Komitmen DPR Rendah Terhadap Industri Kakao

foto : istimewa

Pasardana.id - Indonesia memiliki sekitar 20 pabrik pengolahan kakao (coklat) dengan luas pekebunan sebesar 1,7 juta hektar. Namun, dari jumlah itu hanya sebesar 50% bisa beroperasi secara normal. 

"Kalau ditotal bisa mengolah 800 ribu ton biji kakao. Tapi yang bisa beroperasi hanya 50%," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya di Jakarta, kemarin.

Perkebunan kakao dalam negeri yang luasannya mencapai 1,7 hektar hanya bisa memproduksi kurang lebih 300-400 juta ton atau hanya 50% kapasitas pengolahan pabrik-pabrik yang ada di dalam negeri.

Apabila pemerintah bisa mendukung perbaikan pabrik ini, maka kapasitas produksinya bisa mengalahkan negara-negara Eropa hanya sebesar 500 juta ton. Salah satu negara yang dimaksud adalah Swiss.

Industri kakao membutuhkan bahan baku dari impor. Adapun upaya impor juga sulit dilakukan industri lantaran dibebani bea masuk sebesar 5%, pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%, dan pajak penghasilan (PPh) sebesar 2,5%.

Dengan pengenaan pajak biji kakao diperoleh industri sebesar Rp50.000 per kg lebih. Jika dibandingkan perolehan dari dalam negeri hanya sebesar Rp40.000 per kg-Rp43.000 per kg.

"Malaysia dan Singapura saja menerapkan bea masuk 0% bagi impor bahan baku biji kakao. Hal ini membuat pabrik pengolahan biji kakao di negara tersebut bisa memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih bersaing," jelasnya.

Sandra juga menyesalkan pemotongan anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) untik Program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao menjadi Rp235 miliar dari Rp1 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.

Anggaran sebesar Rp1 triliun bisa dipakai untuk peningkatan produksi kakao.

"Dengan 1,7 juta hektar kebun kakao, produksi kita tahun ini bisa 400 ribu ton," jelasnya.