ANALIS MARKET (28/6/2021) : IHSG Memiliki Peluang Bergerak Melemah

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pada perdagangan hari Jumat, 25/06/2021 kemarin, IHSG ditutup menguat 10 poin atau 0.17% menjadi 6.022. Sektor energi, konsumer siklikal, keuangan, konsumer non siklikal, industri dasar, kesehatan bergerak positif dan mendominasi penguatan IHSG kali ini. Investor asing membukukan pembelian bersih sebesar 45 miliar rupiah.

“Berdasarkan analisa teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak melemah dan ditradingkan pada level 5.946 – 6.060,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (28/6/2021).

Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;

1.THIS WEEK!

Pekan ini mungkin akan menjadi pekan yang begitu dinantikan. Penantian tersebut akan dimulai dari tanggal 1 July, yang dimana hari Kamis akan menjadi tolok ukur terpenting dari pergerakan pasar. Seperti yang kita ketahui bersama, data perekonomian yang keluar akan menjadi perhatian pelaku pasar dan investor. Dari dalam negeri seperti yang kita ketahui bersama, akan ada data inflasi dan PMI Manufacturing yang akan hadir. Inflasi menjadi salah satu point yang akan sangat diperhatikan saat ini, setelah sebelumnya mengalami kenaikkan akibat adanya moment lebaran. Pertanyaannya sederhana, mampukah inflasi akan kembali mengalami kenaikkan ditengah situasi dan kondisi Covid 19 kembali naik? Ataukah daya beli kita lagi lagi harus kembali mengalami penurunan? Secara proyeksi kami melihat inflasi secara YoY akan mengalami penurunan dari 1.68% menjadi 1.50%, namun inflasi inti diproyeksikan mengalami kenaikkan dari 1.37% menjadi 1.45%. Tidak buruk apabila memang data inflasi yang keluar sesuai dengan proyeksi. Inflasi tentu saja boleh mengalami penurunan, tapi diharapkan tidak keluar dari batas toleransinya. Karena apabila inflasi mengalami penurunan lebih besar dari yang diperkirakan, tentu saja memberikan kita semua gambaran bahwa daya beli sudah terkena dampak dari kenaikkan Covid 19 yang terjadi dalam 1 pekan terakhir. Ini menjadi penting, karena momentum pemulihan ekonomi tidak boleh terluka apabila menginginkan Q2 2021 perekonomian Indonesia bisa bangkit. Begitupun dengan PMI Manufacturing. Apabila PMI Manufacturing kembali mengalami penurunan dalam tingkatan yang drastis, ini akan menciderai pasar yang akan kembali menimbulkan rasa pesimis lebih besar. Momentum ini harus dijaga, agar perekonomian dapat konsisten tumbuh pada Q2 2021, karena akan menjadi factor penentu, apakah Q3 dan Q4, perekonomian Indonesia bisa mengalami golden turn atau tidak. Kenaikkan Covid 19 yang terjadi pada hari Minggu kemarin cukup mengkhawatirkan pemirsa, karena kenaikkan Covid 19 kemarin, resmi membuat Indonesia menjadi Negara nomor 1 didunia dengan jumlah tertinggi positive terinfeksi Covid 19 dalam 1 hari, begitupun dengan kematian yang menjadikan Indonesia Negara nomor 1 dengan tingkat kematian tertinggi dalam 1 hari. Upaya pengendalian bukan lagi sesuatu yang main main, tindakan tegas dibutuhkan saat ini dari pemerintah untuk mengendalikan protocol kesehatan tanpa mengorbankan perekonomian. Bagaimana caranya? Kami yakin pemerintah dengan berbagai orang pilihan memiliki caranya tersebut, pertanyaannya sederhana, mampukah ini di implementasi hingga kebawah? Langkah langkah pemerintah selanjutnya akan menjadi perhatian bagi pelaku pasar dan investor jelang akhir Q3 2021. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi dari Amerika juga akan menjadi penentu pekan ini. Beberapa data ekonomi seperti; Conf. Board Consumer Confidence, Durable Goods Orders, Factory Orders, Unemployment Rate, Change in Nonfarm Payrolls, PMI Manufacturing, dan ADP Employment Change akan mencuri perhatian. Ini merupakan data data penting yang harus kita perhatikan pada pekan ini karena akan mempengaruhi pergerakan pasar di Amerika yang tentu sedikit banyak akan memberikan implikasi terhadap pergerakan pasar dalam negeri. Data perekonomian China terkait dengan Caixin PMI Manufacturing, Composite, dan Services juga menjadi perhatian pemirsa, sejauh mana perekonomian China bisa kembali solid ditengah fase pemulihan ekonomi yang terjadi saat ini. Dari China, kita jalan-jalan ke Jepang yang dimana data perekonomian yang muncul akan mencuri perhatian. Jobless Rate, Job to Applicant Ratio, Retail Sales, Industrial Production, dan tentu saja berbagai data Tankan Large Manufacturing Index, Manufacturing Outlook, dan All Industry Capex menjadi sorotan. Membaiknya data perekonomian Jepang akan menjadi sebuah cerita tersendiri bagi Jepang yang tengah berusaha untuk menjaga perekonomiannya untuk tetap berjalan, ditengah kegalauan mereka untuk mengadakan Olimpiade. Data data PMI Manufacturing, Composite, dan Services juga menjadi perhatian. Minggu ini menandakan awal bulan baru bagi perekonomian, data ekonomi nanti akan menjadi penentu pergerakan pasar selanjutnya meskipun realistis dibutuhkan.

2.KABAR BAIK!

Perubahan peraturan tarif ekspor CPO dinilai dapat berdampak positif bagi kinerja emiten sawit di tengah penurunan harga sawit yang terjadi hingga saat ini. Sebelumnya, pemerintah berencana akan mengubah tarif ekspor CPO pada PMK 191/.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Sri Mulyani menjelaskan bahwa meski belum terbit, keputusan sudah ditetapkan. Tarif pajak ekspor minyak kelapa sawit mentah dimulai dengan harga US$750 per ton. Setiap US$50 kenaikan harga CPO, akan ada kenaikan dua tarif, yaitu US$20 perton untuk CPO dan US$16 per ton untuk setiap produk turunannya. Sedangkan untuk tariff maksimal haga CPO di atas US$1.000 perton akan ada tarif flat US$175. Jadi, tidak ada kenaikan progresif yang tidak terbatas, tapi menggunakan treshold US$1.000 di mana tarifnya flat. Rancangan baru besaran pungutan ekspor untuk produk minyak sawit mentah dan turunannya mendapat sambutan positif dari pelaku usaha. Nilai pungutan dinilai lebih adil dan mengakomodasi kebutuhan untuk mendorong ekspor komoditas utama nonmigas tersebut. Menurut Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono, penurunan pungutan ekspor telah disesuaikan dengan dinamika pasar dan kebutuhan dana untuk mengembangkan industri hilir sawit dan program sawit rakyat. Penurunan levy ini diharapkan memberikan ruang gerak perusahaan untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga menyerap tenaga kerja tambahan. Kami melihat ini cukup penting saat pemerintah ingin pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat. Selain itu pungutan ekspor yang rendah bisa meningkatkan daya saing sawit di pasar internasional. Berdasarkan data, eksportir harus mengeluarkan biaya tambahan sampai US$399 per ton yang berasal dari akumulasi kewajiban pembayaran pungutan ekspor dan bea keluar. Per Juni, bea keluar yang dikenakan untuk ekspor adalah US$183 per ton karena harga referensi telah berada pada rentang Rp1.200 sampai US$1.250 per ton. Sementara untuk pungutan ekspor telah mencapai US$255 per ton karena harga CPO stabil di atas US$995 per ton. Peningkatan ekspor sawit sangat penting karena akan menjaga neraca perdagangan Indonesia tetap positif, bahkan surplusnya akan makin besar.

3.GAS, APA KABAR?

Kementrian Perindustrian mencatat hingga April serapan dari gas industry dengan harga tertentu mencapai 79.63% atau 954.76 BBTUD dari total alokasi 1.199.81 BBTUD. Berdasarkan data tersebut, industry yang tercatat melakukan serapan tertinggi yaitu oleokimia sebesar 85.59% dan terendah yaitu industry baja sebesar 48.05%. Serapan pada tahun ini lebih tinggi dari serapan pada periode yang sama tahun lalu. Naiknya permintaan dinilai menjadi triger terhadap naiknnya utilitas pabrik sehingga serapan dari gas industry ikut meningkat. Tentu hal ini menjadi indikasi positif dimana produktivitas industry dalam negeri telah menunjukkan tanda – tanda perbaikan setelah tekanan pandemic di tahun 2020 yang memberikan dampak pada turunnya utilitas pabrik dan juga permintaan. Kementrian Perindustrian juga menyebut terdapat 3 sector yang saat ini mengusulkan agar mendapat harga gas tertentu atau US$ 6 per MMBTU menyusul 7 industry yang saat ini juga telah menikmati gas dengan harga tersebut. Saat ini gas murah sedang dalam pertimbangan bagi kementrian ESDM untuk dapat direalisasikan guna mendukung sector yang membutuhkan dan menjaga trend ekspansi dari sector tersebut. Harapannya dengan harga gas yang stabil dan rendah dapat mendorong utilitas pabrik naik kembali seperti sebelum pandemic, sehingga trend ekspansi yang saat ini terbentuk dapat stabil dan berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Namun disatu sisi, pemerintah juga perlu menggencarkan stimulus fiskal lewat program PEN guna menjaga permintaan dapat menyeimbangkan penawaran. Sehingga produktivitas dari industry dapat terserap sempurna di pasar. Tapi yang harus diperhatikan adalah bahwa utilitas pabrik meningkat apabila aktivitas perekonomian pun meningkat. Kenaikkan Covid 19 yang terjadi saat ini mampu untuk menekan kenaikkan dari utilitas pabrik.