ANALIS MARKET (17/5/2019) : Pasar Obligasi Masih Berpotensi Melemah
Pasardana.id - Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, Pasar obligasi kemarin (16/5), memang mengalami kenaikkan, namun tampaknya terlihat masih ragu untuk mengalami kenaikkan lebih lanjut, ditengah tekanan yang masih mendera.
“Kami melihat bahwa potensi pelemahan masih cukup terbuka lebar, oleh sebab itu para pelaku pasar dan investor diharapkan dapat berhati hati. Apabila ingin masuk kedalam pasar obligasi, alangkah baiknya tidak masuk dalam jangka waktu pendek untuk sementara ini, namun apabila ditanya apakah saat yang mulai masuk secara bertahap? Tentu moment ini merupakah saat yang tepat untuk mulai masuk secara bertahap, dengan volume yang terbatas. Valuasi obligasi yang masih dikatakan murah, akan menjadi modal yang baik bagi para pelaku pasar dan obligasi untuk mulai membeli,” terang analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (17/5).
Lebih lanjut, riset Pilarmas menilai, diperdagangan Jumat (17/5) pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka mengat dengan potensi melemah.
Pelemahan ini sebetulnya masih datang dari masih tingginya ketidakpastian sehingga membuat para pelaku pasar menjadi wait and see, meskipun pasar obligasi akan melemah, namun Bank Indonesia tentu akan menjaga pelemahan tersebut dengan melakukan intervensi hingga hari ini.
Namun pertanyaannya seberapa kuat Bank Indonesia akan melakukan intervensi?
Sementara itu, pagi ini berita akan datang dari China yang dimana telah menjual kepemilikkan obligasi US Treasury yang tercepat dalam kurun waktu 2 tahun.
China sebagai pemilik obligasi US Treasury terbesar mulai mengurangi kepemilikkannya sedikit demi sedikit, tentu hal ini akan menjadi salah satu senjata yang dimiliki China terhadap perang dagang dengan Amerika. Dalam 12 bulan terakhir, kepemilikkan tersebut telah turun sebesar $67.2 miliar atau setara dengan 5.6%.
Saat ini, China masih memiliki sekitar 7% atau $1.12 T dari total utang, yang dimana sebelumnya telah turun cukup dalam dari sebelumnya 12%. UBS juga ikut menyampaikan bahwa apabila pengurangan tersebut bertahap, maka berpotensi untuk menaikkan imbal hasil US Treasury 10y sebanyak 0.4 point.
Kepemilikkan terbesar kedua US Treasury masih ditempati oleh Jepang dengan $1.08 T.
Tentu hal ini juga membuat Jepang memiliki peluru ketika berhadapan dengan Amerika mengenai negosiasi otomotif yang saat ini sedang berlangsung.
Dalam pertemuan RDGI kemarin, Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa para pembuat kebijakan akan memantau resiko global dan stabilitas ekonomi dalam menentukan ruang untuk kebijakan moneter yang akomodatif dan sejalan dengan inflasi yang rendah dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestic. Pejabat Bank Indonesia cemas dengan potensi yang terjadi akibat dampak dari perang perdagangan Amerika – China.
Bank Indonesia sendiri melihat GDP akan berada di kisaran 5 – 5.4%, dengan Current Accout Deficit berada di 2.5% - 3% dari GDP untuk tahun 2019, yang didukung inflasi akan berada di 2.5% - 4.5%.
Prioritas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas ditengah tekanan negative pada deficit perdagangan, namun yang terpenting adalah menjaga stabilitas dari meningkatnya resiko eskternal akibat dari perang dagang saat ini.
Selain itu, focus utama Pemerintah juga terus berusaha untuk menjaga Current Account Deficit karena hal ini merupakan sesuatu yang sangat rentan bagi Rupiah dan Perekonomian.
“Kami masih merekomendasikan wait and see,” ujar analis Pilarmas.

