ANALIS MARKET (18/9/2020) : Pasar Obligasi, Aksi 'Wait and See' Direkomendasikan
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi akhirnya harus merasakan kecewa, karena Bank Indonesia belum akan menurunkan tingkat suku bunganya, namun disatu sisi, kebijakan non moneter juga masih minim.
Memang benar, penurunan tingkat suku bunga sebetulnya akan menjadi buah simalakama bagi pasar, namun disatu sisi, minimnya kebijakan moneter membuat pasar sedikit cemas.
Hal tersebut yang membuat IHSG dan pasar obligasi cenderung mengalami pelemahan kemarin.
Alhasil, turunnya obligasi kemarin menunjukkan indikasi bahwa pasar obligasi akan kembali mengalami pelemahan, dan akan menguji imbal hasil di area 6.95% untuk obligasi pemerintah 10y.
Yang menarik adalah bahwa Bank Indonesia masih menjadi standby buyer guys hingga tahun 2021 apabila masih diperlukan untuk menopang pertumbuhan perekonomian.
Tentu hal ini merupakan sesuatu yang sangat baik, karena Bank Sentral Indonesia dan pemerintah melakukan koordinasi yang sangat baik untuk menopang dan menutup deficit APBN yang semakin melebar.
Apalagi saat ini Bank Indonesia baru menyerap sedikit dari apa yang sudah dijanjikan terhadap pemerintah, sehingga ruang untuk Bank Indonesia untuk menyerap obligasi kedepannya masih besar.
Namun sentiment positif ini tidak serta merta langsung membuat membuat harga obligasi melambung, karena masih ada resiko yang lebih besar.
Sukses atau tidaknya perekonomian Indonesia tahun depan, tergantung bagaimana pemerintah mampu untuk mengendalikan penyebaran virus.
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Jumat (18/9) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka melemah dengan potensi melemah terbatas. Dalam rentang 35 – 70 bps, pasar obligasi akan bergerak, lebih dari itu diikuti dengan volume yang cukup akan menjadi arah pasar selanjutnya.
Adapun cerita di akhir pekan ini akan kita awali dari;
1.SEBUAH CERITA DARI BANK SENTRAL
Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank Sentral Jepang mengatakan bahwa Bank Sentral akan terus melakukan komunikasi dengan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Suga untuk mendorong perekonomian yang saat ini dilanda krisis akibat virus corona. Kuroda berbicara kepada para wartawan pada hari Kamis kemarin yang dimana Kuroda kembali berusaha untuk memberikan keyakinan kepada pelaku pasar dan investor bahwa Bank Sentral Jepang akan terus melonggarkan kebijakannya untuk mendorong perekonomian serta mengejar target inflasi 2%. Tidak hanya itu saja, Haruhiko Kuroda juga akan berusaha untuk mempertahankan hubungannya dengan pemerintah yang baru yang dimana sebelumnya sudah berlangsung selama 8 tahun dengan Shinzo Abe memimpin. Suga mengatakan sebelumnya bahwa dirinya tidak akan mendorong perubahan terlalu banyak pada Bank Sentral Jepang, karena sejauh ini kebijakan Bank Sentral Jepang juga sudah sangat membantu pasar keuangan untuk tetap stabil dan mendorong penyaluran kredit bagi para perusahaan yang terkena dampak wabah virus corona. Keputusan Bank Sentral Jepang dan Komentar Kuroda memberikan pesan kuat bahwa perubahan minim terjadi untuk saat ini karena wabah masih terus menyelimuti perekonomian Jepang. Bank Sentral Jepang akan terus bekerja sama dan berkoordinasi kuat dengan pemerintah dalam mengelola kebijakan. Mimpi Suga untuk melakukan reformasi structural mendapatkan dukungan penuh dari Bank of Japan dengan menyiapkan jaring pengaman melalui pelonggaran moneter. Dalam pertemuannya kemarin, Bank of Japan juga menaikkan penilaiannya terhadap perekonomian yang dimana mulai mengalami peningkatan dengan aktivitas yang dilanjutkan secara bertahap, meskipun laju perbaikan masih dalam kecepatan yang moderat karena perekonomian masih terus harus berjibaku dengan wabah virus corona. Kuroda berusaha untuk mempertahankan target inflasi sebesar 2%. Terkait dengan pernyataan The Fed yang tidak akan menaikkan tingkat suku bunga hingga 2023 ternyata mendapatkan sambutan yang sama dari Bank of Japan yang dimana mereka juga tidak akan menaikkan tingkat suku bunga hingga tahun yang sama dengan The Fed yaitu 2023. Kami melihat persamaan antara The Fed dan Bank Sentral Jepang inilah yang membuat market cukup kecewa. Ditambah lagi ternyata Bank Sentral Indonesia juga mengikuti jejak The Fed dan Bank Sentral Jepang secara garis besar. Pada akhirnya Bank Sentral Indonesia tidak mengubah tingkat suku bunga acuannya. Para pembuat kebijakan masih terus berusaha untuk menyeimbangkan antara pemberian stimulus dengan resiko pelemahan Rupiah lebih lanjut yang dimana sudah mengalami penurunan sebanyak 6.6% tahun ini terhadap dollar. Hal tersebut yang menjadikan Rupiah merupakan salah satu mata uang dengan pergerakan terburuk di Asia. Bapak Perry Warjiyo mengatakan bahwa Bank Indonesia telah mengadopsi setiap bauran kebijakan yang ada untuk membuat sinergi dan koordinasi dengan pemerintah untuk mendukung pemulihan perekonomian. Kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif, dan independent hal tersebut disampaikan oleh Bapak Perry dalam pernyataannya kemarin. Meskipun tidak menurunkan tingkat suku bunga, namun Bank Sentral Indonesia telah menurunkan persyaratan terkait dengan rasio cadangan bagi bank untuk dapat meningkatkan penyaluran kredit dan mulai membeli obligasi secara langsung dari pemerintah untuk membiayai pelebaran deficit anggaran. Kondisi likuiditas masih mencukupi, namun ekspansi moneter terhambat di sector perbankan, sehingga hal tersebut membuat permasalahannya bukan kepada cost yang rendah namun lebih kepada tranmisi moneter disana. Namun seiring dengan inflasi yang terkendali, dan apabila ternyata Rupiah juga mampu menguat bergerak stabil, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Bank Indonesia akan melanjutkan penurunan tingkat suku bunga dalam beberapa bulan mendatang. Sejauh ini Bank Indonesia sudah membeli obligasi secara langsung dari Pemerintah dengan nilai Rp 99.08 triliun atau $6.7 miliar, dari sekitar $27 miliar yang dijaminkan untuk dibeli. Yang menarik adalah bahwa Bank Sentral Indonesia siap untuk menjadi standby buyer untuk obligasi pemerintah tahun depan apabila diperlukan untuk mendorong pertumbuhan. Tentu ini menjadi salah satu hal yang baik, karena tahun depan pun belum tentu perekonomian dapat pulih dalam waktu yang cepat karena itu semua tergantung dengan bagaimana pemerintah Indonesia dapat mengendalikan virus. Tidak hanya itu saja pemirsa, persyaratan rasio cadangan yang lebih longgar akan diberikan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah dan akan diperpanjang hingga bulan June 2021. Tentu hal tersebut memberikan kabar yang lebih baik kalau kita bandingkan dengan Bank Sentral The Fed dan Bank Sentral Jepang, namun tentu harapannya adalah bahwa apabila tidak adanya pemangkasan tingkat suku bunga, maka diharapkan Bank Indonesia dapat memberikan kebijakan kebijakan non moneter yang dapat mendorong stimulus perekonomian lebih banyak lagi.
2.SEBUAH RAMALAN DARI OECD
Menjelang akhir tahun, beberapa ekonom maupun lembaga Analisa mulai massif memberikan pandangannya terhadap perekonomian dunia. Kali ini, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi OECD memproyeksikan ekonomi global hanya akan turun sebesar 4,5% tahun ini, sebelum tumbuh sebesar 5% pada tahun 2021. Perkiraan tersebut sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan dengan Outlook Ekonomi OECD bulan Juni yakni minus 6%. Hal ini disebabkan oleh perkembangan lebih baik dari yang diharapkan untuk kasus China dan Amerika Serikat pada paruh pertama tahun ini. Kepala Ekonom OECD Laurence Boone mengatakan dunia sedang menghadapi krisis kesehatan yang akut dan perlambatan ekonomi paling dramatis sejak Perang Dunia Kedua. Akhir dari dampak pandemi belum terlihat, tetapi masih banyak yang dapat dilakukan pembuat kebijakan untuk membantu membangun kepercayaan. Di sisi lain, jika ancaman pandemic virus corona memudar lebih cepat dari yang diharapkan, peningkatan kepercayaan bisnis dan konsumen dapat meningkatkan aktivitas global secara tajam pada tahun 2021. Namun, jika virus yang lebih kuat muncul yang mengakibatkan penguncian yang lebih ketat, kondisi tersebut dapat memangkas 2-3% dari pertumbuhan global pada tahun 2021. Menurutnya, tanpa dukungan pemerintah yang berkelanjutan, kebangkrutan dan pengangguran dapat meningkat lebih cepat dari yang seharusnya dan berdampak pada mata pencaharian masyarakat selama bertahun-tahun yang akan datang. Kami melihat saat ini fokusnya berada pada pembuat kebijakan dari setiap negara, hal ini sehubungan dengan rencana pemulihan yang benar-benar berkelanjutan dan dapat menghidupkan kembali ekonomi serta menghasilkan investasi dengan dukungan dari ekonomi digital yang saat ini sangat dibutuhkan baik oleh perusahaan kecil maupun menengah, serta dalam infrastruktur ramah lingkungan, transportasi dan perumahan.
“Menyikapi beragam kondisi tersebut diatas, kami merekomendasikan wait and see,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (18/9/2020).

