Kondisi Likuiditas Perbankan Saat Ini Diyakini Masih Mampu Mendorong Penyaluran Kredit

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Banyak kalangan menilai, pengetatan likuiditas perbankan diperkirakan masih akan berlanjut di tahun ini.

Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo optimis, kondisi likuiditas perbankan yang ada saat ini masih mampu mendorong dan mencukupi dalam penyaluran kredit perbankan untuk dapat tumbuh double digit di tahun 2019 ini.

“Bank Indonesia memandang ruang ekspansi pertumbuhan kredit tanpa mengganggu stabilitas sistem keuangan tetap terbuka. Hal ini mempertimbangkan siklus kredit yang berada di bawah level optimum di tengah prospek permintaan yang tinggi,” ujarnya, saat pengumuman hasil RDG di Jakarta, Kamis (21/3) lalu.

Bank Indonesia sendiri memprakirakan, kredit perbankan tetap tumbuh tinggi mendekati batas atas kisaran 10-12% (yoy) dan didukung pertumbuhan DPK yang diprakirakan dalam kisaran 8-10% (yoy).

Di sisi lain, penyaluran kredit yang diperkirakan tumbuh positif hingga akhir tahun 2019 ini akan dibarengi dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap rendah. Di mana hingga Januari 2019, NPL gross perbankan tercatat 2,6 persen dan NPL net 1,2 persen atau masih terjaga di level yang rendah.

Lebih lanjut, BI juga melaporkan, dari fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit pada Januari 2019 tercatat 12,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit Desember 2018 sebesar 11,8% (yoy).

Adapun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Januari 2019 sebesar 6,4%, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan pertumbuhan Desember 2018 sebesar 6,5%.

Sementara itu, ekonom PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Winang Budoyo menyebutkan, pengetatan likuiditas hanya akan terjadi pada awal tahun, dan akan melonggar seiring dengan mengucurnya dana APBN.

“Memasuki Maret sudah melonggar,” dalam pernyataannya disebuah media online baru-baru ini.

Meski demikian, diakuinya, pengetatan likuiditas telah terlihat dari kenaikan LDR (loan to deposit ratio). Hal itu disebabkan tingginya permintaan kredit pada tahun 2018 lalu. Sementara itu, pada saat yang sama, penghimpunan dana terkonsentrasi pada BUKU IV.

”Jadi, distribusinya memang belum merata,” jelas Winang.

Seretnya likuiditas perbankan juga diungkapkan Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Ryan Kiryanto disebuah kesempatan acara di Jakarta, belum lama ini.

Ryan mengungkapkan, penyaluran pembiayaan infrastruktur secara agresif oleh bank, khususnya bank kategori BUKU 3 maupun 4 menjadi pemicu tergerusnya likuiditas.

Pasalnya, penyaluran pembiayaan ke sektor infrastruktur merupakan pembiayaan jangka panjang. Sementara sumber pendanaan bank banyak jangka pendek.

Alhasil, perebutan Dana Pihak Ketiga (DPK) pun semakin sengit. Ditambah, dengan maraknya penerbitan surat utang pemerintah. Hal ini membuat market cenderung lebih tertarik masuk ke surat utang dibandingkan ke deposito.

“Pada tahun 2019 ini, isu sentral industri perbankan ada pada kecukupan likuiditas. Seharusnya, secara individu perbankan harus bisa menjaga LDR (loan to deposit ratio) di kisaran 87-90 persen,” kata Ryan.

Menyikapi kondisi tersebut diatas, Bank Indonesia bakal menempuh kebijakan-kebijakan yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan domestik, antara lain; menempuh strategi operasi moneter untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas melalui transaksi term-repo secara reguler dan terjadwal, di samping FX Swap; dan memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif dengan menaikkan kisaran batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendukung pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.