ANALIS MARKET (19/3/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, lagi-lagi untuk kesekian kalinya, pasar obligasi mengalami koreksi.

Tidak peduli seberapa besar dampak positive yang diberikan oleh The Fed dan Bank Indonesia, tetap tak kuasa membuat pasar obligasi mengalami penurunan.

The Fed yang memberikan keyakinan bahwa tingkat suku bunga tidak akan dirubah pun seperti tak kuasa menahan pelemahan pasar obligasi, hal ini diakibatkan lagi lagi US Treasury 10y mengalami kenaikkan dan tembus hingga diatas 1.70%.

Dan ini menjadi alarm pertama yang kami hidupkan ketika US Treasury 10y tembus diatas 1.70%.

Hal ini tentu akan memberikan signal yang lebih kuat bagi US Treasury untuk mengalami penguatan hingga 2.2%.

Hal ini sejalan dengan proyeksi kami pemirsa, padahal kami tidak menyangka bahwa 1.70% dapat tertembus secepat ini, karena tingkat probabilitas hanya sebesar 44% saja.

Dan seperti yang kemarin kami sampaikan, apabila ternyata US Treasury dapat mencapai 2%, pasar saham berpotensi mengalami koreksi 7% - 10%.

Tentu ini menjadi sebuah pertimbangan bahwa ketika imbal hasil obligasi naik lebih tinggi, tentu saja akan memberikan return yang lebih menarik ketimbang pasar ekuitas dan tingkat suku bunga.

Bank Indonesia pun mengatakan bahwa masih tingginya ketidakpastian di pasar, membuat Bank Indonesia menahan tingkat suku bunganya.

Sebetulnya, kombinasi antara The Fed dan Bank Indonesia sudah sangat baik, namun sayang kekuatan US Treasury lebih besar.

Sehingga kami melihat bahwa tekanan masih akan membayangi pergerakan obligasi, dalam beberapa waktu mendatang, meskipun lebih kepada jangka pendek.

Jadi hati hati, karena imbal hasil SUN yang 10y akan mencoba menembus 7%. Oleh sebab itu, wait and see akan jauh lebih baik untuk saat ini. Akumulasi baru boleh dilakukan ketika imbal hasil SUN 10y menembus 7%, sehingga menjadi salah satu alasan yang tepat untuk membeli. US Treasury sendiri akan berpotensi menuju 1.8% sebelum menuju 2.2%, dan akan semakin terkonfirmasi menuju 2.2% apabilia 1.8% terlewati.

“Pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas. Kami merekomendasikan wait and see,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (19/3/2021).

Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;

1.DUNIA DALAM BERITA

Sudah lama tak mendengar pesan dari Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde tiba tiba dia muncul pemirsa. Oma Lagarde mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan untuk dapat mengeluarkan rencana pengeluaran stimulus agar dapat tepat waktu untuk memastikan bahwa kawasan tersebut dapat pulih dari masa pandemic. Dana pemulihan yang sebesar 750 miliar euro ($896 miliar) harus dapat beroperasi tanpa penundaan. Dana pemulihan tersebut tentu saja dapat mendorong prospek ekonomi Eropa khususnya bagi perusahaan dan rumah tangga, yang dimana dalam hal ini kebijakan fiscal dapat ikut memperkuat transmisi langkah langkah kebijakan moneter. Oma Lagarde mengatakan bahwa dirinya mendorong negara negara anggota Uni Eropa untuk dapat menyelesaikan rencana pengeluaran mereka dalam beberapa minggu mendatang. Pemerintah saat ini sedang dalam dikusi dengan Komisi Eropa tentang bagaimana menggunakan dana bersama. Rencana mengenai penggunaan tersebut akan jatuh tempo pada akhir bulan depan, dan uang tersebut akan cair pada musim panas. Eropa cukup jauh tertinggal kalau kami perhatikan pemirsa dibandingkan Amerika, baik dalam sisi pemulihan maupun dari sisi distribusi vaksin. Bahkan sekarang situasinya semakin sulit karena ada beberapa negara anggota Uni Eropa menolak vaksin dari Astra Zenecca. Sejauh ini sisi baiknya adalah Bank Sentral Eropa mendorong meningkatkan laju program pembelian obligasi untuk pandemic sebesar 1.85 triliun euro untuk 3 bulan kedepan untuk menjaga kenaikkan imbal hasil yang lebih tinggi yang dimana kenaikkan imbal hasil tersebut dapat merusak proses pemulihan perekonomian tahun ini. Biaya pinjaman akan mengalami peningkatan secara global karena adanya rebound yang cukup kuat dari ekonomi Amerika yang disebabkan adanya stimulus. Bank Sentral Eropa melihat bahwa tahun 2021 merupakan tahun pemulihan, namun kami tidak melihat hal itu akan terjadi hingga semester kedua 2021. Kami melihat bahwa kenaikkan imbal hasil obligasi akan mampu mendahului proses pemulihan ekonomi yang diharapkan yang dimana dapat menyebabkan proses pemulihan justru menjadi terganggu. Sejauh ini Bank Sentral mengatakan bahwa prospek perekonomian masih akan tidak pasti untuk tahun ini, oleh sebab itu Gubernur Bank Sentral Malta pun mengatakan bahwa ditengah situasi dan kondisi seperti ini, bukan waktunya untuk mengurangi dukungan kebijakan moneter dan fiscal. Dirinya mengatakan bahwa masih akan ada perjalanan yang panjang dan kasar untuk melewati masa masa pandemic saat ini. Bank Sentral Eropa mengumumkan bahwa mereka memberikan 330.5 miliar euro putaran terakhir kepada Bank Bank sebagai bentuk pinjaman jangka panjang. Pemberian tersebut di maksudkan untuk memastikan likuiditas berlimpah dengan dukungan dari kebijakan moneter yang diberikan oleh bank Sentral. Kami melihat penyebaran wabah virus corona yang belum bisa dikendalikan masih menjadi salah satu penyebab mengapa perekonomian Eropa cukup lama untuk bisa mulai beradaptasi dengan pemulihan. Sementara Amerika mulai menjalani proses pemulihan kami tidak melihat bahwa proses pemulihan tersebut telah berjalan di Eropa. Sulitnya pengendalian wabah virus corona ditambah dengan distribusi vaksin yang lambat, ditambah lagi dengan kurangnya dukungan dari moneter dan fiscal menurut kami membuat pemulihan berjalan jauh lebih lambat. Karena tampaknya dukungan dari moneter dan fiscal terlihat ragu ragu untuk dapat mendorong perekonomian untuk bisa pulih karena mereka sendiri tidak yakin bahwa bahwa kebijakan dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Tentu kami berharap bahwa perekonomian di Eropa bisa pulih, dan bisa mengalami kebangkitan lebih cepat karena Eropa juga merupakan salah satu mitra dagang bagi Indonesia. Disisi yang lain, kita berharap juga bahwa pertemuan antara Amerika dan China dapat berjalan dengan baik pada pertemuan di Alaska, karena apabila pertemuan di Alaska berjalan dengan baik, tentu saja ada potensi bahwa bulan depan Amerika dan China dapat bertemu untuk membahas hubungan mereka yang mungkin sedang berada dalam posisi yang kritis. Pertemuan Biden dan Xi akan menjadi salah satu moment positive bagi pasar, dan di perkirakan pertemuan keduanya akan terjadi pada tanggal 22 April mendatang dalam acara Earth Day. Tentu harapannya adalah pertemuan kedua negara ini akan menjadi salah satu point bahwa pemulihan akan menjadi lebih baik kalua keduanya bekerja sama. Amerika yang masih menjalani proses pemulihan, dan China yang proses pemulihan sudah hampir berakhir. Cui Tiankai sendiri, duta besar China untuk Amerika mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu berharap pada pertemuan Alaska dapat memberikan hasil yang diinginkan. Semua pembicaraan antara Amerika dan China akan menjadi berhasil apabila dialog dimulai dengan jujur, konstruktif, dan rasional. China masih terus mendesak Amerika hingga hari ini agar Biden setidaknya dapat menghapus tarif dan sanksi yang sebelumnya diberikan oleh Trump, serta memberikan kelonggaran terkait dengan kerjasama mengenai penjualan teknologi China. Kami melihat meskipun Amerika dan China bertemu, tampaknya tidak akan mudah untuk membuat keduanya bekerja sama pemirsa, pasalnya antara Amerika dan China sudah terlalu melebar kemana mana permasalahannya. Mulai dari Hong Kong, Taiwan, dan Xinjiang merupakan masalah yang cukup panjang yang dipermasalahkan oleh Amerika terhadap China. Oleh sebab itu meskipun secara kerjasama mungkin akan sulit, tapi secara impact mungkin dapat kita katakan cukup baik karena pertemuan kedua negara tersebut akan memberikan sebuah moment bahwa perbaikan perekonomian dunia dapat lebih cepat.

2.BANK INDONESIA

Dalam RDG Bank Indonesia pada Kamis pekan ini, Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7DRRR 3.5% suku bunga pinjaman 4.25% dan suku bunga simpanan 2.75%. Keputusan tersebut sejalan dengan komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah dari ketidakpastian pasar keuangan global yang dalam beberapa pekan terakhir ikut memberikan tekanan pada pergerakan rupiah. Selain itu sinergi Bank Indonesia dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan mengoptimalkan kebijakan makro prudensial akomodatif, akselerasi pendalaman pasar uang, dukungan kebijakan internasional serta digitalisasi system pembayaran menjadi fokus dari Bank Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Hal tersebut sejalan dengan langkah – langkah kebijakan sebagai tindak lanjut sinergi kebijakan KSSK dimana implementasi dari mempercepat penyaluran kredit perbankan kepada pelaku usaha di sector – sector prioritas menjadi focus Bank Indonesia dalam waktu dekat. Tentu hal ini yang menjadikan pelaku usaha sedikit menahan diri dalam berekspansi. Hal tersebut seiringan dengan lambatnya respon dari perbankan dalam melakukan penurunan kredit. Turunnya kualitas kredit sebagai dampak dari pandemic memberikan tekanan pada kenaikan CKPN perbankan yang juga memberikan tekanan pada laba perbankan di tahun 2020. Restrukturisasi kredit yang diperpanjang hingga 2022 tentu menjadikan perbankan lebih berhati – hati dalam melakukan distribusi kredit. Namun yang jadi permasalahan saat ini bagi pelaku usaha adalah melambatnya daya beli masyarakat yang masih terjadi di akhir kuartal I tahun ini. Adanya momentum lebaran pada kuartal II dinilai tidak berdampak signifikan pada kenaikan daya beli, namun kami mencermati dampak stimulus PPnBM dan juga pelonggaran kredit property saat ini. Sebelumnya BI juga telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Februari 2021, penurunan suku bunga tersebut berada pada level terendah. Kami melihat pada tahun ini ruang penurunan suku bunga lebih terbatas, hal tersebut seiringan dengan kondisi perekonomian yang diproyeksikan dapat lebih baik dibandingkan tahun lalu.