ANALIS MARKET (29/3/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, Pasar obligasi akan kembali bergoyang pekan ini.

Minggu baru, harapan baru, tekanan baru. Seperti biasa, data awal bulan akan menjadi salah satu penentu pergerakan pasar obligasi untuk bulan April.

Secara proyeksi kami melihat ada potensi kenaikkan inflasi meskipun nilainya tipis, namun yang cukup kami khawatirkan adalah inflasi inti yang masih mengalami penurunan.

Oleh sebab itu, kami belum melihat adanya perbaikan dari inflasi pada kuartal 1 tahun ini. Diharapkan menjelang lebaran nanti, dorongan inflasi bisa mengalami kenaikkan meskipun kami menyakini nilainya tidak akan besar pemirsa. Namun lebih baik naik daripada tidak sama sekali.

Kami justru melihat ada potensi perbaikan daya beli pada semester ke 2 nanti, apabila daya beli tidak kunjung pulih hingga kuartal ke 3, bukan tidak mungkin sedikit banyak akan mempengaruhi potensi pertumbuhan ekonomi ke depannya. Apabila inflasi masih berada dalam rentang rendah, bukan tidak mungkin Bank Indonesia akan kembali memiliki amunisi untuk kembali memangkas tingkat suku bunganya sebanyak 25 bps kembali. Tidak ada yang tidak mungkin, namun volatilitas US Treasury masih akan mencuri perhatian dari Bank Indonesia sebelum memutuskan pemangkasan tingkat suku bunga lebih lanjut.

Lelang esok hari mungkin masih akan mencuri perhatian pemirsa, pasalnya lelang obligasi besok adalah obligasi konvensional. Akan menjadi cerita yang menarik, apakah pasar obligasi akan kembali diminati ditengah kenaikkan harga obligasi yang saat ini sedang terjadi? Ataukah justru pelaku pasar dan investor masih akan balik badan?

Well, pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas. Kami merekomendasikan wait and see, dan ikuti lelang esok hari,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (29/3/2021).

Adapun cerita di awal pekan ini akan kita awali dari;

1.PANDA VS KOALA

Lama tidak terdengar, kita berfikir bahwa mereka sudah melupakan segala rasa benci dan iri. Namun pada kenyataannya tidak demikian pemirsa. China pada akhirnya resmi memberlakukan tarif lebih dari 200% untuk product anggur dari Australia selama 5 tahun. Tidak hanya itu saja, China juga meresmikan pembatasan yang telah berlaku selama berbulan bulan hingga menunggu keputusan resmi. Impor produk anggur dari Australia akan dikenakan pungutan anti-dumping antara 116.2% hingga 218.4% yang akan berlaku pada 28 Maret 2021. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Perdagangan Chin dalam sebuah surat keputusan akhir pada hari Jumat lalu. Pembuat anggur terbesar dari Australia, Penfolds juga terkena tarif sebesar 175.6%. China sebelumnya telah menyampaikan bahwa mereka akan mengenakan tarif sementara pada bulan November lalu setelah dalam penyelidikannya mereka menemukan bahwa produk anggur tersebut telah disubsidi dan dijual dibawah harga pasar. Namun tuduhan tersebut sudah ditolak oleh pemerintah Australia yang dimana Australia menantang China untuk membuktikannya di WTO. Kisruh antara China dan Australia semua bermula dari respon keras Australia yang menginginkan adanya penyelidikan terhadap asal mula virus Corona yang ada di Wuhan. Namun China tidak terima hal tersebut, dan menggunakan kekuatannya melalui perdagangan dengan Australia, karena China tahu, perdagangan Australia bergantung dengan China. Oleh sebab itu China menekan Australia dengan memberlakukan berbagai tarif mulai dari daging sapi, anggur, hingga batu bara dan lobster yang enak pun menjadi korban. Tidak hanya itu saja, China murka karena Canberra menolak proyek infrastructure 5G buatan China sehingga membuat China semakin marah, padahal China sudah sangat baik kepada Australia. Dan Tehan, Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mengecewakan dan sama sekali tidak dapat dibenarkan. Dirinya juga mengatakan bahwa kalau seperti ini situasi dan kondisinya, akan semakin sulit untuk bekerjasama dengan China untuk memastikan keduanya saling melengkapi. Namun tampaknya Australia juga seharusnya ingat, hubungan diantara keduanya siapa butuh siapa. Keputusan akhir China juga memberikan tarif anti subsidi mulai dari 6.3% hingga 6.4%, kementrian China sendiri memutuskan untuk tidak mengenakannya untuk menghindari pajak berganda. China merupakan pembeli utama anggur Australia dulu dengan total hampir $1 miliar pada tahun 2019 dan memberikan kontribusi sebesar 40%. Sebagai informasi pemirsa, total perdagangan antara Australia dengan China hingga $177 juta, disusul dengan Jepang ditempat ke 2 dan Amerika di tempat ke 3. Dan pada total transaksi perdagangan antara Australia dengan China, Australia mencatatkan surplus sebesar $ 61 juta. Wow bingits kan pemirsa, sehingga tentu saja apabila China ngambek, hal ini akan memberikan dampak terhadap perekonomian Australia secara jangka pendek. Oleh sebab itu kami berharap, ditengah masa pemulihan, Australia juga dapat bersabar untuk mengambil hati China untuk dapat melewati fase pemulihan dengan baik. Agar jangan sampai perang tarif antara Australia dengan China justru dapat merugikan Australia. Kita bahas sedikit mengenai perekonomian Australia ya. Pemerintahan Australia pada akhirnya menutup program subsidi gaji atau yang kita kenal dengan JobKeeper pada minggu kemarin. Namun permasalahannya adalah, Kementrian keuangan mengatakan bahwa apabila program tersebut di hentikan, maka akan ada 150.000 pekerjaan akan hilang ditambah dengan beberapa perusahaan mungkin akan mengalami kebangkrutan tanpa dukungan dari pemerintah. Kekhawatiran lainnya adalah penghentian program tersebut berpotensi untuk menambah jumlah pengangguran yang sudah mengalami penurunan hingga 5.8% pada bulan February dari sebelumnya 7.5%. Dan jauh lebih lebih baik dari proyeksi sebelumnya yang dimana berada di 10% terkait dengan angka pengangguran. Penghentian program tersebut dikhawatirkan akan mendorong pengangguran untuk mengalami kenaikkan hingga 7%. Sebagai informasi, program JobKeeper ini merupakan salah satu program dari pemerintah yang membuat para pekerja tetap terikat pada perusahaan tempat mereka bekerja selama pandemic dan pembatasan lainnya. Pemerintah Australia telah menggelontorkan A$ 90 miliar atau $68 miliar atau 5% dari GDP. Program tersebut hingga terakhir telah mengantarkan sekitar 1.1 juta masyarakat untuk masih tetap bekerja. Namun bagi Menteri Keuangan, Steven Kennedy mengatakan bahwa program tersebut memiliki sejumlah feature yang menciptakan insentif merugikan, yang dimana justru nantinya akan menjadi penghalang pemulihan ekonomi. Sehingga tentu saja Steven mendukung penutupan program tersebut. Menurut Bank Sentral Australia dalam proyeksinya pada bulan February lalu, mereka memperkirakan bahwa pengangguran akan berada di 6% pada tahun 2021 ini, dan akan mengalami penurunan hingga berada di 5.5% pada 2022. Skenario teroptimis itu justru menunjukkan bahwa hal tersebut akan kembali mengalami penurunan hingga 4.75% pada akhir 2022 apabila pemulihan berjalan sesuai dengan rencana dan harapan. Iklan mengenai pekerjaan pun terus mengalami kenaikkan sebesar 7.2% pada bulan February lalu, tentu saja hal ini memberikan indikasi bahwa Australia juga tidak ketinggalan dengan Amerika yang dimana mereka tengah berusaha untuk pulih lebih cepat agar mampu bangkit lebih awal. Namun sector pariwisata baru akan pulih pada akhir tahun ini, karena perbatasan masih ditutup dan ada kemungkinan akan dibuka pada akhir tahun. Bagi Perdana Menteri Australia, Scott Morrison dirinya mengatakan bahwa penaikan program tersebut hanya akan menimbulkan resiko politik. Bank Sentral Australia sendiri masih terus mendorong agar pemulihan dapat terus berjalan dengan memperpanjang program Quantitative Easingnya sebesar A$ 100 miliar atau $78 miliar dan Bank Sentral Australia pun sama dengan Bank Sentral besar di beberapa negara lainnya yang mengatakan bahwa tingkat suku bunga tidak akan di naikkan hingga tahun 2024. Australia mulai menunjukkan pemulihan, dan semoga kita juga bisa melakukan hal yang sama dengan Australia ya pemirsa.