ANALIS MARKET (02/6/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, tak dinyana tak disangka, pasar obligasi masih berusaha untuk mempertahankan keyakinannya untuk terus mengalami penguatan.
Meskipun demikian, tetap hati hati karena pelaku pasar dan investor pasti akan menanti data ekonomi yang akan hadir pada hari ini (02/6).
Ada inflasi yang diproyeksikan mengalami kenaikkan yang tentu memiliki imbas yang sangat positif terhadap kita, karena itu artinya masyarakat sudah tidak lagi menunda konsumsi. Ketika masyarakat tidak lagi menunda konsumsi, akan ada pemulihan aktivitas ekonomi disana yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikkan.
Meskipun angka penyebaran Covid 19 juga mengalami kenaikkan, kami masih belum melihat adanya gejolak yang muncul akibat kekhawatiran dari pelaku pasar dan investor. Khawatir memang ada, tapi tidak sebanding dengan antusiasme terhadap pemulihan ekonomi Q2 2021.
Sejauh ini, kami melihat pemulihan masih on track, meskipun dengan tingkat akselerasi yang rendah. Tapi setidanya pemulihan itu sudah berjalan, daripada tidak sama sekali.
Melihat antusiasme yang timbul, tentu saja pelaku pasar dan investor akan mencari obligasi melalui lelang hari ini (02/6), apalagi hari ini ada seri terbaru dari lelang, yaitu PBS 30. Tentu saja diharapkan dapat memberikan kupon yang layak untuk pelaku pasar dan investor.
Sejauh ini kami melihat bahwa pelaku pasar dan investor masih melihat dari sisi yang optimis, sehingga diproyeksikan total penawaran yang masuk sebesar Rp 30 T – 40 T, kurang dari itu memberikan sebuah gambaran pelaku pasar dan investor akan wait and see terkait dengan data ekonomi hari ini.
“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas. Kami merekomendasikan beli apabila kenaikkan harga obligasi di atas 45 bps,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Rabu (02/6/2021).
Adapun cerita di hari Rabu (02/6) ini akan kita awali dari;
1.BANK SENTRAL BERAKSI
Ditengah tekanan akan penyebaran Covid 19, perekonomian Jepang kembali berada di dalam tekanan. Hal ini yang membuat Bank Sentral Jepang mau tidak mau beraksi kembali untuk menyelamatkan kembali perekonomian Jepang yang kembali menghadapi tekanan akibat gelombang ke 2 Covid 19 serta perubahan iklim yang terjadi. Bank Sentral Jepang akan mempertimbangkan beberapa perubahan di dalam diskusi kebijakan moneternya. Gubernur Bank Sentral Jepang, Haruhiko Kuroda mengatakan bahwa salah satu yang menjadi perhatiannya juga adalah bagaimana caranya untuk memerangi global warming. Bank Sentral Jepang memiliki perhatian tersendiri bagi perubahan iklim yang sedang terjadi serta dampaknya terhadap perekonomian dan system keuangan, namun pointnya adalah bagaimana menanggapi permasalahan ini dalam bentuk kebijakan moneter. Kuroda juga memperhatikan Bank Sentral Eropa yang dipimpin oleh Christine Lagarde, dan Bank Sentral Inggris yang dipimpin oleh Andrew Bailey yang mulai menunjukkan sikap yang lebih agresif pada issue global warming. Bersama dengan mereka semua, para pemimpin Bank Sentral akan mendiskusikan lebih banyak hal terkait dengal hal hal yang berhubungan dengan Green Financing dalam acara Green Swan Conference yang di selenggarakan oleh Bank for International Settlements dan IMF. Bank Sentral Jepang juga berjanji untuk mendukung pemerintahan Jepang untuk mengurangi emisi karbon sebesar 46% pada tahun 2030 dan menjadi karbon netral pada tahun 2050 mendatang. Tidak hanya memberikan perhatian terhadap global warming, tapi kekhawatiran inflasi global yang terjadi di Amerika juga menjadi perhatian Kuroda. Sosok dari Jerome Powell dari The Fed yang mengatakan bahwa inflasi sementara merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima bahwa kenaikkan inflasi akan terjadi ketika pemulihan ekonomi terjadi, namun itu hanyalah sementara, dan alhasil tentu saja stimulus harus bertahan lebih lama sekalipun inflasi mengalami kenaikkan. Dan terkait dengan hal itu, butuh kebijakan yang berbeda untuk mengatasi inflasi yang rendah seperti yang terjadi di Jepang, karena Jepang sudah mengalami deflasi yang berkepanjangan. Untuk mengatasi Covid 19, Bank Sentral Jepang juga akan terus mendorong stimulusnya untuk menopang perekonomiannya. Setiap Bank Sentral harus menyesuaikan kebijakan moneternya dengan perekonomian, harga, dan situasi dan kondisi keuangannya. Tingkat inflasi yang masih rendah di Jepang masih harus membuat Bank Sentral Jepang berusaha dengan gigih untuk melakukan pelonggaran moneter untuk mencapai target stabilitas setinggi 2%. Bank Sentral Jepang mengatakan sejauh ini tidak ada yang salah dengan kebijakan moneter yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lain karena situasi dan kondisi perekonomian di masing-masing negara yang berbeda beda. Namun saat ini kita harus terus mencermati bagaimana pasar modal dan pasar keuangan akan bergerak ke dalam prosesnya. Bank Sentral Jepang juga mengatakan bahwa ketimpangan ekonomi akan muncul tidak hanya di negara negara maju, namun juag akan terjadi di negara negara berkembang. Karena kecepatan pemulihan pada masing masing industrinya berbeda. Perekonomian Jepang akan mencapai tingkat pra pandemic pada akhir tahun, namun situasi dan kondisi financial perusahaan khususnya yang berhubungan dengan layanan tatap muka akan terkena dampak yang paling dalam. Ditengah situasi dan kondisi yang kian semakin serius akibat Covid 19, Bank Sentral Jepang akan mempertimbangkan untuk memperpanjang beberapa program khusus yang akan berakhir pada bulan September tahun ini apabila memang diperlukan. Untuk menopang perekonomian dengan memberikan stimulus di dalamnya, Bank Sentral Jepang tidak akan menjual atau menghentikan pembelian ETF, karena hal tersebut merupakan bagian dari strategi untuk mengejar target stabilitas senilai 2%. Tidak hanya Bank Sentral Jepang pemirsa yang melakukan hal yang sama untuk menopang perekonomiannya, tapi Bank Sentral Australia juga akan mempertahankan kebijakannya, bahkan berisap untuk memperpanjang target imbal hasil dan program pelonggaran kuantitatif, karena adanya lockdown sementara yang membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi terganggu. Bank Sentral Australia juga mempertahankan tingkat suku bunga dan target imbal hasil 3y di 0.10%. Lockdown sementara yang berlangsung 1 minggu akan membuat prospek perekonomian menjadi terganggu, meskipun kami percaya lockdown tidak akan berlangsung menjadi 2 minggu. Kesadaran diri yang tinggi masyarakat Australia, membuat kami percaya bahwa meskipun ada penguncian selama 1 minggu, tapi tidak akan mengurangi kemampuan Australia untuk pulih. Sejauh ini pemulihan perekonomian yang kuat didukung oleh ketenagakerjaan, inflasi, dan upah yang terkendali. Gubernur Bank Sentral Philip Lowe mengatakan bahwa Dewan berkomitmen untuk mempertahankan situasi dan kondisi moneter yang sangat mendukung ketenagakerjaan dapat berada di level penuh serta inflasi yang konsisten agar dapat mengejar target yang ditetapkan. Tidak hanya dari posisi Bank Sentral Australia pemirsa, dukungan kuat juga diperlihatkan oleh pemerintah Australia yang akan terus memberikan dukungan pelonggaran fiscal untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi melalui upah dan inflasi. Kemajuan ekonomi di Australia di harapkan dapat mendorong pengurangan pengangguran lebih cepat dari yang diharapkan. Kehati hatian menjadi point penting saat ini pemirsa, karena lockdown yang terjadi di Melbourne memberikan ketidakpastian baru, sehingga membuat Bank Sentral akan tetap melakukan pembelian obligasinya untuk memberikan dukungan yang maksimal terhadap perekonomian. Oleh sebab itu baik pemerintah maupun Bank Sentral semuanya akan terfokus terhadap ketenagakerjaan penuh. Secara global, sejauh ini kami melihat Bank Sentral mulai terlihat rileks dalam memberikan kelonggaran moneter. Situasi dan kondisi yang membaik, membuat Bank Sentral boleh sedikit bernafas lebih dalam dan tenang. Beberapa Bank Sentral di luar negeri salah satunya, Bank Sentral Selandia Baru pun mulai memberikan proyeksi kenaikkan tingkat suku bunga pada semester ke 2 tahun depan. Tentu hal ini sejalan dengan proyeksi kami, bahwa proses pengurangan pembelian obligasi pun yang akan dilakukan oleh The Fed baru akan terjadi Q2 atau Q3 2022 mendatang. Pertumbuhan ekonomi di proyeksikan akan naik sebesar 1.5% dalam Q1 2021 tahun ini, naik dari sebelumnya 0.6%. Namun memang, dampak dari selesainya program JobKeeper menjadi salah satu yang terberat bagi para pekerja di Australia pemirsa, pasalnya setelah program JobKeeper berakhir, ada sekitar 56.000 pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Tentu ini menjadi perhatian, meskipun kami percaya bahwa perekonomian Australia yang mulai pulih akan mendorong serapan tenaga kerja secara perlahan tapi pasti untuk mulai bangkit. Target dari Gubernur Bank Sentral bahwa tingkat pengangguran Australia harus turun mendekati 4%, pertumbuhan upah di harapkan dapat meningkat lebih cepat dengan kecepatan lebih dari 3%, 2x lipat dari situasi dan kondisi saat ini. Apabila situasi dan kondisi ini terpenuhi, maka inflasi di Australia akan kembali sesuai target Bank Sentral yaitu 2% - 3% setidaknya hingga 2024. Melihat fundamental perekonomian yang kuat, kami rasa hal tersebut dapat dicapai bahkan lebih cepat dari sebelum tahun 2024, apabila situasi dan kondisi saat ini terus berangsur angsur pulih. Well, perekonomian di berbagai negara telah pulih, semoga Indonesia bisa kecipratan di semester ke 2 ini juga bisa pulih untuk menopang perekonomian.

