Iklim Makro Indonesia Saat Ini Sangat Mendukung Pembangunan Infrastruktur

foto : istimewa

Pasardana.id - Presiden Direktur Maybank Indonesia, Taswin Zakaria mengatakan, iklim makro Indonesia saat ini sangat mendukung pembangunan infrastruktur yang memang sangat dibutuhkan Indonesia.

"Suku bunga yang rendah memungkinkan pendanaan proyek infrastruktur yang kompetitif. Inflasi yang stabil pada kisaran 3,5%-4,0% dalam dua tahun terakhir dan nilai tukar rupiah juga stabil. Pada sisi fiskal, pemerintah Indonesia telah berhasil menjaga defisit neraca di bawah 3%. Lebih jauh, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat implementasi proyek infrastruktur," papar Taswin Zakaria, saat jumpa pers Maybank Invest ASEAN di Grand Hyatt Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (16/9/2016).

"Fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur juga akan mengurangi biaya Iogistik, mendukung grup dengan pendapatan rendah dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Kami berharap hal ini dapat memicu pertumbuhan yang kuat di sektor consumer mass market dalam satu dasawarsa ke depan," sambung Taswin.

Pihaknya bahkan memprediksi bahwa belanja modal infrastruktur Indonesia akan menembus US$ 264 miliar atau Rp 3.484 triliun (kurs Rp 13.200/US$) dalam periode 2016-2020 atau setara dengan 30-35% produk domestik bruto (GDP) Indonesia.

Namun, dari analisa Maybank, Pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan 30% atau US$ 74 miliar setara Rp 976 triliun dari APBN, untuk mendanai pembangunan infrastruktur.

Sehingga, butuh kontribusi swasta yang besar yakni sekitar 70% dari total belanja modal infrastruktur tersebut. Setidaknya diperlukan kontribusi sekitar US$ 190 miliar atau Rp 2.508 triliun dari pendanaan swasta baik dari dalam maupun luar negeri.

Menyikapi hal tersebut, CEO Maybank Kim Eng Group, John Chong berpendapat, untuk meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur, pasar modal dapat menawarkan sumber pendanaan alternatif.

"Baik pasar obligasi maupun pasar modai di Indonesia masih relatif under leveraged dibandingkan pasar lain di ASEAN dan memiliki kapasitas yang signifikan untuk mendanai beberapa proyek infrastruktur. Obligasi khususnya, memungkinkan pihak pendukung proyek untuk menyesuaikan biaya pembiayaan dengan tagihan dalam Rupiah yang diperoleh dari proyek terkait, yang umumnya memiliki jangka waktu yang panjang," tandas John Chong.