ANALIS MARKET (23/7/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi masih memiliki kekuatan untuk meroket to the moon.
Nah, sesuai yang kami prediksi, ternyata tingkat suku bunga Bank Indonesia juga tidak berubah. Oleh sebab itu, kami yakin bahwa pasar obligasi masih akan melanjutkan penguatan.
Nah, sejauh ini penguatan dari pasar obligasi masih terus mengalami kenaikkan meskipun perlahan, tapi pasti. Memang untuk obligasi 15y sudah mulai mengalami penurunan, tapi kami melihat bahwa penurunan ini merupakan sesuatu yang wajar, karena tentu obligasi berdurasi jangka pendek dan panjang akan menjadi pilihan utama ditengah situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Pendek untuk meredam volatilitas, dan panjang untuk memaksimalkan keuntungan.
Pasar obligasi juga masih diperkirakan naik hari ini. Pasalnya, Bank Sentral Eropa kemarin juga sudah mengatakan bahwa mereka sudah siap untuk melonggarkan kebijakan moneter hingga pemulihan usai, meskipun inflasi mengalami kenaikkan.
Oleh sebab itu, ini menjadi sebuah tanda bahwa tampaknya masih jauh Bank Sentral Eropa menaikkan tingkat suku bunga, meskipun Selandia Baru dan Korea Selatan mulai bersiap untuk menaikkan tingkat suku bunganya pada bulan depan.
Well, setidaknya ini menjadi salah satu tanda pasar obligasi masih akan bertahan di area penguatan.
“Pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas. Kami merekomendasikan beli,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (23/7/2021).
Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;
1.LAGARDE BERUSAHA!
Tidak hanya The Fed yang belajar dari segala kesalahan di masa yang lalu, kali ini Christine Lagarde kemarin juga mengucapkan janji yang sama dengan The Fed, yaitu tidak akan mengulang kesalahan yang sama dari pelajaran krisis di masa lalu. Sehingga oleh sebab itu, Lagarde berjanji untuk tidak akan menarik stimulus lebih awal ketika masa pemulihan ekonomi masih belum usai. Tentu hal ini merupakan salah satu hal yang patut kita appresiasi, bahwa berbagai Bank Sentral di seluruh dunia belajar dari kesalahan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Sementara itu, Lagarde mengatakan bahwa dalam kurun 18 bulan terakhir, Bank Sentral Eropa telah menerapkan kebijakan moneter baru yang mengakomodir mengenai pemulihan, dimana merevisi pandungan tentang tingkat suku bunga, pergerakan kebijakan untuk mengejar target inflasi sebesar 2%, dan akan memberikan inflasi untuk memiliki ruang yang lebih bebas karena kenaikkan inflasi hanyalah sementara. Langkah langkah tersebut memperkuat upaya Bank Sentral eropa untuk bisa menyakinkan pasar bahwa mereka akan mempertahankan kebijakan ultra longgar, termasuk didalamnya adalah tingkat suku bunga negative dengan rekor terendah selama hal tersebut diperlukan untuk dapat mendorong kembali stabilitas harga. Apa yang disampaikan oleh Bank Sentral Eropa menunjukkan bahwa mereka saat ini cenderung dovish, meskipun masih banyak yang mengharapkan untuk Bank Sentral Eropa mendorong lebih banyak stimulus kedalam perekonomian pada bulan September mendatang yang berarti lebih banyak melakukan pembelian asset. Perubahan panduan Bank Sentral Eropa berarti menandakan bahwa mereka akan melihat situasi dan kondisi selama kurang lebih 3 tahun kedepan untuk mendorong inflasi mencapai target. Oleh sebab itu selama inflasi belum mencapai target, kami melihat Bank Sentral Eropa masih akan mencoba mendorong perekonomian dengan kebijakan yang longgar. Sejauh ini proyeksi pertumbuhan ekonomi di Eropa hanya akan mencapai 1.4% pada 2023 mendatang, yang dimana memberikan indikasi bahwa kenaikkan tingkat suku bunga akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Lagarde mengatakan akan menghindari pengetatan kebijakan terlalu awal, karena hal tersebut akan merugikan ekonomi. Sebagai informasi, dulu pada tahun 2011, Presiden Bank Sentral Eropa dari France, Jean Claude Trichet menaikkan biaya pinjaman terlebih dahulu untuk mengontrol inflasi yang mengalami peningkatan, tapi sayang hal tersebut tidak terlihat sebagai moment yang tepat. Hal itupun kembali terjadi ketika pemimpin Bank Sentral Eropa, Mario Draghi mengalami alih ketika krisis utang melanda kawasan Eropa kala itu. Bank Sentral Eropa berjanji untuk melanjutkan kebijakan ultra longgarnya untuk memberikan perbedaan dengan Bank Sentral besar lainnya. Namun sayangnya, tidak semua pejabat Bank Sentral Eropa setuju terkait hal tersebut. Presiden Bundesbank Jens Weidman dan Gubernur Belgia, Pierre Wunsch mengatakan bahwa kata-kata tersebut terlihat sebagai komitmen jangka panjang untuk memberikan kebijakan moneter yang longgar. Lagarde mengatakan dalam konfrensi persnya bahwa memang benar, bahwa perubahan tersebut tidak didukung dengan suara bulat, meskipun mayoritas suara mendukung hal tersebut. Sejauh ini beberapa point yang menjadi perhatian adalah, tingkat suku bunga deposito tetap di -0.5%, program pembelian obligasi masih senilai 1.85 triliun euro atau $2.2 triliun yang akan tetap berakhir pada bulan Maret 2022. Program Pembelian Asset yang lebih lama akan tetap di 20 miliar euro per bulan dan akan berakhir sebelum tarif mengalami kenaikkan. Sejauh ini beberapa pembuat kebijakan sudah khawatir bahwa Bank Sentral Eropa kemungkinan akan mulai mengurangi stimulus karena inflasi yang mengalami kenaikkan didorong oleh daya beli yang mengalami peningkatan. Inflasi telah meningkat meskipun sebagian besar hanya sementara. Fokus utama berikutnya dari Bank Sentral Eropa adalah membuat keputusan penting setelah summer, karena mereka harus mempertimbangkan kapan harus menghentikan stimulus yang terjadi di pasar, oleh sebab itu pertemuan Bank Sentral Eropa mendatang sekitar bulan September akan lebih banyak membahas tentang dampak dari pemberian stimulus tersebut dan langkah selanjutnya dari Bank Sentral. Meskipun kami menyakini bahwa stimulus masih akan dilonggarkan, namun kami percaya, situasi dan kondisi serta data pun pasti akan dibutuhkan untuk mendukung setiap keputusan. Bukan hanya berdasarkan prakiraan semata. Tapi kami yakin pasti Bank Sentral Eropa akan mencoba hal yang berbeda, karena mungkin saja di bawah kepemimpinan Lagarde, perekonomian Eropa akan membaik.
2.REALISASINYA?
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan realisasi belanja negara pada semester I tahun 2021 yang telah mencapai Rp 283.2 triliun atau 1.72% dari PDB. Capaian tersebut dinilai masih berada pada jalur dan sesuai dengan UU APBN dimana total defisit diperkirakan berada pada Rp 1.006,4 triliun atau 5.7% dari PDB. APBN mencatatkan pendapatn negara sebesar RP 886.9 triliun atau tumbuh 9.1% YoY atau 50.9% dari target APBN 2021. Jika dilihat lebih rinci, penerimaan pajak sebesar Rp557,8 triliun atau tumbuh 4,9% YoY. Pada 2020, pungutan negara mengalami kontraksi yang cukup dalam yaitu 12% atau hanya RP531,8 triliun. Dari bea cukai, terkumpul Rp122,2 triliun atau tumbuh 31,1 persen. Dibandingkan tahun lalu yang naik 8,8%, loncatan ini lebih dari 3 kali lipat. Penerimaan negara bukan pajak realisasinya Rp206,9 triliun. Capaian ini naik 11,4% dari tahun lalu yang mengalami kontraksi 11,2%. Kemudian dari belanja negara, pemerintah telah mengeluarkan Rp1.170 triliun atau tumbuh 9,4%. Kenaikan yang cukup besar dari belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp696,3 triliun atau naik 19,1%. Dari kementerian/lembaga, belanjanya Rp449,6 triliun atau melonjak 28,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan non-K/L Rp346,7 triliun atau naik 8,9 persen. Sri Mulyani mencatat transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) masih mengalami kendala. Hingga semester I, hanya Rp373,9 triliun atau mengalami kontraksi 6,8 persen. Meski TKDD sudah ditransfer, pemerintah daerah masih belum menggunakannya. Pemerintah pusat berharap pemerintah daerah dapat segera mengakselerasi jumlah transfer yang dianggarkan mencapai Rp795,5 triliun, sehingga dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.

