Regulator Pasar Modal yang Baru Perlu Pastikan Perlindungan Investor Ritel
Pasardana.id - Pelaku pasar modal meminta Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia masa periode mendatang perlu memastikan adanya perlindungan nasabah.
Pasalnya, regulasi yang ada saat ini masih dapat ditembus oleh pelaku kejahatan pasar modal tanpa tersentuh, sehingga ada pertanyaan, Apakah Pasar Modal Indonesia dirancang semata sebagai"the toy of the rich"?
Menurut mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Hasan Zein Mahmud, bahwa jajaran Komisioner OJK yang baru akan ditempati orang orang baru atau orang-orang lama yang diperbaharui.
Dan hampir dipastikan akan didominasi oleh 'orang-orang' Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dan 'orang-orang' dalam OJK sendiri.
Lalu, menyusul kepengurusan BEI juga akan berganti. Boleh jadi orang baru. Boleh jadi orang yang diperbaharui. Dan dipastikan orang orang yang mendapat restu OJK.
“Sebagai salah seorang investor ritel - atau investor gurem - yang berusaha menghidupi usia pensiun dari investasi saham, saya cuma titip dan berharap satu hal: Perbaikan perlindungan investor ritel,” ungkap Hasan Zein melalui media sosialnya, Senin (21/2/2022).
Lebih lanjut ia menegaskan, investor ritel bukan minta perlakuan istimewa, tapi hanya perlakuan yang sama dengan investor kakap atau level playing field dalam mekanisme transaksi dan keadilan dalam penegakan hukum.
Permintaan itu, jelas dia, berpijak dari kasus-kasus yang telah tejadi di pasar modal, seperti kasus DGIK.
Karena korupsi yang dilakukan oleh Dirutnya, emitennya dihukum denda dan bisnisnya dikerangkeng 3 tahun. Saham investor ritel kehilangan nilai.
Keadilan dalam definisi yang paling primitif adalah menghukum yang bersalah dan melindungi para korban.
“Dalam kasus DGIK, pemegang saham ritel adalah korban korupsi pengurus, yang dikorbankan lagi oleh proses penegakan hukum,” tutur dia.
Kasus lainnya, Hasan menunjuk kasus AISA. Rontok karena penipuan kualitas beras, transfer pricing, pemalsuan laporan. Tapi dia mempertanyakan perlindungan hukum bagi pemegang saham ritel yang menjadi korban.
“Kemana mereka meminta ganti rugi? Sementara masterminds masih melenggang bebas dengan kekayaan yang dikantonginya secara curang,” tukas dia.
Kasus berikutnya, dia menyebut kasus Jiwasraya dan Asabri. Aset-aset emiten disita untuk negara. Tapi pemegang saham ritel - dan pemegang polis - dikorbankan.
“Undang Undang yang digunakan adalah UU Anti Korupsi. UU Pasar Modal tumpul mandul. Bukankah negara eksis demi kesejahteraan rakyat? Lalu kenapa demi negara, rakyat kecil yang jadi korban praksis korup, dikorbankan lagi atas nama negara?” ungkap dia.
Selain itu, lanjut dia, sebagian besar emiten yang terancam delisting, adalah akibat salah kelola. Walaupun diwajibkab tender offer, tapi perusahaan (telah) bangkrut.
“Pemegang saham ritel kehilangan uang, pengendali dan pengurus emiten makin kaya. Dengan berbagai teknik transfer pricing, mereka mencuri irisan kue terlebih dahulu,” urai dia.
Ia juga mengkritisi, perusahaan melakukan IPO, janji dalam prospektus. Tapi setelah IPO, dana dibelokkan dengan alasan baru lewat keputusan RUPS.
“Apa ritel terwakili? Belum lagi pengendali yang setelah memobilisasi dana masyarakat, mengerek sahamnya naik tinggi dengan berbagai trik, melikuidasi kepemilikannya, lalu meninggalkan perusahaan begitu saja,” ungkap dia.
Lebih lanjut Hasan mengutip pernyataan Richard Breeden, Chairman SEC tahun 1991.
"Kalau suatu perusahaan memobilisasi dana hanya dari lingkungan accredited investors, sophisticated investors, mereka tidak perlu berurusan dengan kami. Karena itu ada Rule 44A. Tapi sekali mereka memobilisasi dana dari average investors, mereka harus berhadapan dengan kami. Eksistensi kami dibentuk oleh Undang Undang untuk melindungi average investors".

