ANALIS MARKET (15/4/2020) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi pada akhirnya mungkin mengalami kekecewaan, namun tentu tidak akan berlama-lama larut dalam kesedihan.

Di tengah situasi dan kondisi akan sebuah penantian dari pertemuan Bank Indonesia yang terjadi kemarin (14/4), nampaknya para pelaku pasar dan investor harus menunggu lebih lama untuk bisa mendapatkan pemangkasan tingkat suku bunga.

“Kami setuju bahwa memang belum mencapai tahap yang genting bagi Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga, karena sekalipun Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga, stimulus pun tampaknya belum dirasakan oleh pasar yang sesungguhnya. Kami tentu hanya berharap bahwa ketika ada gelombang ombak yang ke dua, kita bisa belajar untuk sudah siap bukan bersiap tatkala gelombang tersebut menerpa. Total permintaan lelang yang masuk pun membuat kami cukup kecewa, pasalnya kami berharap bahwa lelang kali ini dapat menunjukkan potensi pasar obligasi Indonesia yang lebih tinggi lagi. Komposisi asing dalam kepemilikkan obligasi terus mengalami penurunan. Ditengah situasi dan kondisi yang masih tidak pasti, tampaknya pelaku pasar masih mencermati setiap situasi dan kondisi yang ada,” ungkap analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Rabu (15/4/2020).

Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Rabu (15/4) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas.

Untuk obligasi 15y, akan menjadi sebuah tanda, apakah penguatan tersebut terkonfirmasi atau tidak apabila obligasi dapat konsisten untuk bergerak di atas 35 bps.

Adapun cerita hari ini akan kita mulai dari;

1.GELOMBANG KE 2

IMF kembali menyampaikan kemarin bahwa mereka memprediksikan bahwa lockdown dalam skala besar akan menimbulkan resesi yang terdalam dalam kurun waktu 1 abad dan IMF memperingatkan bahwa perekonomian dunia akan mengalami kontraksi ekonomi dan pemulihan akan menjadi sesuatu yang lebih buruk apabila wabah virus corona tidak diantisipasi kembali. Ini juga merupakan sesuatu yang kami khawatirkan juga sedari awal setelah sebelumnya wabah virus corona ini merebak. Bahwa gelombang kedua dari virus ini adalah dampak yang dihasilkan dan bagaimana kita memitigasi resiko yang akan timbul. Sehingga kali ini kita tidak kembali bersiap namun kita sudah siap untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan dengan mitigasi resiko yang sudah disiapkan, jangan sampai tindakan dan langkah langkah tersebut baru dilakukan setelah dampak tersebut terjadi. Dalam laporan IMF untuk World Economic Outlook yang pertama sejak penyebaran virus mulai merebak, mereka memperkirakan bahwa GDP global akan mengalami penurunan sebanyak 3%. Kalau kita bandingkan dengan bulan January lalu, IMF mengatakan bahwa perekonomian dunia masih berpotensi untuk ekspansi sebanyak 3.3%. IMF juga mengatakan bahwa apabila proyeksi mereka benar, maka output di pasar maju dan berkembang akan terjadi penurunan sampai dengan tahun 2021. Itu artinya rebound perekonomian yang berbentuk V akan hilang, karena durasi wabah virus lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya. Kerugian kumulatif GDP global tahun ini dan selanjutnya diperkirakan sekitar $9 triliun, kerugian ini lebih dari gabungan perekonomian Jepang dan Jerman. Kepala ekonom IMF juga mengatakan bahwa, hal ini tidak seperti krisis yang sebelumnya, wabah ini menciptakan ketidakpastian susbtansial sehingga memberikan dampak terhadap kehidupan dan mata pencaharian masyarakat. Di Amerika, GDP diperkirakan akan berkontraksi 5.9% dibandingkan dengan target ekspansinya sebesar 2%. Dan berpotensi tumbuh 4.7% tahun 2021. Untuk kawasan Eropa, akan mengalami kontraksi sebesar 7.5% pada tahun 2020, dan mengalami kenaikkan 4.7% pada tahun 2021. IMF melihat ekonomi di Negara maju akan mengalami penurunan paling besar, berkontraksi sekitar 6.1%. Emerging market akan mengalami penurunan 1%. Pertumbuhan ekonomi di China dan India akan melambat, namun ekonomi mereka berhasil untuk mempertahankan pertumbuhan, 1.2% untuk China dan 1.9% untuk India. IMF juga mengatakan bahwa langkah langkah fiscal perlu terus ditingkatkan jika aktivitas ekonomi terus berlanjut mengalami pelemahan.

2.CHINA IS BACK

Rilis data ekonomi China menunjukan surplus neraca perdagangan $ 19,9 miliar bulan Maret 2020, dimana bulan sebelumnya mengalami defisit sebesar US$ 7,096 miliar. Tentunya ini memberikan kabar positif ditengah pusaran covid-19 yang telah menekan perekonomian China. Dengan surplusnya neraca perdagangan tersebut diharapakan perekonomian China bangkit kembali karena wabah corona yang sudah mulai turun pada Maret. Meskipun mengalami suplus, pelaku pasar beranggapan kemungkinan kinerja perdagangan masih bisa saja tertekan dalam beberapa bulan kedepan mengingat ditengah krisis kesehatan atas pandemic covid-19 yang terjadi di seluruh negara sehingga akan mengganggu rantai pasokan dan menekan ekonomi, menyebabkan guncangan pada sisi penawaran dan permintaan.

3.SAMA SEPERTI HARI KEMARIN

Melalui RDG Bank Indonesia pada hari Selasa, Gubernur Bank Indonesia yaitu Perry Warjiyo menyampaikan strategi Bank Indonesia guna melewati masa – masa sulit di tengah perlambatan dunia saat ini. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan pada 4.5%. Hal tersebut dinilai cukup bijak, dimana saat ini meskipun kami melihat BI masih memiliki celah, namun kondisi dinilai belum begitu diperlukan. Selain itu Bank Indonesia kembali menurunkan giro wajib minimum dan membebaskan kewajiban tambahan giro terkait pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial atau RIM perbankan. Dengan kebijakan baru tersebut, likuiditas perbankan diproyeksikan akan bertambah sekitar Rp 117 triliun. Selain itu Bank Indonesia juga kembali menurunkan GWM rupiah sebesar 200 basis poin untuk bank umum konvensional, serta 50 bps untuk bank syariah. Bank Indonesia juga tak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan RIM kepada seluruh bank untuk periode 1 tahun. Kedua kebijakan ini berlaku mulai 1 Mei 2020. Menurutnya, penurunan GWM maupun tidak melakukan kewajiban tambahan RIM akan kembali menambah injeksi likuiditas sekitar Rp 117,8 triliun. Tambahan likuiditas tersebut terdiri atas Rp 102 triliun yang berasal dari penurunan GWM dan Rp 15,8 triliun dari pembebasan ketentuan RIM. Di lain sisi, Bank Indonesia juga memperluas cakupan ekspansi operasi moneter dengan menyediakan term repo tak hanya bagi perbankan, tetapi juga korporasi. Sementara untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan serta terkait penurunan GWM rupiah tersebut, BI turut menaikkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah. Kebijakan ini mulai berlaku 1 Mei 2020. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana. Dengan demikian, Perry menilai, seluruh rasio PLM dapat langsung direpokan ke Bank Indonesia. Sehingga hal tersebut dapat menambah pembiayaan deficit fiskal oleh pemerintah.

“Kami merekomendasikan wait and see,” sebut analis Pilarmas.