BKPM dan Pengusaha Sepakat Tak Menjual Bijih Nikel Pada 2020
Pasardana.id - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) serta Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sepakat untuk menghentikan ekspor bijih (ore) nikel pada 2020.
"Pengusaha penambang dan smelter telah satukan tekad dan sepakat bergandeng tangan kami tidak mau ekspor ore (bijih) mulai 1 Januari 2020," kata Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (12/11/2019).
Meski begitu, pihaknya tetap membuka keran ekspor hingga akhir Desember 2019 kepada perusahaan yang telah memenuhi sejumlah persyaratan.
Syarat ini, salah satunya dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
Perusahaan yang tidak bisa memenuhi persyaratan harus puas memasarkan hasil produksi bijih nikelnya di dalam negeri. Produksi bijih nikel tersebut bisa dimanfaatkan untuk smelter yang sudah eksisting.
"Terkait urusan ekspor ore sampai Desember (2019), monggo yang memenuhi syarat, yang tidak memenuhi syarat akan dibeli dalam negeri," kata dia..
Lebih lanjut dia menyebut, setidaknya ada 47 perusahaan yang hadir dalam pertemuan itu. Dari 37 perusahaan ini, ada 9 perusahaan yang akan melakukan ekspor hingga batas waktu 1 Januari 2020.
Mereka juga telah mengantongi izin ekspor dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sementara 2 perusahaan lain yang juga telah mengantongi izin Kemendag, tengah dikaji oleh BKPM untuk bisa mengekspor.
Bahlil berkesimpulan 26 perusahaan tersebut dan para penambang nikel sepakat untuk mengolah ore di smelter dalam negeri.
Bahlil juga mengklaim, perusahaan ini memiliki kesadaran sendiri untuk menghentikan ekspor lebih awal, bukan karena paksaan dari pemerintah.
"Ada 37 perusahaan yang punya smelter. Ada sembilan perusahaan yang sudah terverifikasi, dua perusahaan masih abu-abu karena sedang proses verifikasi. Sedangkan sisanya 26 perusahaan saya anggap hanya mau diserap dalam negeri karena belum kasih konfirmasi ke saya," ucapnya.
Adapun harga US$ 30 per metrik ton ini yang disepakati, merupakan hasil dari harga internasional dikurangi ongkos kirim, transit, dan pajak. US$ 30 per metrik ton merupakan harga maksimal, yang hanya berlaku hingga tanggal larangan ekspor 1 Januari 2020.
Lebih lanjut Bahlil mengakui, rapat berikut pembahasan harga ini sempat memanas karena adanya banyak perbedaan pendapat.
“Tapi berakhir dengan lembut,” kata dia.
Bahlil juga mengatakan, kesepakatan harga US$ 30 ini merupakan keputusan secara mufakat dan musyawarah. Ia percaya diri, kesepakatan ini tidak memerlukan Surat Keputusan (SK) segala.
Sebagai seorang mantan pengusaha, Bahlil mengatakan, dalam bisnis, banyak kesepakatan yang tidak dituangkan dalam surat, tapi tetap berjalan.
“Ga usah lagi bicara surat menyurat, intinya, kami pengusaha nikel sepakat tidak ada lagi ekspor ore di 2020,” tandasnya.

