Jadi Konsumen Terbesar Produk Halal Dunia, Wapres Sebut Indonesia Hanya Jadi Tukang Stempel

Foto : istimewa

Pasardana.id - Wakil Presiden, Ma'ruf Amin mengatakan, Indonesia saat ini hanya menjadi tukang stempel produk halal. Pasalnya, meskipun merupakan konsumen terbesar produk halal dunia, Indonesia masih banyak memenuhi kebutuhannya dari impor.

"Kita lebih banyak impor produk halal luar negeri. Kita banyak makan dan juga cuma tukang stempel. Lebih dari 50 lembaga sertifikasi halal dunia memperoleh pengakuan dari Indonesia. Jadi Indonesia cuma tukang stempel," kata Wapres dalam webinar strategis nasional yang diselenggarakan KNEKS, Sabtu (24/10/2020).

Padahal, kata Ma'ruf, Indonesia sebagai negara berpenduduk 267 juta jiwa dan merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar yakni 87 persen dari total populasi. Artinya, Indonesia merupakan pasar yang sangat menentukan dalam perdagangan produk halal dunia.

Lebih lanjut, Wapres memaparkan, pasar halal dunia telah mencapai US$2,2 triliun dan masih akan tumbuh hingga US$3,2 triliun pada 2024.

Oleh sebab itu, dia mendorong Indonesia agar memanfaatkan peluang tersebut dan meningkatkan ekspor produk halal yang saat ini baru 3,8 persen dari total produk halal dunia. 

"Kondisi kontras justru dapat kita lihat dari Brasil dan Australia yang justru menduduki posisi pertama dan kedua dalam ekspor produk halal," ujarnya. 

Meski demikian, Ma'ruf optimistis, Indonesia dapat meningkatkan pangsa pasar produk halal. Terlebih, Indonesia memiliki populasi penduduk muslim terbesar yang mencapai 87 persen dari total penduduknya.

"Bahkan, Indonesia mampu membelanjakan hingga US$214 miliar untuk produk halal dan mampu mencakup 10 persen dari total produk halal dunia," ungkapnya.

"Kita harus mampu memanfaatkan potensi pasar halal dunia ini dengan meningkatkan ekspor yang saat ini masih baru berkisar 3,8 persen dari total pasar halal dunia," ujar Ma'ruf. 

Saat ini, berdasarkan Global Islamic Economic Report 2019, eksportir makanan minuman halal terbesar dunia adalah Brasil dengan nilai US$ 5,5 miliar, disusul Australia US$ 2,4 miliar.