Pengamat : Kebijakan Prefunding Perlu Didukung Semua Pihak

Pasardana.id - Utang pemerintah yang per Juni 2017 mencapai sebesar Rp3.706,52 triliun, dinilai belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Pasalnya, utang tersebut, tahapannya baru sebatas pinjaman tapi belum digunakan untuk pembangunan, khususnya di sektor infrastruktur.
“Kalau tahapnya baru pinjaman tapi belum ada pembangunan, tentu tidak akan menurunkan (kemiskinan)," kata pengamat ekonomi Dr James Adam, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (22/7/2017).
Sehingga, jelas dia, semua pihak harus mendukung kebijakan pemerintah untuk menarik utang lebih awal (prefunding), untuk membiayai kebutuhan belanja pemerintah yang prioritas, seperti infrastruktur untuk meningkatkan laju ekonomi dan mengurangi kesenjangan di masyarakat.
“Apalagi kalau tujuannya untuk memenuhi kebutuhan belanja transfer ke daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) yang tertunda, gaji pegawai, dan beberapa belanja yang sudah terjadwal sejak Januari 2017. Oleh sebab itu, kebijakan prefunding tidak perlu dikuatirkan karena tujuannya jelas, yaitu membiayai kebutuhan belanja pemerintah di 2017," terang James.
"Ketika pembangunan sudah berjalan, maka imbasnya akan mengarah kepada pengurangan angka kemiskinan di Indonesia. Sebab dengan ditopang infrastruktur maka perekonomian akan bergerak," tambahnya.
Lebih lanjut diungkapkan, pembangunan infrastruktur juga akan membuat harga menjadi lebih baik/stabil, tenaga kerja terserap, pengangguran dan kemiskinan turun.
“Bukan cuma itu, utang yang besar itu juga bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi masyarakat di perbatasan dan daerah tertinggal," terangnya.
Meski demikian, sambungnya, utang Indonesia dibandingkan dengan PDB (produk domestik bruto) masih di bawah batas aman dan berada di bawah rasio utang negara-negara maju lainnya.
Adapun pemerintah sendiri, tetap berupaya mengelola risiko utang dengan baik, termasuk risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, dan risiko nilai tukar.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, indikator risiko utang pada Juni 2017 menunjukkan bahwa rasio utang dengan tingkat bunga mengambang (variable rate) sebesar 11,2 persen dari total utang.
Dalam hal risiko tingkat nilai tukar, rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang adalah sebesar 40,8 persen. Adapun Average Time to Maturity (ATM) sebesar 8,9 tahun, sedangkan utang jatuh tempo dalam 5 tahun sebesar 39,1 persen dari outstanding.