Fintech : Ancaman Sekaligus Peluang Bagi Industri Perbankan

foto : ilustrasi fintech (ist)

Pasardana.id - Pada hari Kamis (30/3/2017) bertempat di Wisma Antara Jakarta Pusat, berlangsung seminar sehari IndoFintech2017 yang diadakan oleh Royal Media Integrated Communication bersama Dewan Kehormatan PWI Provinsi DKI bekerjasama dengan Koran SINDO.

Di seminar yang mengusung tema Strategi Fintech Merebut Pasar Indonesia tersebut, salah seorang pembicara yaitu Bhima Yudhistira, Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menyajikan tema makalah bertajuk 'Dampak Fintech Terhadap Perbankan'.

Menurut Bhima Yudhistira, kehadiran fintech membawa ancaman sekaligus peluang ke industri perbankan.

Dari sisi peluang, kehadian fintech akan menyebabkan perbankan melakukan digitalisasi dan otomatisasi.

Langkah ini akan memangkas biaya perbankan sekitar 30%. Sedangkan dari sisi pendapatan, akan bertambah karena kehadiran produk inovatif baru dan model bisnis yang inovatif.

Di sisi lain, lanjut Bhima, fintech juga merupakan ancaman bagi perbankan. Menurutnya, dampak digitalisasi perbankan akan memangkas margin sekitar 16%. Lalu ancaman berupa produk inovatif competitor dan bertambahnya risiko operasional.

“Kendati fintech mulai mengintip, bisnis perbankan masih terbilang gemuk," kata Bhima. 

Margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan, misalnya, di Januari 2017 lalu masih 5,39%, turun dibandingkan Januari 2016 di 5,63%.

Sementara biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) siudah di angka 83,9%. Naik dibandingkan Desember 2016 yang masih 82,2%.

Peluang fintech sendiri di Indonesia cukup besar. Bhima memaparkan, hanya 13,1% masyarakat yang meminjam uang (pembiayaan) dari jasa keuangan. Mayoritas meminjam dari teman atau keluarga sebesar 41,5% dan sedikit dari rentenir 2,9%.

Berdasarkan data OJK, di tahun lalu, mayoritas fintech bertarung di sektor payment, sebanyak 44%. Selanjutnya aggregator dan lending, masing-masing 15%.

Sementara itu, Fintech memiliki beberapa keunggulan yakni menurunkan biaya (efisiensi), diferensiasi dan menambah loyalitas.

Infrastruktur yang menunjang fintech di Indonesia pun sudah terbentuk. Misalnya, pengguna layanan komunikasi mencapai 281,9 juta, di atas jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 255 juta jiwa. 

Adapun persentase pengguna layanan komunikasi terhadap jumlah penduduk: 110,5%. Padahal umur fintech baru seumur jagung. Bandingkan dengan pemilik rekening bank cuma 90 juta jumlah penduduk atau 36% dari jumlah penduduk.

Menurut Bhima, kehadian fintech juga menghindari shadow banking alias bank gelap. Maka dari itu, ia menyarankan perlunya regulasi yang melindungi nasabah dan bisnis ini.

Terkait hal ini, Bhima mengusulkan, adanya perubahan aturan fintech, yakni POJK No.77/2016 Pasal 4 modal minimal Rp 1 miliar saat mendaftar dan Rp 2,5 miliar saat mengajukan permohonan perizinan.

Juga perihal batas waktu penambahan modal 1 tahun sejak terdaftar di OJK (Pasal 10) dan Pasal 6, perihal batas maksimum pemberian pinjaman Rp 2 miliar.