ANALIS MARKET (30/12/2019) : Dibayangi Aksi Profit Taking, Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi masih mengeliat positif Jumat (27/12) kemarin.
Kondisi tersebut, ditopang oleh sentiment positif yang didukung oleh ruang penguatan secara teknikal analisa membuat pasar obligasi masih terindikasi mengalami penguatan.
Adapun diperdagangan Senin (30/12) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas.
Turunnya transaksi menjelang akhir tahun menjadi salah satu alasannya, namun demikian ruang penguatan masih ada meskipun daya dorong untuk naik keatas masih sangat minim.
“Tentu kita berharap bahwa tahun depan akan menjadi tahun yang lebih baik bagi pasar obligasi untuk terus mengalami kenaikkan, dengan begitu imbal hasil obligasi akan mengalami penurunan yang mendorong tingkat CDS juga akan mengalami penurunan,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (30/12/2019).
Mengawali akhir tahun ini, cerita akan datang dari;
1.PERGANTIAN SISTEM BANK SENTRAL CHINA
Bank Central China telah memerintahkan kepada para pemberi pinjaman untuk mulai menggunakan standar pinjaman baru untuk semua jenis kredit mulai tahun depan, hal ini otomatis menandai berakhirnya tolok ukur sebelumnya dan berganti menuju liberalisasi system keuangan. Lembaga keuangan harus berhenti menggunakan suku bunga pinjaman lama sebagai referensi penetapan harga untuk semua kredit mulai Januari tahun depan, dan secara bertahap mengubah system tersebut menjadi yang baru, yaitu suku bunga pinjaman utama. Langkah ini dapat menurunkan biaya sebesar 152 triliun yuan atau $21.7 triliun. LPR ditetapkan pada 4.15% untuk jangka waktu satu tahun, lebih rendah dari suku bunga acuan yang berada di 4.35%. Perlambatan perekonomian dalam jangka panjang, membuat para pembuat kebijakan membuka system keuangan lebih kepada orang luar, sementara itu tetap mendorong beberapa kebijakan didalam Negeri untuk menjaga system keuangan menjadi lebih stabil. Transisi ini sejalan dengan kebutuhan untuk lebih mengurangi biaya pembiayaan untuk ekonomi sector riil, meskipun jalan yang akan dilalui masih sangat panjang. Dengan semakin mengecilnya tingkat suku bunga, tentu margin bunga akan semakin kecil, tentu hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi industry perbankan di China. Namun hal ini merupakan salah satu bentuk dukungan perbankan China untuk menjaga perekonomiannya tetap stabil, bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk masa depan. Tentu hal ini merupakan salah satu sisi yang bagus, mengapa demikian? Karena mereka bersatu untuk menjaga tatanan perekonomian secara bersama sama, berbeda dengan di Indonesia yang meskipun tingkat suku bunga Bank Indonesia sudah turun, tingkat suku bunga kredit masih ada diatas langit. ? Perubahan tingkat suku bunga China menjadi LPR membuat kebijakan moneter lebih efektif dalam menyelesaikan masalah jangka panjang. Sejauh ini Bank Sentral China terus menunjukkan komitmennya untuk membuat system suku bunga dapat lebih digerakkan oleh pasar, meskipun control atas simpanan tetap dipegang oleh otoritas yang berlaku. Pendekatan selangkah demi selangkah akan mencoba untuk membuka system tanpa harus menyusutkan margin bunga terlalu cepat sehingga tidak memberikan tekanan kepada para pembeli pinjaman.
2.ASUMSI APBN
Menjelang akhir tahun beberapa asumsi makro pada APBN 2019 menjadi perhatian kami, dimana realisasi yang terjadi masih jauh dari target pemerintah. Asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2019 adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah per dollar Amerika Serikat, surat perbendaharaan negara (SPBN) 3 bulan, harga minyak mentah, lifting minyak, dan lifting gas. Hingga 30 November 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru mencapai 5,02% pada kuartal III-2019 atau masih jauh dari target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 yang sebesar 5,3%. Sementara inflasi pada bulan November 2019 adalah sebesar 3,0% YoY dan secara kumulatif tercatat 2,37% YTD. Kami melihat masih adanya ruang gerak sebesar 1,13% untuk menjaga inflasi sesuai target, yaitu di level 3,5%. Rupiah yang mengalami penguatan patut diapresiasi, dimana stabilitas moneter sepanjang tahun 2019 sangat menjadi perhatian guna menjaga pertumbuhan riil sektor. Sementara SPN 3 bulan pun masih tercatat 5,62% atau lebih tinggi dari target yang sebesar 5,625. Harga minyak mentah pun tercatat US$ 61,9 atau lebih rendah dari target yang sebesar US$ 70. Lifting minyak tercatat Rp 742.000 dari target yang sebesar Rp 775.000 dan lifting gas sebesar Rp 1.049.000 atau lebih rendah dari target yang sebesar Rp 1.250.000. Per 30 November 2019, belanja negara masih mencapai 83,14% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.046,05 triliun. Sedangkan, pendapatan negara baru mencapai Rp 1.677,11 triliun atau baru sebesar 77,46% dari target APBN yang sebesar Rp 2.165,11 triliun. Capaian ini turun 3,34% dibandingkan realisasi pada tahun sebelumnya. Hal yang menjadi perhatian paling besar adalah deficit anggaran yang berada pada 2.3% melebar dari target sebelumnya yang berada di 1.84%. Meskipun demikian, hal tersebut tidak memberikan dampak aliran keluar modal asing yang hingga menjelang akhir tahun investor asing kembali memasuki pasar saham maupun obligasi Indonesia. Hal lain yang menjadi harapan adalah reformasi birokrasi dan regulasi terhadap kemudahan berinvestasi di Indonesia dinilai menjadi pertimbangan bagi investor asing untuk memasuki pasar dalam negeri. Hal tersebut diharapkan dapat membuka peluang kerja baru dan memberikan dampak pada kestabilan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Kami merekomendasikan beli hari ini dengan volume kecil. Namun jangan lupa, hari ini rawan aksi profit taking!” sebut analis Pilarmas.

