ANALIS MARKET (02/7/2020) : Pasar Obligasi Diproyeksi Bervariatif Dengan Potensi Pergerakan 30 – 55 Bps
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi masih belum belum move on.
Mungkin masih shock akibat adanya potensi penerbitan utang kembali ditambah lagi current account deficit masih cukup lebar dan berpotensi semakin lebar.
Pasar obligasi yang tidak bergerak kemana mana akan membuat pasar obligasi semakin rapuh, sehingga berpotensi untuk mengalami keadaan naik dan turun, tergantung bagaimana triggernya nanti.
Namun demikian, kami mengingatkan kembali bahwa sudah saatnya untuk mengubah transaksi menjadi jangka panjang apabila situasi dan kondisi tidak berubah. Pembelian obligasi di pasar primary masih diperbolehkan apabila kupon dan tingkat jatuh tempo masuk sesuai kriteria.
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Kamis (02/7) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariatif dengan potensi pergerakan 30 – 55 bps.
“Selama pasar obligasi masih belum melewati batas support, maka dapat dipastikan belum ada arah selanjutnya,” terang analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Kamis (02/7/2020).
Ditambahkan, berita dari IMF yang mengatakan bahwa ekonomi Asia akan kembali mengalami kontraksi sebanyak 1.6% akan membuat pasar obligasi kian tertekan secara harga, karena dengan demikian dengan bertambahnya resiko tentu saja akan menambah imbal hasil.
Yang cukup menarik adalah keinginan The Fed untuk bisa mengimplementasikan Yield Control Curve dalam waktu dekat, tentu hal ini akan membuat pergerakan yield curve menjadi lebih teratur sama seperti Jepang. Terus impactnya apa donk buat pasar obligasi Indonesia?
Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;
1.LAGI LAGI IMF
IMF kembali membuat proyeksi yang dimana terkait dengan perekonomian Asia akan kembali menyusut dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih. IMF mengatakan ada kemungkinan wilayah Asia akan kembali mengalami kontraksi sebesar 1.6% tahun ini. Ekonomi Asia masih dalam kondisi yang lebih baik kalau dibandingkan dengan wilayah lainnya di dunia ini, namun situasi dan kondisi ekonomi global membuat pertumbuhan ekonomi di Asia menjadi lebih sulit untuk mengalami pertumbuhan. Namun demikian, IMF mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi masih berpotensi mengalami kenaikkan hingga 6.6% tahun depan. Yang menjadi kekhawatiran IMF termasuk kami adalah, apakah bisa negara negara di Asia untuk melakukan recovery pada tahun 2020 ini secepat mungkin khususnya di awal semester ke 2 ini? Apalagi ditengah situasi dan kondisi yang masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Meskipun begitu di pasar saham kami masih melihat, penurunan IHSG masih menjadi peluang atau golden moment tahun ini untuk berinvestasi. IMF mengatakan bahwa perekonomian diwilayah Asia masih di topang oleh perdagangan, pariwisata, dan perputaran uang terkait dengan bisnis ekonomi global. Sehingga ada potensi bahwa pemulihan ekonomi Asia menjadi lebih lama. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah apabila terjadi gelombang ke 2, apakah negara negara wilayah Asia cukup kuat untuk melakukan stimulus seperti gelombang pertama kali datang? Ketika hal tersebut tidak terlalu kuat, maka ada kemungkinan bahwa negara negara Asia mungkin lebih baik lebih berhati hati terkait dengan penangangan virus. Untuk menjaga agar jangan sampai ada lagi gelombang virus kedua yang mungkin akan memberikan dampak lebih besar daripada gelombang yang pertama.
2.FOMC MINUTES MEETING
Dalam risalah hatinya, The Fed mengatakan bahwa mereka mempertahankan tingkat suku bunga yang stabil dan berharap untuk terus menerapkan kebijakan longgar hingga ekonomi mulai kembali normal. Para pejabat juga melakukan diskusi mendalam tentang membatasi imbal hasil obligasi, atau yang kita lebih kenal dengan Control Yield Curve dan juga memperkuat pedoman tentang kebijakan di masa depan. FOMC pada pertemuan pada 9 – 10 June kemarin mengatakan bahwa mereka telah menahan tingkat suku bunga pinjaman jangka pendek mereka dengan kisaran 0% - 0.25% dan mengatakan bahwa tingkat suku bunga akan terus berada dalam kisaran tersebut sampai ekonomi telah melewati masa masa sulit seperti sekarang ini. Pejabat The Fed dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa sikap dan tindakan kebijakan moneter saat ini sudah sangat tepat, namun The Fed harus terus memperkuat pedoman yang diberikannya kepada pasar. Risalah tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang sangat akomodatif akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan, dan setiap situasi dan kondisi tersebut harus dijabarkan dengan sangat jelas. Secara khusus, sebagai besar peserta dalam meeting tersebut memberikan komentar bahwa Komite harus mengkomunikasikan bentuk yang lebih eksplisit dengan memberikan panduan ke depannya untuk dana federal dan memberikan lebih banyak kejelasan mengenai pembelian kembali surat utang atau efek yang mendukung hipotek. Anggota FOMC kemarin juga mengatakan bahwa para peserta tersebut lebih memilih kebijakan di masa depan terkait dengan inflasi, sementara beberapa diantaranya mengatakan bahwa tingkat penggangguran lebih disukai sebagai acuan. Selain pergerakan tingkat suku bunga, komite juga merilis ekspektasi terhadap tingkat pertumbuhan ekonominya. Proyeksi media tingkat pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 akan mengalami kontraksi sebesar 6.5% diikuti dengan kenaikkan 5% pada tahun 2021, dan 3.5% pada tahun berikutnya. Namun demikian para peserta mengatakan bahwa masih ada ketidakpastian yang luar biasa dan tingkat resiko yang cukup besar terhadap prospek ekonomi. Ada kemungkinan bahwa bantuan fiscal yang diberikan oleh Kongres untuk rumah tangga, bisnis, dan pemerintah negara bagian dan local masih belum mencukupi hal tersebut. Anggota The Fed juga membahas mengenai dampak dari pembelian asset yang dimana pada tahun ini The Fed meningkatkan hal tersebut. Sejauh ini The Fed akan memulai 2 program pinjaman lagi, yaitu mulai membeli obligasi korporasi dan menyediakan dana bagi usaha kecil dan menengah. Tentu hal tersebut kami berharap bahwa 9 dari program tersebut dapat berjalan semuanya secepat mungkin pada awal semester ke 2 ini, karena ini akan memberikan waktu yang baik untuk melakukan pemulihan hingga akhir tahun.
3.INFLASI KITA ?? HHMM
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilisnya inflasi Juni sebesar 0,18%. Dengan inflasi tersebut, maka inflasi Januari-Juni 2020 sebesar 1,09% dan inflasi tahunan 1,96%. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, bila dilihat berdasarkan komponennya, inflasi pada Juni 2020 terutama didorong peningkatan harga barang bergejolak, Penyebab inflasi volatile prices antara lain peningkatan harga daging ayam ras dengan andil pada inflasi sebesar 0,14% mom serta peningkatan telur ayam ras sebesar 0,04% mom. Selanjutnya menyampaikan pola pergerakan inflasi Januari-Juni 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu berbeda karena Ramadhan dan Lebaran yang biasanya terjadi inflasi tinggi, di tahun ini tidak terjadi karena adanya pandemi virus Corona. kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), diberlakukannya new normal yang dilakukan pada awal bulan Juni yang diharapkan mampu mendongkrak perekonomian masih belum menunjukan signifikan, hal ini memberikan gambaran bahwa daya beli m asyarakat atau konsumsi rumah tangga masih belum pulih sepenuhnya, kecemasan akan gelombang baru wabah virus corona tampaknya menjadi perhatian masyarakat sehingga tentu saja menurunkan daya beli. Dan ketika daya beli masyarakat terus kembali tergerus, tentu hal tersebut akan memberikan dampak terhadap perekonomiannya. Fokus utamanya adalah menjaga agar situasi dan kondisi saat ini tetap stabil namun melakukan mitigasi resiko yang jelas dan terencana, agar perekonomian dapat pulih secepatnya dengan menjaga nilai nilai keamanan dan kesehatan menjadi yang utama.
“Menyikapi beragam kondisi tersebut diatas, kami merekomendasikan wait and see hari ini,” sebut analis Pilarmas.

