ANALIS MARKET (21/2/2020) : Pasar Obligasi Berpotensi Melemah

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pada akhirnya Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga sebesar 25 bps kemarin (20/2).

Namun ternyata, yang tadinya kita berharap ada penguatan, namun ternyata dijadikan moment penjualan disaat yang bersamaan di harga tertinggi saat ini. Memang benar, bagi yang sudah memiliki obligasi tersebut terlebih dahulu, tentu hal ini menjadi sebuah moment yang sangat baik untuk profit taking.

Namun apakah yang membeli sekarang sudah tidak ada harapan untuk merasakan kenaikkan obligasi?

“Pada dasarnya pasar obligasi kita, imbal hasil obligasi 10y hari ini sudah menyentuh di 6.47%, tentu hal ini merupakan sesuatu yang baik, karena sejauh ini masih inline dengan prediksi kami bahwa pasar obligasi masih berpotensi untuk mengalami penguatan,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (21/2/2020).

Ditambahkan, harga obligasi acuan 10y Fr 82 bisa berpotensi mencapai 104.54 - 105.35, tentu hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk saat ini.

Apabila situasi dan kondisi tidak ada yang berubah, maka besar kemungkinan target tersebut bisa terpenuhi.

Lebih lanjut, analis Pilarmas menilai, diperdagangan Jumat (21/2) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariatif dengan potensi melemah.

Di satu sisi pasar obligasi mulai memasuki situasi dan kondisi yang mulai jenuh atau overbought, sehingga berpotensi untuk mengalami penurunan terlebih dahulu.

Adapun cerita hari ini akan kita mulai dari;

1.PANGKAS PANGKAS PANGKAS!

Ditengah kecemasan akan perlambatan ekonomi yang terjadi di China dampak dari penyebaran virus, otoritas keuangan China memangkas suku bunga pinjamannya. Kebijakan pemangkasan suku bunga pinjaman yang dilakukan oleh People’s Bank of China (PBOC) sebagai bauran langkah kebijakan fiscal dan moneter dalam beberapa pekan terakhir yang bertujuan meredam dampak virus pada ekonomi. Ini merupakan upaya China untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya akibat wabah virus corona yang melanda di China yang berdampak jaringan pasokan global dan penurunan kondisi bisnis serta aktivitas pabrikan di China. People’s Bank of China (PBOC) dalam rilis melakukan pemangkasan suku bunganya loan prime rate 1 tahun dari turun 10 bps sebelumnya 4.15% menjadi 4.05%, sementara loan prime rate untuk 5 turun 5 bps tahun dari sebelumnya 4.8% menjadi 4.75%. PBOC berusaha untuk menggabungkan upaya biaya pinjaman yang lebih rendah dengan likuiditas yang jauh lebih besar untuk meredam implikasi dari penyebaran virus korona. Sejauh ini kami melihat bahwa pertemuan politbiro yang dilakukan pada tanggal 12 February lalu mulai memberikan hasil. Pertemuan tersebut mengisyaratkan bahwa pihak berwenang akan mencoba untuk mengubah kebijakan moneter agar menjadi lebih flexible, dan menunjukkan pelonggaran moneter lebih lanjut harus dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

2.BYE BYE 5

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memutuskan menurunkan suku bunga acuannya. BI 7 Days Repo Rate turun di posisi 4,75% dari sebelumnya 5%. Dan, Deposit facility turun 25 bps jadi 4% dan suku bunga lending facility turun 25 bps jadi 5,5%. Dalam rilisnya, Gubernur BI mengungkapkan kebijakan tersebut telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi global dan domestik. Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali, stabilitas eksternal yang aman serta langkah pre-emtive untuk menjaga momentum ekonomi domestik di tengah tertahannya ekonomi global sehubungan terjadinya Covid 19 (corona) dan untuk transmisi kebijakan yang akomodatif. Karena penyebaran virus tersebut dapat mengganggu pemulihan perekonomian global, termasuk Indonesia dan wabah ini berpotensi membawa beberapa dampak terhadap perekonomian Indonesia melalui tiga jalur yaitu pasar keuangan, sektor riil, dan sektor pemerintah. Pak Perry Warjiwo juga mengatakan bahwa dampak dari virus korona akan lebih terasa oleh perekonomian Indonesia pada bulan February dan Maret atau sepanjang kuartal I – 2020. Gubernur Bank Indonesia juga mengatakan bahwa hasil assessment Bank Indonesia, dampak yang ditimbulkan akan berpola V-shape yaitu mengalami penurunan signifikan pada kuartal I-2020, namun akan pulih secara berangsur-angsur selama enam bulan ke depan. Artinya, dampak secara keseluruhan masih akan terasa selama enam bulan ini. Di sektor pariwisata, dengan skenario penutupan penerbangan dari dan ke China selama dua bulan dan penurunan wisatawan mancanegara (wisman) China maupun negara lainnya selama enam bulan, Bank Indonesia memperkirakan pengaruhnya terhadap penurunan devisa pariwisata mencapai kurang lebih US$ 1,3 miliar. Sementara di sektor perdagangan internasional, gangguan logistik dan distribusi dalam proses ekspor dan impor akan berpengaruh mengurangi devisa masingmasing sebesar US$ 300 juta dan US$ 700 juta. Dari sisi investasi, Bank Indonesia juga memperhitungkan potensi terjadinya penundaan realisasi investasi khususnya dari China sebesar kurang lebih US$ 400 juta. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Bank Indonesia merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2020. Assessment ini akan terus dilakukan oleh Bank Indonesia dan akan diupdate berdasarkan pantauan karena memang ketidakpastiannya masih sangat tinggi. Bank Indonesia mengatakan bahwa GDP Indonesia diprediksikan akan berada dibawah 5% atau dalam rentang 4.9% - 5% diakhir kuartal I – 2020. Sejauh ini Bank Indonesia terus aktif melakukan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif ditambah lagi dengan kebijakan fiscal Pemerintah dengan percepatan belanja atau frontloading, sehingga Bank Indonesia optimis GDP akan bangkit pada kuartal III dan kuartal IV. Sehingga atas dasar hal ini, Bank Indonesia melihat bahwa pertumuhan Indonesia pada tahun 2021 akan berada dikisaran 5.2% - 5.6%. Bank Indonesia juga akan melakukan kebijakan makro prudensial dengan cara menyesuaikan ketentuan terkait perhitungan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan memperluas cakupan pendanaan dan pembiayaan pada kantor-kantor cabang bank di luar negeri yang diperuntukkan bagi ekonomi Indonesia. Hal ini akan memberikan ruang gerak yang lebih lebar lagi bagi perbankan untuk menyalurkan kredit. Sehingga tingkat suku bunga diturunkan tidak hanya menaikkan penyaluran kredit, tetap juga diharapkan permintaaan terhadap kredit bisa terkerek naik. Selain itu, kebijakan sistem pembayaran juga terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi antara lain melalui perluasan akseptasi QRIS ( Quick Response Code Indonesian Standard ) serta elektronifikasi bansos dan transaksi keuangan pemerintah daerah (pemda). Sehingga kami melihat bahwa hal ini sudah cukup baik untuk merespon dampak virus corona tersebut, sehingga hal ini diharapkan dapat memberikan ketahanan bagi perekonomian Indonesia.

“Kami merekomendasikan wait and see hari ini dengan potensi jual,” sebut analis Pilarmas.