ANALIS MARKET (30/12/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, ternyata kenaikkan yang terjadi di pasar obligasi memang untuk mewujudkan sebuah penurunan, yang dimana mungkin akan turun lebih dalam.

Dan berbahagia tentunya bagi mereka yang sudah menjual sebagian portfolionya dan bersiap untuk memindahkan kepada obligasi yang berdurasi jangka lebih pendek dan tentunya harga lebih murah.

Menjaga potensi pendapatan juga bisa kita dapatkan dari deposito sementara waktu untuk menunggu waktu dan moment yang tepat untuk kembali masuk ke dalam pasar obligasi.

Ini menjadi penting untuk menjaga volatilitas pasar pada tahun mendatang.

Namun, kabar baik tentu saja datang dari potensi kehadiran dana masuk dari Tax Amnesty 2022 mendatang. Dengan jumlah dana yang masuk tidak main-main, tentu hal ini berpotensi untuk memberikan soft-landing bagi pergerakan harga obligasi yang kian mengalami penurunan.

Fokus utamanya adalah memperhatikan dan memetakan, mana saja yang Bank Sentral di dunia yang hawkish dan dovish.

Hal ini menjadi penting karena sebagai sebuah catatan, pemulihan tidak merata. Tatkala pemulihan tidak merata, maka sikap Bank Sentral pun tidak akan sama.

Oleh sebab itu, kami melihat, penting bagi kita untuk memetakan dan memilah mana yang akan memberikan pengaruh terhadap pasar kita.

“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas. Kami merekomendasikan jual,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Kamis (30/12/2021).

Adapun kisah pagi ini akan kita awali dari;

1.APA KABAR INDIA?

Lama tak bersua mengenai India, yuk kali ini kita membahas mengenai India. Sejauh mana sih, India akan berusaha untuk memulihkan perekonomiannya? Nah, Bank Sentral India kemungkinan besar akan mulai memperlambat normalisasi pengaturan kebijakan moneternya, hal ini tampaknya sama seperti yang dilakukan oleh China pemirsa. Pasalnya nih, semua pejabat yang berkepentingan di India, menginginkan sebuah kepastian akan pemulihan ekonomi yang terjadi hingga tuntas. Para pembuat kebijakan sendiri bertekad untuk menjaga sikap moneter saat ini untuk mencapai pertumbuhan dimasa yang akan datang. Gubernur Bank Sentral India, Shaktikanta Das mulai menyerukan kebijakan yang terkoordinasi terhadap pandemi, karena Omicron saat ini mampu untuk memberikan dampak terhadap melambatnya perekonomian di masa yang akan datang. Oleh sebab itu kebijakan yang akomodatif akan kembali digunakan oleh Bank Sentral India untuk memberikan dukungan yang lebih besar terhadap perekonomian India. Dibandingkan Bank Sentral lainnya, tampaknya Bank Sentral India belum akan memulai untuk menaikkan tingkat suku bunganya. India sendiri tengah mempertimbangkan apakah akan melakukan penguncian yang lebih ketat atau tidak. Michael Debabrata Patra, Wakil Gubernur Bank Sentral India serta anggota Komite Kebijakan Moneter mengatakan bahwa kurva Phillips mulai terlihat mendatar, yang dimana hal ini merupakan sebuah gambaran akan hubungan pekerjaan dengan upah serta untuk menyimpulkan bahwa kondisi permintaan masih cukup lemah. Hal inilah yang membuat Bank Sentral India akan memberikan kebijakan yang mempermudah perekonomian dalam kurun waktu beberapa bulan mendatang. Meskipun Bank Sentral India mempertahankan proyeksi pertumbuhannya untuk tidak berubah sebesar 9.5% pada tahun ini, namun Bank Sentral India memperkirakan adanya fase ekspansi yang mulai melambat menjadi 7.8% pada tahun depan. Inflasi akan mulai mengalami kenaikkan pada periode January – March sebelum akhirnya stabil dalam 2 kuartal berikutnya di 5%. Target inflasi berada di 2% - 6% dimana masih menyisakan ruang untuk mendukung pertumbuhan. Cadangan devisa yang hampir $650 miliar akan memberikan ruang yang lebih besar bagi pembuat kebijakan untuk dapat melindungi pemulihan ekonomi khususnya dari volatilitas yang akan datang pada tahun depan tatkala The Fed menaikkan tingkat suku bunga. Bank Sentral India juga sejauh ini akan terus mengawasi kelebihan likuiditas dalam jumlah yang besar di dalam system perbankan. Likuiditas diperkirakan akan mengalami peningkatan sekitar 6 triliun rupee atau $80 miliar selama tahun fiscal 2023 dan 2024. Dengan likuiditas sebesar ini, tentu system keuangan India akan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi yang diperlukan, namun terlalu besar juga bukan merupakan sesuatu yang baik. Oleh sebab itu menyeimbangan kembali likuiditas akan menjadi point penting disini. Perbankan di India menaruh dananya dalam bentuk RBI hampir senilai 954 miliar rupee dengan dengan tingkat bunga 3.35%. India terus berusaha untuk mendorong perekonomiannya, mengawal, hingga memastikan bahwa proses pemulihannya bisa pulih dari dampak yang di sebabkan oleh pandemi. Fokus utamanya adalah, sejauh mana India memastikan likuditas di pasar tercukupi, memberikan kebijakan yang menopang pertumbuhan ekonomi, dan yang terpenting adalah memberikan ruang bagi industry untuk tetap tumbuh dengan bauran kebijakan fiscal dan moneter. Pemulihan yang tidak merata pada tahun depan akan menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi pelaku pasar dan investor, namun lebih baik pulih namun tidak merata daripada tidak ada yang pulih sama sekali bukan? Oleh sebab itu, perbedaan sikap kebijakan Bank Sentral di berbagai negara pada tahun depan, akan menjadi salah satu point yang harus diperhatikan, pasalnya tentu akan memberikan dampak juga terhadap nilai dari mata uang itu sendiri.

2.TEPUK TANGAN!!

Penerimaan pajak yang telah mencapai 100.19% dari target 2021 tentu meningkatkan kepercayaan diri pelaku pasar terhadap kinerja dari pemerintah. Hal ini seiring dengan tantangan dari pandemi yang saat ini masih menjadi hambatan pada laju perekonomian dalam negeri dimana kinerja positif tersebut dapat menjadikan indikasi bagi pemulihan riil sektor. Indonesia mencatatkan penerimaan pajak Rp1.231,87 triliun dari target untuk tahun 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Jika mengacu pada data historis terkait penerimaan pajak tersebut, capaian 2021 itu menutup kondisi shortfall atau penerimaan pajak yang di bawah target selama 12 tahun berakhir. Indonesia terakhir kali mencatatkan penerimaan pajak di atas target pada 2008. Capaian penerimaan pajak pada 2008 yang melebihi target sangat terbantu oleh program sunset policy. Sementara pada 2021 belum terdapat berbagai dukungan penerimaan karena program tax amnesty jilid II baru berlaku pada 2022. Pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 17% per November 2021 merupakan yang tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Penerimaan yang melewati target seiring dengan kinerja penerimaan yang mampu pulih dengan kuat. Berdasarkan jenis pajaknya, penerimaan pajak tahun ini ditopang oleh pajak pertambahan nilai (PPN) yang tumbuh 19,8%. Kinerja tahun ini ditopang industri pengolahan dengan kontribusi 22,9% dan perdagangan yang berkontribusi 22,1%. Naiknya harga komoditas dinilai berdampak positif bagi naiknya perolehan pajak pada tahun ini. Berdasarkan data dari Kementrian Keuangan, penerimaan pajak dari sektor pertambangan pada November 2021 tumbuh 219% naik signifikan dari Oktober 2021 yang tumbuh 114,7%. Kinerja itu melanjutkan catatan penerimaan pajak dari pertambangan pada kuartal III/2021 yang tumbuh 306,2% YoY. Pada tahun ini pelaku pasar mengkhawatirkan adanya shortfall dimana pandemic yang tak kunjung selesai menjadi hambatan pada laju pemulihan ekonomi. Hal tersebut juga disampaikan oleh Kementerian Keuangan yang memperkirakan bahwa shortfall akan mengecil karena kondisi perekonomian yang mulai pulih.