Pemerintah Akan Kejar Pajak Dari Netflix

Foto : istimewa

Pasardana.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memaksa penyedia jasa layanan video on demand, Netflix, untuk membayar pajak di Indonesia. Hal ini juga mengingat layanan video on demand memiliki potensi pajak yang cukup besar, lantaran kini masyarakat lebih menyukai menonton secara streaming.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyatakan, segala produk dan jasa yang berasal dari luar negeri namun dikonsumsi dalam negeri harus terdaftar sebagai wajib pajak.

"Terkait dengan beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, konteksnya bila memang dia memenuhi syarat sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap), kami memang meminta mereka mendaftarkan diri (sebagai wajib pajak)," ujar Suryo dalam konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Dia melanjutkan, dalam aturan tentang perpajakan, salah satu syarat menjadi BUT adalah memiliki bangunan secara fisik di Indonesia. Oleh sebab itu, Suryo menyatakan, pemerintah sedang berupaya untuk bisa menarik pajak dari Netflix dan sejenisnya yang belum berkategori BUT.

"Untuk melaporkan pajak penghasilan yang terutang. Ini yang terus kita lakukan kita menguji apakah memang mereka memiliki eksistensi di Indonesia," ungkap dia.

"Beberapa sudah kami minta daftar. Dalam dua bulan ke depan ini, kami melihat denyut untuk kegiatan usaha seperti itu bertambah," sambungnya.

Salah satu upaya yang juga dilakukan pemerintah yakni dengan menyusun rancangan undang-undang (RUU) yang akan menggantikan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Dalam aturan baru yang diusulkan tersebut akan mengakomodir semua UU pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga Ketentuan Umum Perpajakaan (KUP). Nantinya konsep pengenaan pajak tidak harus berbentuk BUT, tetapi berdasarkan aktivitas bisnisnya di Indonesia.

"Kami memang fokus dan lihat secara spesifik terkait perusahaan-perusahaan yang seperti itu," tandasnya.

Sebelumnya perusahaan digital harus menjadi BUT dengan syarat kantor perwakilan di Indonesia agar bisa dikenakan pajak.
 
Namun pemerintah menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) baru mengenai ketentuan perpajakan dan fasilitas perpajakan. Melalui RUU ini, pemerintah hanya perlu membuat perjanjian pajak (tax treaty) dengan negara asal perusahaan digital tanpa memberi syarat mendirikan kantor perwakilan di Indonesia.