Pemerintah Isyaratkan Kenaikan Iuran, Dirut BPJS Kesehatan : Kami Siap Jalankan

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris memastikan siap menjalankan ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) terkait penyesuaian iuran BPJS Kesehatan.

Perpres itu akan berlaku sejak 1 Januari 2021.

"Kami prinsipnya menjalankan apa yang menjadi tindaklanjut Perpres tentang penyesuaian iuran yang berlaku 2021," ujarnya dalam rapat bersama Komisi IX, Jakarta, Selasa (24/11/2020).

BPJS Kesehatan juga akan berkomunikasi dan sosialisasi untuk menyamakan persepsi dalam penyesuaian iuran tersebut.

"Memang bicara tentang (masyarakat) miskin 26 juta, tetapi yang ditanggung ini miskin dan tidak mampu, yakni 96,5 juta yang terdaftar," ujar dia.

Fahmi menyampaikan kepraktisan dalam pembiayaan jaminan sosial sebenarnya hanya 40 persen yang ditanggung sesuai kapasitas pemerintah.

"Kalau bicara 40 persen sekitar 1,6 juta sebetulnya yang di-cover tetapi penambahan peserta terdaftar ini tentu akan berdampak pada fiskal kita," lanjut dia.

Data yang diterima BPJS Kesehatan tersebut hanya sebagai flow. Artinya, data penambahan dan pengurangan dalam penggantian yang didaftarkan Kementerian Sosial dengan sistemnya sendiri.

"Walaupun ada potensi inklusin dan enklusin error," ucap dia.

Sementara, Anggota Komisi IX, Kurniasih Mufidayati meminta Kementerian Kesehatan mengkaji secara komprehensif pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK).

Dengan begitu, pelaksanaannya tidak merugikan rakyat.

"Kita ingin kajian ini benar-benar final, komprehensif, tidak merugikan sedikit pun dan satu pun rakyat Indonesia dalam haknya untuk mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya BPJS Kesehatan," sebut dia.

Dia juga berharap, tidak ada disparitas layanan kesehatan dalam kebijakan tersebut. Khususnya pada paket manfaat kebijakan JKN berbasis KDK.

Sebab, adanya pemberlakuan kelas standar bagi peserta BPJS Kesehatan.

"Bisakah pemerintah dan semua stakeholder yang hadir pada hari ini menjamin, disparitas yang selama ini terjadi antara iuran kelas dan layanan yang selama ini sangat jomplang itu bisa teratasi dengan adanya kebijakan KDK dan kelas standar? Bisa enggak ini dijamin?" paparnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan, rumah sakit perlu standar yang sama dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Sedangkan, RS memiliki kapasitas yang berbeda, baik di sektor sumber daya maupun finansial.

"Contoh DKI, APBD-nya besar, sehingga RSUD bisa berkembang dengan baik, layanannya sudah lebih better. Tetapi bagaimana dengan RSUD di daerah yang APBD-nya kecil? Bagaimana RS swasta yang kategorinya masih kelas C? Siapa yang akan support dana kepada mereka untuk bisa laksanakan kebijakan perbaikan sistem JKN?" lanjut dia.

Menurut dia, semua RS punya standar pelayanan yang sama. Namun, tidak dengan kemampuan fasilitas dan penunjang lainnya.

"Fasilitas beda, kemampuan anggarannya beda, kecukupan fasilitas rumah sakitnya juga beda," ujar dia.

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto mengisyaratkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Ia berdalih, penyesuaian iuran sebagai amanat Peraturan Presiden 64 Tahun 2020 atas kelas standar dan kebutuhan dasar kesehatan (KDK).

"Adanya amanat dalam Perpres 64/2020 tentang peninjauan ulang iuran Jaminan Kesehatan Nasional, rawat inap kelas standar, konsekuensinya pada perubahan besaran iuran," ujarnya.

Penetapan iuran, sambung Terawan, tentunya dengan pertimbangan Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, termasuk juga kementerian yang dipimpinnya, Kementerian Kesehatan.

Sebagai gambaran, pertama, penetapan iuran akan menggunakan metode aktuaria. Kedua, pertimbangan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan, rawat inap kelas standar, kemampuan membayar dari peserta, inflasi kesehatan, termasuk perbaikan tata kelola program JKN.

Adapun, pemanfaatan program JKN berbasis kebutuhan dasar kesehatan yang dijamin berdasarkan pola epidemiologi atau penyakit umum di Indonesia.

"Dasar penentuan manfaat berbasis kebutuhan dasar kesehatan yang tidak dijamin JKN kemudian akan disesuaikan dengan Pasal 52 Perpres 82 Tahun 2018," ujarnya.

Meskipun demikian, Terawan menegaskan, saat ini proses penyesuaian iuran JKN masih dalam tahap awal.

"Masih disiapkan permodelan perhitungan iuran dengan data utilisasi dengan data cost (biaya) dari BPJS Kesehatan dan mempertimbangkan proyeksi dan asumsi berbagai kebijakan," tandasnya.