnya pasar obligasi dikarekanakan adanya lelang obligasi pada esok hari.

“Hati hati ya pemirsa, ekspektasi inflasi di Amerika untuk 1y mulai mengalami kenaikkan kembali hingga ke titik 1.7%. Kami merekomendasikan beli,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (19/4/2021).

Adapun cerita di awal pekan ini akan kita awali dari;

1.CHINA IS BACK

Perekonomian China kembali membuktikan bahwa bangkitnya China bukan menjadi sesuatu yang bisa diremehkan oleh banyak pihak. Meskipun pemulihan masih dalam kategori struggle, namun China terus melangkah dengan penuh keyakinan bahwa mereka akan menjadi negara pertama yang memimpin fase pemulihan. Dimana akhirnya seperti yang di proyeksikan IMF bahwa China dan Amerika akan memimpin fase pemulihan dunia. GDP China begitu luar biasa pemirsa, naik dari sebelumnya 6.5% menjadi 18.3% secara YoY untuk Q1 2021. Secara YTD YoY naik dari sebelumnya 2.3% menjadi 18.3%. Retail Sales naik melebihi proyeksi consensus dimana Retail Sales berada di posisi 34.2% lebih tinggi dari konsensus 28%. Data ini memberikan sebuah gambaran bahwa China telah hampir kembali ke jalan yang benar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di tahun ini, dan kami melihat bahwa Q2, Q3, dan Q4 masih akan memberikan kesempatan kepada China untuk menjadi lebih baik. Tentu ini menjadi keuntungan tersendiri untuk kita, karena China dan Amerika kedua negara yang menjadi pemimpin dalam perubahan merupakan mitra dagang jajaran 4 terbesar untuk Indonesia. Tentu ini akan mendorong kita sebagai mitra dagang untuk mendapatkan dorongan positive dari negara yang telah pulih. Pemulihan perekonomian tahun lalu dipimpin oleh investasi yang kuat pada sector real estate dan infrastructure yang mendorong permintaan barang barang industry, sementara itu pesanan mengenai barang barang medis seperti masker, apd, dan electronic mendorong eksport China mengalami peningkatan. Sebelumnya penjualan ritel melemah, sekarang penjualan ritel menunjukkan kenaikkan yang berarti bahwa ada peningkatan konsumsi di sana. Kenaikkan industry kontruksi akan memberikan lebih banyak multiplier effect terhadap konsumsi rumah tangga ke depannya. Secara rata rata pertumbuhan ekonomi dalam kurun 2 tahun, GDP telah naik 5% pada kuartal tersebut, sementara investasi dalam infrastructure telah naik 2.3%. Apakah hanya dalam negeri yang bergejolak pemirsa? Tentu tidak, datangnya investasi dari luar negeri yang masuk ke China hampir 40% pemirsa, atau sekitar $45 miliar dalam kuartal pertama 2021 yang dimana nilai tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2002 silam. Meskipun pemulihan ekonomi China struggle, tapi kami melihat hal tersebut sesuatu hal yang wajar. Apapun sektornya, pemulihan satu sector tentu akan memberikan multiplier effect kepada sector berikutnya. Industri jasa sendiri terlihat masih lemah pemirsa, membuktikan bahwa pemulihan masih akan mengalami hambatan, meskipun kedepannya kami melihat bahwa industry jasa pasti akan pulih. Kalau kita mau bandingkan pemirsa, data GDP ekonomi Q1 sekarang, dengan data GDP ekonomi sebelum Corona 2019 silam, pada tahun 2019 lalu GDP China Q1 hanya tumbuh 10.3%, berbeda dengan pertumbuhan GDP Q1 2021 tahun ini yang kenaikkannya begitu luar biasa, meskipun output industry masih belum pulih sepenuhnya. Satu satunya yang harus di khawatirkan adalah berkurangnya dukungan kebijakan moneter Bank Sentral China terhadap pemulihan tersebut. Memang benar, Bank Sentral China tidak akan melakukan perubahan yang signifikan dalam dukungan moneternya namun pengetatan lebih awal masih sangat memungkinan terjadi. Apalagi Bank Sentral China telah meminta exposure terhadap pinjaman mulai di kurangi, sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan penggelembungan asset. Apalagi kenaikkan harga rumah yang mengalami pertumbuhan tercepat dalam kurun waktu 7 bulan, membuat China akan lebih waspada terkait hal tersebut. Kami berharap bahwa Bank Sentral China membiarkan terlebih dahulu pemulihan berlangsung hingga tuntas, sebelum melakukan perubahan kebijakan yang justru dapat mempengaruhi proses pemulihan tersebut. Perekonomian masih akan pulih, hanya saja seberapa cepat proses itu terjadi pemirsa. Apalagi China juga terus mendorong distribusi vaksin dan dapat diberikan kepada masyarakatnya agar pemulihan dapat berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan. Perekonomian akan terus mencoba meraih momentum pada Q2 mendatang, namun jangan lupa kebijakan moneter dan fiscal kami harapkan dapat mendukung pemulihan China tersebut, agar proses tersebut dapat selesai dengan baik.