ANALIS MARKET (15/12/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi kembali mengalami penurunan setelah tak kuasa menahan beban.

Di tengah situasi dan kondisi yang sebentar lagi kian mendekati pertemuan para Bank Sentral di seluruh dunia, pasar obligasi akhirnya harus menyerah dan memulai pola rentang yang baru.

Volatilitas di pasar obligasi kian meningkat, dan dibuktikan dengan pergeseran rentang imbal hasil bagi obligasi 10y dari yang sebelumnya 6% - 6.3%, sekarang bermain di 6.30% - 6.40%.

Ini baru permulaan, karena tekanan jual sesungguhnya akan terjadi tahun depan.

Hal ini yang membuat kami berfikir bahwa mungkin sudah saatnya pemirsa, mulai menjual sebagian obligasi jangka panjang, sebelum terjadinya penurunan kembali dan memindahkan obligasinya menjadi jangka pendek.

Namun ingat, tetap sisihkan porsi jangka panjang ya. Karena ini akan menjadi bekal saat recovery nanti.

Pasar obligasi mungkin akan kembali tertekan pada pagi hari ini hingga pertemuan para Bank Sentral selesai. Karena suka atau tidak suka, volatilitas pasar obligasi akan bergantung terhadap pertemuan Bank Sentral.

“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas. Kami merekomendasikan jual,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Rabu (15/12/2021).

Adapun cerita pada hari ini kita awali dari;

1.MENANTI THE FED

Pertemuan The Fed akan menjadi salah satu yang dinantikan pekan ini. Pelaku pasar dan investor mengharapkan bahwa The Fed akan mempercepat fase Taper Tantrum, namun juga memberikan signal kepastian akan kenaikkan tingkat suku bunga pada tahun 2022 mendatang untuk melawan inflasi yang tercepat sejak 1980 an. Berdasarkan prediksi yang memenuhi pasar, kemungkinan akan ada perhitungan median dari 18 pejabat yang memproyeksikan 2 kenaikkan pada tingkat suku bunga pada tahun depan. Banyak yang mengatakan bahwa pertemuan kali ini akan menjadi pergeseran Hawkish terbesar sepanjang sejarah dot plot. Hal ini ditambah dengan kata kata Powell yang mengatakan bahwa akan mempertimbangkan untuk mempercepat Taper Tantrum beberapa bulan lebih awal dari sebelumnya pertengahan 2022 mendatang. Proyeksi terkait dengan adanya pengurangan tambahan akan bertambah menjadi $30 miliar per bulan nantinya yang diharapkan akan selesai pada bulan Maret mendatang. Fokus utama dari pelaku pasar dan investor adalah bahwa The Fed segera dapat melakukan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi yang terjadi khususnya pasar tenaga kerja dan inflasi. Setelah kenaikkan 2x pada tahun 2022 mendatang, diperkirakan masih akan ada 3 kenaikkan lagi pada tahun 2023 dan 2x lagi pada tahun 2024 mendatang. Apabila hal ini terjadi, maka hal ini akan menjadi kenaikkan tingkat suku bunga yang paling dasyat sepanjang sejarahnya. Apabila Taper Tantrum selesai lebih awal, maka besar kemungkinan kenaikkan tingkat suku bunga The Fed akan terjadi pada bulan Maret 2022 mendatang. Powell terlihat tidak akan segan kali ini pemirsa, untuk mengambil sebuah tindakan melalui kebijakannya. Apalagi setelah melihat data inflasi yang kembali mengalami kenaikkan dari sebelumnya 6.2% menjadi 6.8% dan menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Otomatis, mau tidak mau The Fed harus mengejar inflasi untuk dapat mengendalikan inflasi yang dimana Powell sudah tidak mau lagi menyebutnya sebagai sementara. Meskipun memang inflasi saat ini bukan yang terburuk sejak tahun 1070 an. Apalagi saat ini The Fed harus menghitung variable baru bernama Omicron, meskipun The Fed sudah mengatakan bahwa terlalu dini untuk menilai dan mengukur dampak Omicron bagi perekonomian Amerika. Ketidakpastian inilah yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sementara yang memiliki pengaruh yang lebih banyak terhadap inflasi. Asian Development Bank sendiri sudah memangkas proyeksi perekonomiannya untuk Emerging Market di Asia akibat kemunculan Omicron. GDP di Asia akan naik sebesar 7% pada tahun ini, namun angka ini merupakan angka revisi dari sebelumnya yang berada di 7.1%. Ketika The Fed mengambil tindakan yang lebih aggressive, langkah berbeda mungkin akan dilakukan oleh Bank Sentral Jepang yang lebih mengambil pendekatan yang lebih kalem untuk dapat mengurangi stimulus tanpa harus mengguncang pasar. Dalam beberapa bidang, Bank Sentral Jepang malah justru sudah melakukan pengurangan pemberian stimulus, namun secara perlahan sehingga tidak memberikan riak di pasar. Pendekatan seperti ini akan membuat Gubernur Bank Sentral memiliki ruang untuk bermanuver lebih besar tanpa harus memberikan dorongan terhadap pasar. Namun sikap Bank Sentral Jepang lebih fleksibel saat ini dibandingkan dengan Bank Sentral lainnya. Mereka akan memberikan ruang untuk dapat meningkatkan pembelian obligasi kembali apabila memang diperlukan. Saat ini pasar tengah diuji terkait dengan inflasi yang tinggi, pengurangan likuiditas di pasar oleh Bank Sentral, dan kemunculan Omicron akan menambah babak baru pemulihan ekonomi tahun depan. Imbal hasil US Treasury pun mulai terlihat flat, sebagai bagian dari kebimbangan pelaku pasar dan investor terhadap pemulihan ekonomi di masar depan. Oleh sebab itu, kami berharap flat curve ini tidak membebani keyakinan akan pemulihan perekonomian oleh pelaku pasar dan investor. Karena terlihat dengan jelas masih ada kebimbangan yang membuat pelaku pasar dan investor tidak yakin bahwa situasi dan kondisi pemulihan akan berjalan mulus sesuai perkiraan. Kita nantikan saja.