Pengenaan Bea Masuk Intangible Goods Perlu Dikaji Mendalam
Pasardana.id - Rencana pemerintah untuk menerapkan bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods) yang direncanakan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) perlu dikaji secara seksama.
Adapun tantangan terbesar yang akan dihadapi pemerintah dalam memungut bea masuk ini utamanya terkait dengan pengawasan terhadap transaksi intangible goods tersebut.
Demikian disampaikan pemerhati ekonomi dari Indosterling Capital, William Henley dalam siaran pers yang diterima Pasardana.id, Selasa (19/12/2017).
Dijelaskan, mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai melalui kantor-kantornya di berbagai titik masuk terhadap barang berwujud tentunya tak ada yang meragukan. Sementara untuk intangible goods, kata dia, perlu dibutuhkan cara-cara berbeda.
"Tidak terbayangkan rasanya pemerintah mengawasi setiap orang maupun badan yang men-download, katakanlah sebuah software. Tentu dibutuhkan sebuah sistem dengan tingkat kemapanan tinggi sehingga tak ada ruang penyelewengan tersisa," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, pemberlakuan bea masuk terhadap intangible goods ini akan efektif setelah ikatan moratorium dengan World Trade Organization (WTO) selesai pada akhir tahun ini.
Adapun Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan, bea masuk untuk intangible goods ini diharapkan bisa dilakukan pada tahun depan. Contoh barang tak berwujud tersebut adalah buku elektronik (e-book), software, dan barang lain yang tak memiliki wujud.
Terhadap rencana pemerintah ini, William dapat melihat adanya upaya untuk bisa menggenjot sisi pendapatan negara, terutama dari sisi makro.
Asal tahu saja, pada tahun lalu, penerimaan pajak secara keseluruhan per 31 Desember 2016 mencapai Rp 1.105 triliun. Jumlah ini sebesar 81,54 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 1.355 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 178,72 triliun atau 97,15 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 183,96 triliun.
Sementara tahun depan, setoran pajak 2018 ditargetkan mencapai Rp 1.423,9 triliun dan penerimaan bea dan cukai diproyeksikan sebesar Rp 194,1 triliun.
"Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, rasa-rasanya target pajak maupun bea cukai sulit diperoleh kecuali dengan extra effort," ujarnya.
William juga menyarankan, dalam pengenaan bea masuk ini perlu dibangun koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan demikian, jelas dia, aparat pemerintah tidak kecolongan dalam pengenaan bea masuk.
Hal ini memang sangat dimungkinkan, karena semua yang berbasis digital bisa mudah ditelusuri.
Ia juga meminta terhadap wacana ini tentunya jangan sampai kontraproduktif dengan tugas dan fungsi pemerintah, khususnya Ditjen Bea dan Cukai.
Patut diingat bahwa, selain untuk penerimaan negara, Bea Cukai memiliki fungsi yang tak kalah penting, yakni sebagai pelindung masyarakat sehingga dapat menghadirkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
"Rasanya juga dalam upaya enforcement tentunya akan menjadi sulit dan cenderung tidak realistis. Tapi biarlah kita menunggu langkah-langkah kongkret pemerintah tersebut," tandas William.

