ANALIS MARKET (08/6/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, di tengah kekhwatiran pelaku pasar dan investor, mulai terbesit kembali adanya ketidakpastian pemulihan ekonomi, karena adanya beberapa daerah yang mulai terjadi lockdown di Indonesia. Rasa khawatir masih ada, namun optimis harus jauh lebih besar.
Kami hanya berharap bahwa situasi dan kondisi seperti ini terkait dengan kekhawatiran Covid 19 bisa segera menjadi perhatian bagi pemerintah untuk bisa memberikan ketenangan kepada masyarakat bahwa Covid-19 bisa di kendalikan.
Nah, di tengah situasi dan kondisi yang ‘ababil’ bagi pasar obligasi, lelang hari ini akan menjadi sebuah cerita tersendiri bagi obligasi. Optimis yang ada, diharapkan akan mampu mendorong total penawaran yang masuk hari ini.
Kami memperkirakan, bahwa total penawaran yang masuk akan melebihi dari Rp 50 T, melihat kesuksesan lelang yang sebelumnya. Tentu harapannya adalah bahwa lelang kali ini akan memberikan sebuah gambaran yang lebih besar bahwa pasar obligasi masih diminati meskipun masih menjadi nomor 2 setelah saham.
Kami berharap bahwa pasar obligasi hari ini bisa melanjutkan penguatan, memberikan konfirmasi yang lebih pasti bahwa pasar obligasi akan berhasil konsisten mengalami penguatan di atas level resistensinya.
“Kami merekomendasikan ikut lelang dan focus terhadap obligasi jangka pendek,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Selasa (08/6/2021).
Adapun cerita di hari ini akan kita awali dari;
1.CHINA LUAR BIASA!
China luar biasa pemirsa! Gass poll tenan. Ekspor China terus mengalami kenaikkan signifikan, meskipun pada tingkat kecepatan yang lebih lambat dari sebelumnya. Ekspor China yang relative stabil tentu menjadi sebuah salah satu tolok ukur tersendiri karena ditopang oleh permintaan yang kuat dari global karena aktifitas perekonomian mulai di buka di berbagai negara pemirsa. Impor sendiri mengalami kenaikkan karena di topang oleh kenaikkan harga komoditas. Ekspor mengalami kenaikkan hampir 28% pada bulan May silam, yang tidak kalah menariknya adalah impor yang mengalami kenaikkan sebesar 51.1%, dengan tingkat kecepatan tercepat sejak Maret 2010, sehingga memberikan surplus perdagangan yang kembali mengalami kenaikkan. Permintaan barang barang China dari luar negeri tetap kuat seperti biasa, apalagi setelah vaksin Sinovac sudah diresmikan oleh WHO yang mendorong ekspor farmasi juga mengalami peningkatan. Ekspor China ke pasar Emerging Market seperti India dan Asia Tenggara juga mulai mengalami peningkatan. Pemulihan global yang kuat, memberikan China banyak kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak, karena China pulih terlebih dahulu. Hal inilah yang memberikan China kesempatan untuk lebih banyak men-drive pasar bersama Amerika. Permintaan yang kuat kami perkirakan akan terus berlanjut hingga semester ke 2 mendatang, apalagi ketika perekonomian di seluruh dunia mulai terus melangkah maju karena adanya distribusi vaksin yang mempercepat laju pemulihan ekonomi. Ekspor China sendiri ke Amerika masih mengalami pertumbuhan pada tingkat akselerasi yang lebih sehat sekitar 21%, dibandingkan ekspor China ke Eropa mengalami penurunan sebesar 13%. Namun ke India meskipun situasi dan kondisi India juga sedang dalam keadaan tidak baik, permintaan tetap tumbuh lebih baik dari yang diharapkan. Menurunnya produk ekspor mengenai Covid seperti masker dan pakaian pelindung, seiring sejalan dengan meningkatnya produk produk non Covid. Hal ini yang memberikan indikasi bahwa dunia mulai beralih dari masa kritis menjadi fase pemulihan. Pemulihan ekonomi yang kuat, terus mendorong permintaan komoditas mengalami kenaikkan yang memberikan implikasi terhadap harga komoditas. Tentu kami berharap bahwa situasi dan kondisi seperti ini terus berlangsung secara konsisten. Meksipun seperti yang kita ketahui bahwa masih ada beberapa negara yang melakukan lockdown, tapi kami percaya itu hanyalah angin sementara sebelum pemulihan 100% itu terjadi. Selama China dan Amerika masih konsisten memimpin pemulihan ekonomi, sejauh itu pula kami percaya bahwa keduanya akan menjadi pendorong yang positif bagi negara negara lain untuk mengalami pemulihan. Perekonomian yang dibuka kembali dengan cepat di China mampu mendorong pertumbuhan pendapatan di sector riil sebesar 13.7% pada Q1 2021. Namun akan bisa menjadi tumbuh lebih cepat, asalkan masyarakat di China kembali terus melakukan konsumsi. Rasa khawatir bahwa Covid 19 belum berlalu masih memberikan rasa khawatir untuk masyarakat melakukan konsumsi dan itu merupakan sesuatu yang wajar saat ini. Sejauh ini China sendiri telah memberikan vaksin kepada 20 juta jiwa setiap hari dengan lebih dari 40% dari populasinya sudah menerima 1x vaksin. Hal ini yang terus memberikan rasa aman kepada masyarakat untuk jangan lagi menunda konsumsinya sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi China juga terus berlanjut. Sejauh ini menurut survey, sebanyak 49% masyarakat di China lebih memilih untuk menabung dari pada melakukan konsumsi, dan mereka yang mengatakan lebih memilih konsumsi hanyalah 22% dari responden. Responden di lakukan oleh People’s Bank of China terhadap 20.000 responden di 50 kota tersebar di seluruh China. Sejauh ini penjualan retail di China juga masih mengalami peningkatan sebesar 17.7% pada bulan April, meskipun tidak sekuat proyeksi dimana berada di 25%. Konsumsi barang dan jasa mengalami penurunan, namun masih dalam batas toleransi. Well, sejauh ini kami cukup percaya diri dengan pemulihan perekonomian di China, meskipun secara perlahan tapi pasti, namun tingkat akselerasi pemulihan masih dalam kategori yang sangat baik. Sehingga hal ini mampu mendorong konsistensi pemulihan ekonomi yang terjadi di China.
2.PAJAK KARBON
Baru-baru ini, pemerintah mengisyaratkan untuk memperkenalkan jenis pajak baru yaitu pajak karbon, yang belum pernah diatur dalam regulasi pajak di Indonesia. Inisiatif ini juga tertuang dalam Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022 - Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural. Penerapan pajak karbon juga sebagai bagian dari Reformasi Kebijakan Fiskal Hijau atau Green Fiscal Policy Reform di Indonesia. Sekitar 40 negara di dunia saat ini memiliki beberapa bentuk penetapan harga karbon melalui pajak karbon dan skema perdagangan emisi pada aktivitas emisi karbon, seperti pembangkit listrik atau proses industri. Alasan menempatkan harga pada karbon adalah untuk menghilangkan eksternalitas negatif dari perubahan iklim serta strategi untuk mengurangi emisi. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon yang dinilai dapat berdampak terhadap kinerja sejumlah perusahaan dalam bidang pertambangan, industri, hingga transportasi. Pengenaan pajak karbon kepada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon dengan besaran tarif minimal $75 per Kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Ketentuan subjek pajak dan pemungutannya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan lembaga terkait. Pengenaan tarif pajak karbon diusulkan sebesar US$5 hingga US$10 per ton CO2. Kisaran tarif tersebut dinilai masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di negara lain. Berdasarkan perkiraan IMF jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar US$75 per tCO2 secara menyeluruh, maka harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar. Peningkatan harga tersebut akan terjadi pada batu bara, gas alam, listrik, dan bensin, yang masing-masingnya akan meningkat sebesar 239%, 36%, 63%, dan 32%. Kenaikan harga tersebut dinilai dapat berdampak negatif dalam jangka pendek dimana biaya energi dapat mempengaruhi konsumsi, namun kami memperkirakan potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$1 - US$5 per tCO2 yang mencakup 60% emisi energi.

