ANALIS MARKET (14/7/2021) : Pasar Obligasi Diproyeksi Bergerak Bervariatif

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, inflasi di Amerika lagi lagi to the moon!

Bukan tanpa sebab memang, distribusi dan percepatan vaksinasi merupakan sebuah kunci bahwa perekonomian di Amerika kembali berjalan.

Gegap gempita terasa tatkala aktivitas perekonomian kembali di mulai. Inilah titik balik dari pemulihan perekonomian di Amerika.

Inflasi yang berada di level tinggi, membuat komitment The Fed akan diuji. Apakah mereka akan kembali diam melihat inflasi di luar proyeksi? Ataukah justru mereka akan melihat ini sebagai sebuah waktu yang tepat untuk mengurangi pembelian obligasi di pasar?

Ini merupakan pertanyaan yang harus The Fed jawab, agar kita tahu kemana arah kaki ini melangkah. The Fed tidak boleh galau pemirsa, kalau tidak, kita akan ikutan galau pemirsa.

Beruntungnya, hari ini (14/7) waktu setempat, Powell akan berpidato di hadapan kongres, sehingga memberikan kita gambaran sejauh mana The Fed yakin bahwa perekonomian akan kembali pulih dan Taper Tantrum pun dalam dilakukan. Atas kenaikkan inflasi yang begitu luar biasa, US Treasury lagi-lagi mengalami kenaikkan meskipun tidak banyak.

Tentu saja efeknya ke dalam pergerakan pasar obligasi hari ini akan menahan penguatan yang terjadi di pasar. Namun itu semua kembali kepada persepsi pelaku pasar dan investor masing-masing. Apabila pelaku pasar dan investor yakin bahwa The Fed belum akan mengubah nilai pembelian obligasinya di pasar, maka aksi beli masih bisa dilakukan.

Pertemuan FOMC bulan ini akan menjadi kunci, untuk melihat arah selanjutnya langkah kaki The Fed.

“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariatif dengan rentang pergerakan 30 – 60 bps. Kami merekomendasikan wait and see,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Rabu (14/7/2021).

Adapun cerita di hari Rabu (14/7) ini akan kita awali dari;

1.AMERIKA BERGOYANG PEMIRSA!!

Amerika luar biasa! Ditengah percepatan vaksinasi yang diberikan didukung oleh pembukaan aktivitas ekonomi, hari ini data inflasi Amerika mengalami kenaikkan dari sebelumnya 5% menjadi 5.4%. Wow bingits kan pemirsa! Kenaikkan secara MoM sebesar 0.9% merupakan yang tertinggi sejak 2008, dan di luar dari proyeksi banyak orang, khususnya kami pemirsa. Lagi lagi, kenaikkan inflasi yang begitu tinggi yang kita saksikan hari ini apakah akan mengubah komitmen The Fed atau tidak tatkala Powell mengatakan bahwa mereka akan membiarkan inflasi untuk bergerak bebas karena itu semua hanyalah sementara. Inflasi naik 4.5% sejak June 2020, dan ini merupakan kenaikkan terbesar sejak November 1991 silam. Lagi lagi, kendaraan bekas memberikan kontribusi sebesar 1/3 dari kenaikkan inflasi. Didukung oleh pembukaan kembali perekonomian, hotel, rental mobil, pakaian, dan pesawat membuat daya beli mengalami kenaikkan karena adanya peningkatan akvitias perekonomian. Namun kenaikkan inflasi yang terjadi pada hari ini tidak serta merta membuat pasar obligasi bergeming pemirsa, pasalnya nih para pelaku pasar dan investor masih menyakini bahwa The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga pada tahun 2023 mendatang, tapi kami menyakini bahwa Taper Tantrum akan dimulai 2022 Q1 atau Q2 mendatang. Kenaikkan inflasi akan memberikan sebuah tantangan bagi The Fed dan tentu saja dari sisi Pemerintah, karena apabila nanti Biden akan mengeluarkan stimulus lanjutan lagi, hal ini akan membuat perekonomian semakin panas yang akan berujung terhadap kenaikkan inflasi. Namun Pemerintah melihat, sama seperti yang Powell lihat, bahwa inflasi hanyalah efek sementara dari pembukaan kembali perekonomian, dan perlahan akan berangsur angsur mengalami penurunan. Dalam 3 bulan terakhir, inflasi inti telah mengalami peningkatan secara YoY lebih dari 8%, dan ini merupakan sesuatu yang terjadi sangat cepat yang dimana terakhir terjadi pada tahun 1980an. Hal ini tentu saja membuat pelaku pasar dan investor semakin gelisah, apakah benar kelak nanti The Fed akan memegang komitmennya? Tentu saja pemirsa, Powell akan memegang komitmentnya. Namun masalahnya, Presiden Fed St.Louis, James Bullard mengatakan kemarin bahwa dirinya siap untuk memperlambat laju pembelian obligasi dari Bank Sentral setelah dirinya dan rekan rekan yang lain yakin bahwa pembelian obligasi yang terus menerus berkelanjutan seperti ini akan membuat pasar property semakin panas. Dirinya mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi 7%, dan pengendalian Covid 19 bisa berjalan dengan baik, dirinya yakin bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk mengurangi pembelian obligasi. Ketika berbicara tentang prospek The Fed untuk mengurangi pembelian obligasi US Treasury dan hipotek, Bullard ingin melakukannya dengan lembut dan hati hati, namun Bullard berfikir bahwa saat ini merupakan saat yang baik untuk memulai pengurangan. Bullard mengatakan bahwa dirinya tidak perlu menunggu hingga besok, karena saat ini merupakan situasi dan kondisi yang sangat baik untuk melakukan ini. Bullard mengatakan bahwa dirinya khawatir bahwa Amerika akan memasuki bubble dalam sector property. Dirinya ingat, bahwa Amerika pernah mengalami banyak masalah terkait dengan bubble pada sector property pada tahun 2000an, dan pada akhirnya hal tersebut menyebabkan banyak kerusakan pada ekonomi. Bullard mengatakan bahwa dirinya terbuka untuk bertindak lebih agresif dalam mengurangi pembelian hipotek, namun Bullard tidak akan memintanya secara eksplisit. Bullard menekankan bahwa situasi dan kondisi dalam sector keuangan akan jauh lebih mudah diperkirakan khususnya bagi sector yang memiliki sensitifitas terhadap pergerakan tingkat suku bunga. Dan Property merupakan salah satu sector yang sangat sensitive terhadap tingkat suku bunga. Namun hal berbeda disampaikan oleh Presiden Fed New York, John Williams dimana dirinya mengatakan bahwa hubungan antara pembelian obligasi hipotek yang dilakukan oleh Bank Sentral dengan perumahan masih dalam korelasi yang kecil, sehingga justru pembelian obligasi yang dilakukan oleh Bank Sentral mampu mendorong sector keuangan untuk mengalami pertumbuhan. Pembelian obligasi yang dilakukan oleh The Fed kami melihat mampu untuk menurunkan biaya pinjaman perumahan pada margin, sehingga dampaknya akan dirasakan secara luas. Williams juga mengatakan bahwa dirinya sangat yakin bahwa pasar tenaga kerja belum cukup membaik bagi The Fed untuk mengurangi pembelian obligasinya di pasar. Bullard mengatakan bahwa dirinya berharap bahwa inflasi yang diukur dengan Indeks harga pengeluaran konsumsi setelah dikurangi dengan biaya makanan dan energi, akan naik menjadi 3% tahun ini, dan 2.5% pada tahun depan. Lantas apa yang harus dilakukan saat ini? Ada satu pidato yang akan disampaikan oleh Powell pada hari Rabu ini, waktu setempat yang kita bisa lihat itu pada hari Kamis. Dimana Powell akan menyampaikan Laporan Kebijakan Moneter semester kepada Kongres. Tentu disini kita dapat melihat arah selanjutnya dari The Fed yang dipimpin oleh Powell. Akan kemanakah The Fed melangkah setelah melihat inflasi diluar dari proyeksi banyak orang? Apakah The Fed akan memikirkan sebuah langkah untuk mulai mengurangi pembelian obligasi dipasar dalam waktu dekat? Karena itu semua sudah harus disampaikan jauh sebelum The Fed melakukan Taper Tantrum di pasar. Kali ini komitmen The Fed akan di uji, dan seberapa besar The Fed mampu bersikap, sejauh ini pula pasar akan melihat. Yuk, besok kita lanjut lagi setelah mendengar pidato dari Powell.

2.OPTIMIS VS REALISTIS

Berdasarkan hasil rapat dengan DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dampak dari PPKM Darurat yang berpotensi mengalami kelanjutan. Sri Mulyani menyampaikan perekonomian berpotensi melambat pada kuartal III yang diproyeksikan berada pada 4% hingga 5.4%. Sedangkan kuartal IV/2021 ekonomi dalam rentang 4,6% sampai 5,9%. Secara total, PDB 3,7% sampai 4,5%. Sementara itu, PPKM darurat membuat pemerintah harus menambah anggaran program PEN. Dana tersebut berasal dari realokasi dan refocusing. Pada lain sisi, Bank Indonesia memiliki pandangan yang tak jauh berbeda dengan Pemerintah. Bank Indonesia kembali menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sejalan dengan diterapkannya PPKM Darurat pada periode Juli ini. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan PPKM darurat yang diberlakukan untuk mengendalikan peningkatan kasus Covid-19 berdampak pada penurunan mobilitas dan khususnya konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, perekonomian pada tahun ini diperkirakan akan tumbuh sekitar 3,8%, lebih rendah dari proyeksi BI sebelumnya pada kisaran 4,1% hingga 5,1% dengan titik tengah 4,6%. Asumsinya jika PPKM darurat dilakukan sebulan dan bisa menurunkan Covid-19 secara baik, maka pertumbuhan ekonomi turun ke 3,8%. Bank Indonesia mencermati dampak dari PPKM Darurat terhadap penurunan konsumsi masyarakat. Kami melihat, dampak dari penurunan konsumsi tersebut dapat mempengaruhi tingkat inflasi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sehingga hal ini tentu akan menjadi sentiment negatif bagi pemulihan ekonomi menjelang akhir tahun.