ANALIS MARKET (18/2/2020) : Pasar Obligasi Diproyeksi Bergerak Bervariasi
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi stagnan kemarin, seperti tiada harapan.
Namun demikian, lelang hari ini akan menjadi sesuatu yang dinantikan. Untuk hari inilah para pelaku pasar dan investor menunggu sejak kemarin, meskipun kemarin tidak ada penurunan harga seperti biasanya sebelum lelang terjadi.
Pasar obligasi masih akan berpotensi kedatangan total penawaran yang lebih dari biasanya. Dengan situasi dan kondisi saat ini, akan semakin membuat lelang meriah, khususnya apalagi lelang kali ini merupakan lelang obligasi konvensional dan seri yang dilelang juga merupakan seri yang terlengkap.
“Kami melihat tenor pendek masih akan mendominasi kali ini, namun karena ada indikasi pemotongan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bulan ini, tentu porsi obligasi jangka panjang juga akan diminati,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Selasa (18/2/2020).
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Selasa (18/2) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariatif. Ikuti lelang hari ini, dan pastikan imbal hasil yang masuk masih sesuai dengan rentang batas tolerasi Pemerintah.
Bukan tidak mungkin lelang kali ini berpotensi kedatangan total penawaran diatas Rp 50 T, atau bahkan mencetak rekor kembali.
Adapun cerita hari ini akan kita mulai dari;
1.GEORGIEVA UNTUK IMF
Kepala IMF lagi-lagi mengatakan kurangnya perbaikan yang lebih mendalam dalam system ekonomi global, sehingga menghambat proyeksi pertumbuhan, terutama karena guncangan yang disebabkan oleh Virus Corona yang semakin meredupkan prospek perbaikan ekonomi tahun ini. Ruang kebijakan moneter terus menyusut dan saat ini menjadi ketergantungan terhadap langkah fiscal serta reformasi structural untuk mendorong pertumbuhan yang dimana seharusnya pertumbuhan menjadi lebih kuat. Dan apa yang hilang saat ini adalah dorongan yang lebih agresif dalam bentuk reformasi structural. Kami sangat setuju akan hal ini, karena sejauh ini kami melihat bahwa kebijakan moneter dan fiscal saja sudah tidak mampu untuk mendorong perekonomian untuk tumbuh dan berkembang, sudah saatnya focus terhadap reformasi struktural untuk mampu mendorong perekonomian untuk menjadi lebih baik lagi. Hal ini yang akan mendorong pendalaman perbaikan ekonomi saat ini. Dampak dari Virus Corona ini mulai memberikan ancaman gangguan terhadap seluruh rantai pasokan. Sejauh ini Bank Sentral di seluruh dunia telah dalam keadaan siaga tetapi belum menunjukkan bahwa mereka akan melakukan kebijakan pelonggaran moneter. Sejauh ini sebelum Corona Virus muncul, IMF juga telah memprediksi bahwa perekonomian global akan menguat pada tahun 2020 dengan akselerasi yang lebih pelan daripada sebelumnya. Issue terkait dengan Bank Sentral, Corona Virus, kebijakan moneter, akan dibahas pada diskusi G20 yang akan didiadakan di Saudi, Riyadh. Disatu sisi kemarin, Geogieva juga telah memuji China untuk langkah langkah yang sangat agresif untuk menahan dampak dari Virus Corona tersebut, termasuk didalamnya menjaga likuiditas dan stimulus ke daerah yang terkena dampaknya.
2.JAPAN BERBUNYI
Kami sedikit kecewa dengan data perekonomian GDP Q4 Japan yang muncul kemarin, yang dimana mencatatkan pertumbuhan yang negative, hal ini merupakan yang terendah dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, meskipun masih lebih baik dari tahun 2014 silam yang sempat menyentuh di -1.9%. Hal ini disebabkan oleh konsumsi swasta yang menurun sebanyak 2.9% dari kuartal ke kuartal, investasi bisnis turun 3.7% dari kuartal sebelumnya. Meskipun demikian, investasi Pemerintah naik 1.1% di kuartal ke 4 ini. Hal ini membuat perekonomian Jepang berpotensi mengalam resesi apabila ternyata data yang muncul nanti kembali Negatif. Hal ini sebelumnya telah diprediksi yang dimana hal ini merupakan dampak dari kenaikkan pajak, permintaan global yang melemah dan adanya gangguan topan kemarin. Menteri Ekonomi Jepang mengatakan bahwa mereka akan terus memperhatikan dampak dari Virus Corona terhadap sector pariwisata dan ekonomi yang lebih luas. Apalagi Jepang akan mengadakan olimpiade tahun ini. Dengan adanya penurunan GDP dari Jepang ini, hal inilah yang membuat GDP Deflator mengalami kenaikkan sehingga memberikan potensi bahwa akan ada stimulus tambahan yang akan diberikan oleh Jepang untuk menopang perekonomiannya.
3.KALAU KATA MOODY’S
Moody's memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat dan berada di bawah 5%, hal tersebut dinilai akibat risiko perlambatan ekonomi global seiring dengan penurunan permintaan komoditas dari China yang terdampak wabah virus corona. Moody's melihat ekonomi Indonesia cukup kuat dibandingkan rata-rata negara dengan peringkat utang Baa sehingga berpotensi meningkatkan sejumlah pos penerimaan. Berdasarkan informasi, Penerimaan Indonesia termasuk di bawah rata-rata penerimaan negara-negara dengan peringkat utang Baa. Penerimaan negara Indonesia hanya 12,4% dari PDB, sementara negara lain dengan peringkat utang Baa mencatat rata-rata penerimaan sebesar 27,6%. Hal tersebut menjadikan Indonesia negara terendah dari semua kelompok peringkat utang. Pendapatan yang lemah juga membebani keterjangkauan utang. Kendala tersebut diimbangi oleh disiplin fiskal yang dilandasi oleh kepatuhan yang sangat kuat terhadap plafon defisit sebesar 3,0% dari PDB. Defisit rendah telah membuat beban utang pemerintah berada di kisaran 30% dari PDB pada 2019, atau di bawah rata-rata kelompok negara dengan peringkat utang Baa sebesar 47,3%. Di sisi eksternal, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar 2,7% pada tahun 2019, melebar dari level terendah 1,6% pada tahun 2017. Namun, ketahanan eksternal Indonesia cukup untuk menahan tingkat guncangan. Moody's berharap reformasi yang bertujuan mengurangi sejumlah kendala struktural ekonomi dan fiskal akan terus berlanjut, meskipun kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir relatif lambat.
“Kami merekomendasikan ikuti lelang hari ini,” sebut analis Pilarmas.

