ANALIS MARKET (02/7/2021) : Pasar Obligasi Diproyeksi Bergerak Bervariatif dengan Rentang Pergerakan 30 – 55 Bps

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi masih dalam situasi dan kondisi stagnan saat ini.

Penurunan inflasi yang cukup dalam diperdagangan kemarin (01/7) tidak membuat pasar obligasi bergeming mengalami kenaikkan, justru ini menjadi sebuah tanda bahwa perekonomian kita mengalami penurunan daya beli yang cukup dalam. Ditambah dengan situasi dan kondisi kenaikkan Covid 19, bukan tidak mungkin konsumsi akan kembali mengalami penurunan.

Kita membutuhkan konsumsi untuk dapat menggerakan ekonomi. Kebijakan PPKM darurat memang memberikan pengendalian terhadap Covid 19, tapi tidak memberikan ketenangan terhadap perekonomian.

Sektor yang essensial memang masih menjadi penopang perekonomian, namun tanpa daya beli perekonomian akan kembali menjadi rapuh. Hal ini bagaikan perekonomian diberikan nafas, namun tidak panjang. Butuh secepatnya vitamin, kalau tidak ventilator menanti.

Oleh sebab itu, kami berharap bahwa distribusi vaksin bisa lebih dipercepat, dan target vaksinasi dalam 1 hari juga bisa tercapai untuk mempercepat proses herd immunity.

Tidak mudah memang, apabila vaksin dipercepat, tapi kesadaran masyarakat juga tidak ada. Karena kunci pengendalian ini adalah mengendalikan diri sendiri, karena semua dimulai dari hal yang terkecil yaitu diri sendiri.

Adapun pelaku pasar dan investor boleh mendapatkan nafas lega. Pasalnya, 130 negara sudah sepakat dalam masalah pajak. Tentu ini akan menjadi sebuah kesepakatan bersejarah yang di gagas oleh G7 kala itu, untuk bisa menyatukan semua negara terkait dengan pajak global.

“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan masih akan dibuka bervariatif dengan rentang pergerakan 30 – 55 bps. Kami merekomendasikan jual,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (02/7/2021).

Adapun cerita di hari Jumat ini akan kita awali dari;

1.130 NEGARA SETUJU UNTUK 1 SUARA

Wow. Untuk masalah pajak yang satu ini, tak terasa pada akhirnya sudah 130 negara setuju untuk mengambil 1 langkah besar terkait dengan perpajakan global yang dimana mereka akhirnya setuju untuk menetapkan tingkat pajak minimum untuk perusahaan perusahaan besar yang mendapatkan pendapatan dari global. Setelah bertahun tahun lamanya penuh dengan perjuangan, pada akhirnya OECD bekerja sama dengan para Menteri Keuangan G20 untuk menandatangani sebuah kesepakatan bersejarah ini di Venesia minggu depan. Yang itu artinya, secara implementasi, pada tahun 2023 mendatang, perusahaan perusahaan yang mendapatkan keuntungan secara global akan membayar setidaknya 15%, sehingga hal ini tentu saja memberikan pendapatan kepada negara negara kecil dari perusahaan asing yang ada di negara mereka. Masih ada beberapa negara yang belum bergabung dalam kesepakatan ini, sebut saja seperti Hungaria dan Irlandia yang dimana negara tersebut memiliki culture biaya pajak yang sangat rendah sehingga menarik para minat perusahaan asing untuk masuk ke dalam negara tersebut. Menteri keuangan Amerika, Janet Yellen cukup senang dengan berita tersebut, dirinya mengatakan bahwa hal tersebut akan menjadi hari yang bersejarah bagi diplomasi dalam bidang perekonomian. Yellen menyatakan bahwa pajak pendapatan global dibutuhkan oleh negara negara untuk membangun infrastructure, pendidikan, dan kebutuhkan lainnya. Di Amerika, perjanjian ini akan memastikan bahwa perusahaan akan menanggung beban yang adil. Saat ini Yellen sedang mendapatkan kesempatan untuk membangun sebuah system untuk pajak global dan domestic yang memungkinan para pekerja dan bisnis di Amerika dapat bersaing dan menang dalam perekonomian dunia. Sejauh ini Irlandia dan Hongaria masih absen dalam kesepakatan tersebut, yang dimana absennya kedua negara tersebut cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi Uni Eropa untuk dapat mengimplementasikan rencana tersebut. Menteri Keuangan Irlandia, Paschal Donohoe mengatakan bahwa setiap kesepakatan pada tingkat yang lebih kecil harus memenuhi kebutuhan negara negara kecil dan besar, baik maju maupun berkembang. Menteri Keuangan Prancis sendiri, Burono Le Maire mengatakan bahwa dirinya akan menghabiskan waktu pada minggu depan sebelum pertemuan G20 untuk dapat melakukan usaha yang lebih keras untuk dapat menyakinkan negara negara Eropa yang sebelumnya tidak mau bergabung, utuk dapat bergabung dengan kesepakatan bersejarah saat ini yang dimana kesepakatan ini akan menyatukan semua negara di dunia. Sejauh ini dari 195 negara yang terdaftar di PBB, baru 130 negara yang setuju akan pajak tersebut, tidak buruk, karena sudah hampir lebih dari setengah negara di dunia mendukung kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini akan menjadi sebuah kesepakatan yang sangat baik bagi perekonomian dunia, karena dengan adanya kesepakatan ini, negara negara tersebut mendapatkan tambahan pendapatan sebesar $150 miliar untuk pemerintah tersebut, yang dimana tentu saja angka tersebut berpotensi untuk membantu menjaga neraca pendapatan di setiap negara khususnya ditengah situasi dan kondisi yang tengah sulit seperti sekarang ini. Dalam document yang dirilis oleh OECD disebutkan bahwa jumlah keuntungan yang akan di alokasikan kembali oleh perusahaan tersebut harus berkisar 20% - 30% dari sisa keuntungan di atas margin 10%, yang dimana berpotensi untuk meningkatkan keuntungan bagi perekonomian negara yang lebih kecil. Perekonomian dengan negara negara yang lebih kecil, tentu akan diuntungkan dengan hal tersebut, sehingga mereka juga akan mendapatkan manfaat lebih dari hal tersebut khususnya pengenaan pajak pada perusahaan asing. Tentu hal ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa menurut kami, karena secara skala dan bisnis, perusahaan perusahaan asing, khususnya teknologi mampu menjangkau seluruh dunia dengan cepat, dan memberikan pendapatan yang lebih besar untuk mendatangkan income.

2.SEBUAH DORONGAN

Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia masih perlu untuk mendorong terciptanya pekerjaan kelas menengah untuk mendukung upaya menjadi negara kelas menengah. Bank Dunia mencatat hanya 13 juta penerima pendapatan yang menghasilkan cukup untuk membiayai kehidupan kelas menengah untuk empat anggota keluarga. Jumlah tersebut setara dengan 15 persen dari total 85 juta penerima pendapatan yang meliputi pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta. Berdasarkan laporan tersebut, ada tiga faktor yang menghalangi transisi Indonesia dalam menciptakan lebih banyak pekerjaan kelas menengah. Pertama, pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan selama dua dekade melalui transformasi struktural, belum memberikan perolehan produktivitas yang cukup untuk menciptakan pekerjaan kelas menengah. Selama dua dekade terakhir, sebagian besar pekerjaan-pekerjaan baru merupakan layanan dengan produktivitas rendah dimana produktivitas tenaga kerja tidak jauh lebih tinggi daripada di bidang pertanian. Kedua, struktur sektor perusahaan Indonesia tidak kondusif untuk menciptakan lapangan kerja kelas menengah. Bank Dunia menilai perusahaan-perusahaan di Indonesia diciptakan dan tetap kecil, serta bukan pencipta pekerjaan kelas menengah yang signifikan. Bank Dunia mencatat dua pertiga pekerjaan ada di perusahaan rumah tangga, dengan 45 juta pemilik dan 38 juta pekerja, hampir semuanya informal. Sektor manufaktur yang menyediakan lapangan pekerjaan terbanyak selama tahun 1980-an dan 1990-an, menciptakan sejumlah pekerjaan yang memenuhi spesifikasi namun semakin banyak berada di perusahaan- perusahaan tua dan sangat besar. Perusahaan manufaktur asing berukuran sedang dan besar mempekerjakan lebih banyak daripada perusahaan domestik dan membayar upah lebih tinggi, hal ini dianggap kurang lazim di Indonesia dibandingkan pesaing regional yang telah memanfaatkan investasi asing langsung untuk pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang cepat. Ketiga, tenaga kerja di dalam negeri tidak dibekali dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan kelas menengah yang cenderung pada pekerjaan yang lebih terampil. Bank Dunia mencatat sebanyak 57% dari angkatan kerja memiliki pendidikan menengah ke bawah atau lebih rendah. Upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas SDM dalam negeri agar memiliki daya saing saat ini diperlukan. Kami melihat Pendidikan formal maupun informal sangat penting untuk menunjang kesiapan pekerja dalam menjalankan tanggung jawabnya. Jika mengacu pada UU Cipta Kerja, Aturan turunan dalam Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus diatur secara jelas dan rinci. Khususnya menyangkut investor yang menghadirkan tenaga kerja asing wajib mentransfer pengetahuannya kepada tenaga kerja lokal. Harus ada kewajiban dari investor asing untuk alih teknologi ke pekerja lokal. Alih teknologi tersebut akan meningkatkan skill dan kompetensi para pekerja Indonesia. Sehingga bukan hanya mengimbau tapi kewajiban harus mentransfer teknologi. Karena tenaga-tenaga kerja asing yang didatangkan memiliki keahlian tertentu yang tidak bisa dikerjakan oleh anak bangsa. Sehingga disinilah yang harus ada kewajiban untuk alih teknologi ke pekerja lokal agar mereka bisa bersaing.