Aturan Fintech di Segmen Peer to Peer Lending Masih Sulit Diterapkan
Pasardana.id - Aturan main untuk layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) yang bermain dalam segmen peer to peer lending (P2P) masih sulit diterapkan.
Hal ini diakui Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tuahta Aloysius Saragih dalam seminar fintech, di Jakarta, Senin (19/9/2016).
"Tapi yang tidak bisa diatur adalah P2P lending. Karena kontraknya bukan perdata. Ini yang masih jadi abu-abu," ujarnya.
Dijelaskan, pada prinsipnya pengawasan fintech oleh OJK akan dikembalikan sesuai dengan masing-masing sektornya. Jika perusahaan fintech tersebut dibentuk oleh perbankan, maka pengawasan akan dilakukan oleh OJK yang mengawasi sektor perbankan.
Begitu pula dengan perusahaan fintech yang menawarkan produk atau layanan pasar modal dan asuransi maka pengawasannya akan diserahkan ke OJK yang mengawasi sektor pasar modal dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB).
Lebih lanjut dikatakan, nantinya OJK akan mewajibkan perusahaan fintech untuk memiliki bank kustodian pengelola dananya.
Aturan tersebut berlaku khusus bagi fintech yang melakukan bisnis pinjam-meminjam peer to peer lending (P2P) dan bakal tertuang dalam beleid yang saat ini sedang diracik OJK.
Peneliti Eksekutif Senior OJK, Hendrikus Pasagi menambahkan, salah satu hal yang menjadi perhatian utama regulator pada platform P2P lending, yakni perlindungan dan keamanan dana konsumen.
Tanpa bank kustodian, lanjut dia, yang menjadi kekhawatiran adalah, pelaku fintech platform P2P dapat menyalahgunakan dana, seperti pada kasus Ponzi Game, mengeluarkan pinjaman palsu, serta bentuk penipuan lainnya.
Keberadaan bank custodian, menurutnya, dapat meminimalisir kekhawatiran ini karena dapat memastikan bahwa dana pemberi pinjaman tidak disalahgunakan oleh pengelola portal.
"Jangan sampai dana yang sudah disetor nasabah malah kabur dibawa lari dengan mudah begitu saja," tandas Hendrikus.

