Jokowi-JK Perlu Merombak Tim Ekonomi

foto: istimewa

Pasardana.id - Jokowi-Jusuf Kalla perlu merombak atau reshuffle kabinet tim ekonomi. Langkah tersebut dinilai penting demi menyelamatkan ekonomi Indonesia. 

"Tim ekonomi harusnya dirombak, karena gagap menghadapi situasi pelemahan ekonomi. Sejak 2015, pertumbuhan ekonomi berkisar 5%," ujar Pengamat Ekonomi Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.

Hasil kinerja kabinet ekonomi -- terlihat dari performa ekonomi Indonesia -- dinilai tidak mampu bersaing. Bahkan, kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina.

Adapun, kabinet ekonomi yang dimaksud adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution dan anggotanya seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

Di bawah kendali Sri Mulyani, rasio utang Indonesia terus naik. Sementara ketergantungan asing di kepemilikan utang menciptakan capital outflow. Hal itulah yang dituding menjadi cikal bakal ekonomi Indonesia menjadi rentan. 

Tidak hanya Menkeu, dari sisi perdagangan pun demikian.

"Khususnya (reshuffle) Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, karena gagal meningkatkan nilai ekspor dan menjaga impor," tegas Bhima. 

Menurutnya, Mendag Enggar terlalu gampang membuat lisensi impor. Sementara kebijakan pemerintah seharusnya berdasarkan data yang valid. Di sisi lain, Mendag seharusnya bisa melakukan perluasan penetrasi pasar ekspor ke negara alternatif dengan meningkatkan koordinasi antar kementerian untuk menggenjot ekspor. 

Sementara, ekspor pangan juga bermasalah sehingga muncul polemik impor beras.

"Impor ini yang berisiko kuras devisa dan melemahkan Rupiah," ujar Bhima. 

Untuk menyelesaikan masalah ekonomi, lanjutnya, dibutuhkan menteri ekonomi yang bisa fokus menyelesaikan masalah struktural seperti defisit transaksi berjalan.

Soal penjelasan Rupiah melemah cukup Bank Indonesia (BI) yang punya otoritas berbicara.

"Jangan terlalu banyak menteri yang bicara soal rupiah karena memperburuk sentimen pasar," tegasnya. 

Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lesu. Sejumlah rapor indikator ekonomi masih merah. BI memproyeksikan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke III-2018 di bawah 5,2%.

Hal senada juga diproyeksikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang memprediksi hanya pada angka 5,1%. Kedua angka tersebut di bawah ekspektasi kuartal sebelumnya. Sementara angka tersebut juga jauh dari target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah dalam R-APBN 2018 di posisi 5,4%. 

Dari sisi pasar finansial, nilai tukar Rupiah menerabas level psikologi baru di level Rp15.000 per US$. Seakan kompak dengan Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup merah pada Rabu (03/10), yaitu 5.867,73.

Sementara itu, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada Agustus 2018 mengalami defisit sebesar US$1,02 miliar.  Adapun, posisi ekspor Indonesia pada Agustus 2018 sebesar US$15,82 miliar, angka tersebut turun 2,90% dari realisasi di Juli 2018 US$16,24 miliar. Apabila dibandingkan dengan Agustus 2017, maka laju ekspor terjadi kenaikan 4,15% yang sebesar US$15,19 miliar.

Nilai impor pada Agustus 2018 tercatat US$16,84 miliar, turun 7,97% dari posisi Juli 2018 sebesar US$18,30 miliar. Namun, bila dibandingkan dengan impor Agustus 2017 tercatat naik 24,65% dari  US$13,51miliar.