ANALIS MARKET (17/3/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, ternyata animo total penawaran yang masuk benar benar dibawah Rp 50 T, dan bukan cerita baru apabila imbal hasil yang diminta terlalu tinggi oleh pelaku pasar dan investor, tentu saja pemerintah akan menyerap hanya sesuai dengan batas toleransinya.
Alih alih menghindari penyerapan imbal hasil yang terlalu tinggi, pemerintah apabila ternyata mendesak mereka akan lebih memilih obligasi melalui lelang tambahan, dan itu akan terjadi pada hari ini.
Selain pengaruh dari tingginya US Treasury, penantian akan pertemuan dengan Bank Indonesia juga ternyata mencuri perhatian tersendiri pemirsa.
Sikap dan langkah Bank Indonesia akan ditentukan pada hari Kamis mendatang, meskipun kami cukup yakin bahwa Bank Indonesia akan melakukan apa yang bisa dilakukan, namun menerima apa yang tidak bisa dilakukan.
Terkait dengan tingkat suku bunga, menurut kami Bank Indonesia belum akan menurunkan tingkat suku bunganya kembali, setidaknya sampai kuartal ke 2 usai, itupun kalau memang pemangkasan dibutuhkan.
Namun apabila SBDK masih belum kunjung turun, ya menurut kami percuma juga untuk memangkas tingkat suku bunga acuan apabila ternyata baru diikuti oleh tingkat suku bunga kredit 9 bulan kemudian.
Oleh sebab itu, kami melihat pertemuan Bank Sentral ini akan menjadi salah satu penantian bagi pelaku pasar dan investor untuk menetapkan langkah mereka selanjutnya untuk melihat sejauh mana pasar obligasi akan bergerak. Kehati-hatian merupakan saat yang penting saat ini.
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Rabu (17/3) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas.
“Kami merekomendasikan wait and see,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Rabu (17/3/2021).
Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;
1.CHINA MULAI KEMBALI
Aktivitas perekonomian China tampaknya mulai mengalami perbaikan pada awal tahun 2021 apabila kita bandingkan dengan tahun lalu, meskipun perbaikan perekonomian China tidak dapat kita katakan merata. Mengapa demikian? Karena output industry berada dalam posisi yang kuat yang dimana didorong oleh ekspor namun konsumsi masih mengalami pelemahan. Pertumbuhan produksi industry berada di posisi 35.1% dimana hal ini lebih tinggi dari pada proyeksi sebesar 32.2%. Pertumbuhan produksi yang mengalami kenaikkan tersebut karena pemerintah China sebelumnya melarang para pekerja untuk pulang kampung, dan meminta mereka untuk tetap bekerja. Sejauh ini data perekonomian tersebut, apabila dikombinasikan dengan data ekspor pada bulan January dan February yang mengalami penguatan memberikan sebuah gambaran bahwa pemulihan terus terjadi khususnya pada produksi industry yang di ekspor dan peningkatan investasi di sector property. Hal ini menjadi sebuah gambaran bahwa perekonomian China akan lebih menyesuaikan terhadap permintaan konsumsi dalam negeri. Penjualan ritel sendiri mengalami kenaikkan yang berada di 33.8%, lebih tinggi dari proyeksi yang berada di 32%. Pasar saham China sendiri mengalami penurunan karena pelaku pasar dan investor khawatir akan adanya likuiditas di pasar yang akan berkurang. Bank Sentral sendiri sejauh ini memang berniat untuk melakukan pengurangan pelonggaran kebijakan moneter sebagai bagian dari rencana pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, meskipun Bank Sentral China mengatakan bahwa mereka tidak akan melakukan pengetatan kebijakan moneter yang mendadak. Sejauh ini kami menyakini bahwa China masih akan tetap menjaga ketersediaan likuiditas di pasar, karena pemulihan masih belum merata di semua sector dan fondasi pemulihan sendiri masih dapat kita katakan rapuh meskipun China mendorong dual circulation tahun ini. Namun demikian tingkat konsumsi yang masih rendah juga didorong oleh tingginya tingkat pengangguran di area perkotaan sebesar 5.5%, dimana dari 5.5% tersebut didominasi oleh angkatan muda. Perhatian akan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan masih akan menjadi focus China sehingga perekonomian China dapat kembali pada tingkatan percepatan yang diinginkan oleh China yang dimana mereka menginginkan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih dari 6%. Nah yang akan menjadi perhatian adalah pertemuan antara China dengan Amerika pada akhir pekan ini dalam Pertemuan Alaska. Ini akan menjadi sesuatu yang cukup sulit, sikap apa yang akan disampaikan oleh Biden ketika pertama kali menjabat sebagai Presiden Amerika. Sebelumnya memang kalau kita tilik kebelakang, Biden cukup akrab dan famous di China, namun sebagai posisi Wakil Presiden kala itu. Kali ini mewarisi tensi yang cukup tinggi dari Trump, tentu membuat gengsi dari Biden juga naik karena berhasil menekan China melalui beberapa kebijakannya. Nah, pertemuan kali ini juga diharapkan dapat membawa hasil yang baik, meskipun Amerika selalu mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan hak asasi manusia yang terjadi di China dan dalam hal teknologi. Yang akan bertemu nanti adalah Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan dan Sekretaris Negara, Antony Blinken yang akan bertemu dengan Yang Jiechi, seorang anggota Politbiro yang berkuasa dan Wang Yi, Menteri Luar Negeri China. Semoga saja ada kabar baik dari keduanya meskipun tidak bisa menutup kemungkinan bahwa tensi di antara keduanya masih tinggi. Hari ini pasar akan sedikit calm mengingat besok waktu setempat pertemuan Bank Sentral The Fed akan menjadi sesuatu yang sangat dinantikan. Yuk kita lanjut lagi.
2.CROSS BORDER
Masifnya penjualan barang impor di platform e-commerce memberikan kecemasan pada pelaku usaha dalam negeri. Selain merugikan bagi para pengusaha, barang impor tersebut dikhawatirkan memberikan kerugian negara dimana proses masuknya secara illegal. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM memastikan adanya perlindungan bagi para pelaku koperasi dan UMKM yang go digital dari bahaya praktik cross-border ilegal pada platform e-commerce. Komitmen keberpihakan yang kuat dan pelindungan terhadap UMKM tercermin dari berbagai kebijakan yang dituangkan dalam UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM juga telah resmi diundangkan. PP tersebut dinilai cukup krusial bagi pemerintah guna melindungi pelaku usaha dari persaingan harga yang tidak sehat. Dalam audiensi yang digelar KemenkopUKM, Para pelaku usaha menyampaikan keluhan dan paparan data perihal potensi terjadinya praktik cross border ilegal pada platform e-commerce yang berdampak buruk tidak hanya untuk pengusaha pemegang hak impor resmi, namun juga pelaku UMKM lokal. Produk asing ilegal yang berharga sangat murah dan belum tentu asli bisa mengancam produk lokal. Potensi kerugian negara juga sangat besar akibat praktik cross border ilegal karena tidak ada pajak yang dibayarkan. Produk ilegal yang banyak dikeluhkan adalah barang-barang lartas yaitu kimia, kosmetik, obat, dan lain-lain. Produk tersebut diimpor dan beredar tanpa izin melalui e-commerce. Praktik ini menyebabkan banyaknya produk palsu dan ilegal di luar akun merchant resmi dengan harga yang jauh lebih murah beredar melalui e-commerce, karena tidak mengurus izin BPOM dan diduga tidak membayar pajak sesuai peraturan. Hanung menegaskan, pelindungan pemerintah terhadap UMKM terkait produk yang masuk dari negara lain telah dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK/010/2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari US$ 75 menjadi US$ 3. Saat ini, barang impor di atas US$ 3 dikenakan tarif pajak sebesar 17,5% yang terdiri dari bea masuk 7,5%, PPN 10%, dan PPh 0%. Di sisi lain PP 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga telah mengatur berkenaan aktivitas perdagangan melalui platform digital seperti e-commerce. Kami melihat praktik cross border dapat merugikan berbagai pihak apabila tidak memiliki regulasi yang baik. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross border ilegal yang harganya jauh lebih murah. Konsumen juga akan dirugikan karena keaslian dari produk cross border ilegal tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bisa berakibat fatal terhadap kesehatan serta keselamatan konsumen. Selain itu negara juga akan dirugikan karena adanya potensi kehilangan pendapatan negara akibat tidak adanya penerimaan pajak dari produk cross border ilegal tersebut. Sehingga ketegasan dari pemerintah dan juga kesadaran pelaku usaha yang melakukan aktivitas tersebut diperlukan guna menjaga iklim usaha dalam negeri tetap dalam kondisi yang sehat.

