Penurunan Tarif PPh Badan di UU Cipta Kerja Dinilai Perlu Ditinjau Ulang

foto : ilustrasi (ist)

Pasarsana.id - Penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dalam Undang Undang Cipta Kerja patut menjadi perhatian untuk diuji efektifitasnya.  

Pandangan itu disampaikan ekonom The Prakarsa, Cut Nurul Aidha dalam siaran pers, Jumat (09/10/2020).

“Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun, sementara diperlukan mobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang mensejahterakan rakyat,”  terangnya.

Ia menjelaskan, penurunan tarif itu tertuang dalam UU Cipta Kerja yang terdiri dari 15 Bab dan 186 Pasal, dimana terdapat klaster perpajakan pada Bab VI Bagian Ketujuh yang berisi 4 Pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114.

Masuknya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja mengakomodir pasal-pasal pada rancangan Omnibus Law Perpajakan yang belum masuk ke dalam UU No.2/2020.

Ia menambahkan, penurunan tarif PPh Badan ini yang didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi menjadi kurang tepat, karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi.

“Dengan begitu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia,” tegas dia.

Selain itu, Cut Nurul Aidha juga menanggapi perihal Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen di luar negeri di Pasal 111, dimana disebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri oleh pemilik Indonesia tidak dipajaki apabila ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya di Indonesia dalam jangka waktu dan memenuhi persyaratan tertentu.

“Penghapusan PPh atas dividen ini perlu dipahami tidak selalu menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri dan juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak,” tandas Cut.