Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2019 Stagnan Diangka 5 Persen
Pasardana.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini diperkirakan hanya mentok di angka 5 persen, bahkan ada kemungkinan bisa di bawah 5 persen. Ini karena adanya risiko perlambatan ekonomi global yang tidak diperkirakan di awal tahun ini.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019 mencapai 5,01 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun diprediksi berada di 5,01 persen.
"Kemungkinan kuartal III (2019) tidak akan tumbuh lebih tinggi lagi. Saya rasa, 5,01 persen itu sudah bagus ya, padahal prediksi orang 4,9 persen. Tapi saya rasa sih 5 persen, 5,01 persen sudah bagus. Karena saya lihat sampai akhir tahun pun sekitar 5,01 persen juga sih," ungkapnya, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Hal tersebut disebabkan tidak adanya faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019. Terlebih lagi, adanya pergantian pemerintahan seperti Presiden dan Wakil Presiden, lalu pergantian menteri memerlukan penyesuaian.
Sementara, Kepala Kajian Makro LPEM UI, Febrio Kacaribu mengatakan, semula pihaknya memperkirakan pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5 sampai 5,2 persen. Namun, pihaknya melihat risiko perlambatan membuat pertumbuhan ekonomi Kuartal III 2019 hanya di 4,9 persen.
"Di 2019, kami melihat risiko perlambatan dibandingkan dengan yang kami expected di awal tahun. Di Awal tahun, kami 5-5,2 persen. Kemungkinan besar data yang kita lihat sejauh ini memang menunjukkan ke arah 5,0 persen, itu sudah kita revisi kedua kalinya," kata dia, dalam acara Indonesia Economic Outlook 2020, di UI Salemba, Jakarta, Senin (4/11).
Trade war atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung mereda turut memperparah kondisi tersebut. Hal ini tidak hanya berdampak pada Indonesia tetapi juga pada perdagangan seluruh negara termasuk negara maju.
Febrio menjelaskan, iklim investasi di Indonesia masih lemah. Di mana ini juga bisa berlangsung hingga tahun depan. Investasi diharapkan bisa mencapai 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) namun hingga kini hanya menetap di 5 persen saja.
"Reformasi yang signifikan untuk meningkatkan iklim investasi dapat menolong aktivitas ekonomi pada tahun 2020," ucapnya.
Terdapat sejumlah risiko perlambatan yang berimbas pada lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini. Salah satunya ialah tetap rendahnya kinerja sektor manufaktur.
"Sektor manufaktur pada kuartal II-2019 hanya tumbuh sebesar 3,59 persen (yoy). Padahal, sektor manufaktur merupakan sektor paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi domestik," paparnya.
Menurut dia, masih lemahnya kinerja sektor manufaktur akibat tingginya ketergantungan pada bahan baku dan barang modal dari luar negeri. Imbasnya, defisit neraca perdagangan terus terjadi hingga semester I-2019.
Selain itu, sambung Febrio, karena kinerja ekspor yang relatif masih lemah. Hal ini lantaran ekspor Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah, utamanya minyak kelapa sawit dan batu bara.
Di sisi lain, eskalasi perang dagang dan kekhawatiran akan terjadinya resesi di masa depan turut memperparah pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia. Bahkan, kemungkinan berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok akan menghambat pertumbuhan perdagangan hingga 2020.
"Bersamaan dengan itu, belum ada sinyal kuat akan terjadinya peningkatan investasi langsung luar negeri yang sudah melemah menjadi 5,02 persen (yoy) pada semester I-2019," ungkap Febrio.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun ini sebesar 5,05 persen.
Proyeksi tersebut dengan mempertimbangkan seluruh komponen ekonomi makro.
"Meskipun kemarin sudah menunjukkan ada perbaikan jadi kami tetap optimis jadi kuartal III bisa di atas 5 persen. Mungkin seperti BKF sampaikan di 5,05 persen. Jadi mungkin kami tetap di situ," ujarnya di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Jumat (1/11).
Dalam menopang pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani berharap, konsumsi bertahan di atas 5 persen. Meski demikian, lanjutnya, investasi masih sedikit melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.