LIPI : Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah Bisa Jadi Katalis Utama Pertumbuhan Ekonomi untuk Tumbuh 5,3 Persen
Pasardana.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, konsumsi rumah tangga maupun pemerintah bisa menjadi pendorong utama perekonomian sebagai dampak dari laju inflasi yang relatif terkendali.
Oleh sebab itu, LIPI optimistis perekonomian Indonesia pada 2017, bisa tumbuh pada kisaran 5,3 persen-5,6 persen atau melebihi asumsi yang diproyeksikan pemerintah dalam APBN yang sebesar 5,1 persen. Adapun untuk level moderatnya, sebesar 5,45 persen.
"Pesan moralnya adalah “ayo kamu bisa!" kata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
Lebih lanjut dijelaskan, selain konsumsi rumah tangga maupun pemerintah, rendahnya suku bunga acuan yang didukung oleh implementasi 14 jilid paket kebijakan ekonomi dapat mendorong kinerja investasi, sehingga bisa berdampak positif kepada kinerja pertumbuhan ekonomi mulai tahun depan.
"Rendahnya suku bunga domestik bisa menyumbang investasi. Selain itu kemungkinan besar dampak 14 paket kebijakan, yang bisa memberikan kemudahan atas prosedur perizinan investasi, mulai terealisasi pada 2017," jelas Maxensius.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memperkirakan, kondisi ketidakpastian global masih akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia pada 2017.
"Kondisi global sangat memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia saat ini dan diperkirakan akan berlanjut pada 2017," kata Sri Mulyani.
Ia menyebutkan, APBN 2017 yang disetujui DPR akhir Oktober 2016 lalu, disusun dalam kondisi masih menghadapi lingkungan dalam dan luar negeri yang sangat menantang.
"Mulai dari kondisi perekonomian AS, terpilihnya Presiden AS Donald Trump, maupun kebijakan ekonomi moneter negara-negara maju dan kondisi perekonomian Tiongkok," jelas Sri Mulyani.
Sementara itu, menurut Bappenas pertumbuhan ekonomi tahun depan akan sangat tergantung pada efektifitas kebijakan pemerintah dalam mitigasi risiko ekonomi baik dari eksternal maupun domestik.
Di sisi eksternal, Bappenas menyebut risiko terbesar berasal dari naiknya utang dan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) China yang berdampak pada perlambatan ekonomi negara tersebut yang diperkirakan 6,6 persen tahun ini menjadi 6,3 persen pada 2017.
Hasil simulasi Bappenas menunjukkan kebijakan China akan berdampak pada perlambatan ekonomi Indonesia sebesar 0,03 persentase poin (pp) pada 2016 dan 0,72 pp pada 2017 terhadap baseline.
"Dampak terbesar melalui jalur investasi yang turun sebesar 1,02 pp," kata Bambang.
Risiko eksternal lainnya, berasal dari Amerika Serikat, dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Kebijakan proteksionis yang ditawarkan Trump dalam kampanyenya akan berdampak negatif terhadap tingkat keyakinan pasar, tidak hanya bagi pengusaha atau investor di AS, tetapi di seluruh dunia.
Jika Trump menjalankan kebijakan ekonomi sesuai dengan yang dia janjikan saat kampanye maka itu akan berdampak pada perlambatan ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia.
Simulasi Bappenas menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,04 pp pada 2016 dan 0,41 pp pada 2017 terhadap baseline jika terdampak kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Sumber penurunan terbesar dari investasi, yang diperkirakan turun 0,89 pp dari baseline.
Sementara risiko domestik, bersumber dari aktivitas sektor swasta yang cenderung terbatas, dengan indikasi rendahnya pertumbuhan kredit perbankan.
"Pertumbuhan kredit yang melambat, sekarang di bawah 10 persen, ini adalah yang paling lambat sejak 2009 saat awal commodity booming. Berarti sekarang adalah akhir commodity booming," kata Bambang.
Adapun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen sampai 5,3 persen tahun 2017.

