ANALIS MARKET (16/3/2021) : IHSG Berpeluang Bergerak Melemah Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pada perdagangan hari Senin, 15/03/2021 kemarin, IHSG ditutup melemah sebesar 33 poin atau sebesar 0.53% menjadi 5.324. Sektor industri dasar, infrastruktur, keuangan, pertambangan, property, industri konsumsi bergerak negatif dan menjadi kontributor terbesar pada kenaikan IHSG kemarin. Sementara investor asing mencatatkan penjualan bersih sebesar 160 miliar rupiah.

Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;

1.APA YANG DIHARAPKAN?

Dengan adanya pertemuan Bank Sentral The Fed dan Bank Sentral Jepang yang akan diadakan pekan ini, tentu hal ini akan menjadi perhatian bagi kita semua karena tentu akan mempengaruhi pergerakan pasar kedepannya. Sebetulnya apa sih yang kita nantikan? Apakah mungkin kapan The Fed akan mulai melakukan pengurangan pembelian obligasi? Ataukah mungkin, kapan The Fed akan mulai menaikkan tingkat suku bunga? Tentu ini semua menjadi perhatian bagi banyak orang termasuk kami yang cukup keepoh. Sejauh ini kalau kita melihat kapan The Fed akan melakukan pengurangan pembelian obligasi, kami melihat ada potensi yang cukup besar untuk terjadi pada tahun depan. Proses pemulihan perekonomian yang kuat didukung oleh percepatan vaksin diperkirakan akan membuat The Fed menaikkan tingkat suku bunga pada tahun 2023, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada akhir tahun 2022. Berarti apabila tingkat suku bunga akan dinaikkan pada akhir tahun 2022, tentu itu artinya program pengurangan pembelian obligasi akan dimulai pada tahun 2022 yang akan menyebabkan situasi dan kondisi Taper Tantrum. Saat ini The Fed sedang mengamati situasi dan kondisi yang terjadi di pasar, khususnya terkait dengan efek kebijakan moneter dan fiscal, serta dorongan percepatan distribusi vaksinasi. FOMC meeting pada pertemuan bulan ini tentu saja tidak akan mengubah tingkat suku bunga, namun pandangan dan rencana mereka khususnya terkait dengan situasi dan kondisi US Treasury serta ekspektasi inflasi tentu akan menjadi perhatian. Pembelian obligasi pun kami melihat masih akan berada dalam nilai yang sama setidaknya hingga akhir tahun ini berakhir. Meskipun The Fed mengatakan bahwa pasar ketenagakerjaan di Amerika dan inflasi masih rendah, tapi bukan berarti tujuan The Fed dan reaksi pasar tidak berarti apa apa saat ini. Kami menyadari bahwa The Fed sendiri pun harus menghargai proses pemulihan yang sedang berjalan, menarik kebijakan moneter hanya akan menyakiti proses itu sendiri. Beberapa proyeksi di Amerika mengatakan bahwa Bank Sentral – The Fed harus menaikkan tingkat suku bunga pada akhir tahun 2023 dengan tingkat kenaikkan berkisar 50 bps, namun ada juga yang mengatakan bahwa perubahan tingkat suku bunga tidak akan terjadi hingga 2024 mendatang. Namun kami juga menyadari bahwa, tingkat suku bunga yang rendah terlalu lama juga tidak baik bagi perekonomian, karena seperti buih hal ini akan menjadi perusak rasa kedepannya. Kami yakin bahwa tahun ini semua kebijakan masih akan seperti sebelumnya, hanya saja kami butuh kepastian dari The Fed tentang sikap mereka terhadap ekspektasi inflasi yang bergerak liar, dimana ekspektasi inflasi 1y saja berada di 3.1%. Hal ini akan mendorong volatilitas US Treasury akan selalu berada dalam ketinggian, oleh sebab itu kami melihat bahwa sikap The Fed akan menjadi point penting saat ini. Apalagi pasar obligasi kita terus mengalami penurunan, bahkan memecahkan rekor penurunan sebelumnya menjadi yang terdalam, bak lagu Noah :D. Kenaikkan tajam US Treasury sebagai bagian dari ekspektasi pertumbuhan ekonomi memang membuat tekanan, namun bagi Powell kenaikkan US Treasury itu hanyalah sementara. Ingin rasanya hati ini percaya kepada Om Powell, namun kenyataannya tidak semudah itu untuk di terima oleh pelaku pasar dan investor. Kalau kita ingat lagi, Powell memang mengatakan bahwa pemulihan dan pertumbuhan ekonomi saat ini tidak akan membuat The Fed menaikkan tingkat suku bunga. Tapi kalau kita mundur kebelakang sedikit, pada pertemuan The Fed pada bulan December lalu, seorang pejabat The Fed mengatakan bahwa ada potensi kenaikkan tingkat suku bunga sebesar 25 bps pada tahun 2022 dilanjutkan dengan 5 kali kenaikkan pada tahun 2023 mendatang. Kami cukup senang pemirsa, bahwa analisis kami hampir in line dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini dalam The Fed. Meskipun kami tidak cukup senang apabila ada 5x kenaikkan tingkat suku bunga pada tahun 2023 mendatang karena akan memukul pemulihan dan perkembangan negara berkembang. Fokus utamanya dalam 1 – 2 tahun mendatang adalah, sejauh mana inflasi dapat konsisten, dan sejauh mana angka pengangguran dapat mengalami penurunan. The Fed sudah, yuk kita beralih kepada Bank Sentral Jepang, apa yang dapat kita harapkan dari mereka. Kami sebetulnya tidak terlalu cemas dengan pertemuan Bank Sentral Jepang, namun pandangan mereka terkait dengan pergerakan US Treasury tentu akan mencuri perhatian pelaku pasar dan investor. Mengapa kami tidak terlalu cemas dengan Bank Sentral Jepang? Karena mereka sudah mengatakan bahwa mereka akan melakukan apapun yang diperlukan, dan yang terpenting mereka sudah punya jurus ampuh bernama Yield Curve Control. Namun bagi Bank Sentral Japan, mereka lebih suka untuk memperhatikan The Fed dan Bank Sentral Eropa terlebih dahulu sebelum mereka melakukan sesuatu. Spread premium antara obligasi Jepang dengan US Treasury telah membuat Yen mengalami pelemahan terhadap Dollar, dan tentu saja hal ini menjadi implikasi positive terhadap eksportir, dan akan mendorong potensi terjadinya inflasi yang tentu saja menguntungkan bagi Bank Sentral Jepang yang mengidam idamkan angka inflasi yang mengalami kenaikkan. Kami tidak ingin mengatakan bahwa tidak ada ruang bagi kebijakan moneter bagi Bank Sentral Jepang, namun pada kenyataannya ruang tersebut sangatlah terbatas. Bank Sentral Jepang kami perkirakan akan tetap mengirimkan pesan standar untuk menjaga Yen untuk tetap lemah yang dimana hal ini di inginkan Jepang, ditambah dengan dukungan terhadap Yield Curve Control untuk menjaga spread premium antara obligasi Jepang dengan US Treasury. Beberapa harapan terhadap pertemuan Bank Sentral Jepang diperkirakan sebagai berikut pemirsa; 1. Tingkat suku bunga jangka pendek diperkirakan tidak akan berubah, dan masih akan berada di rentang -0.1% dan suku bunga jangka panjang di sekitar 0. 2. Pembelian obligasi diperkirakan akan berada dalam rentang yang ada saat ini, namun memungkinkan untuk dapat berubah agar dapat menyesuaikan terhadap volatilitas pasar yang ada dan mendorong naiknya tingkat likuiditas. 3. Sikap Bank Sentral Jepang yang lebih fleksibel terhadap pergerakan pasar yang ada saat ini, khususnya ekspektasi yang sedang mengalami lonjakan di Amerika. Ada yang menarik dengan Bank Sentral Jepang, mereka sendiri memprediksi bahwa Jepang belum tentu dapat berhasil mencapai inflasi sebesar 2% hingga tahun 2023 mendatang. Well, kami hanya bisa menganalisa, tapi biarlah waktu yang akan menjawabnya.

2.LUMAYAN!

Neraca perdagangan tercatat surplus US$ 2.01 miliar pada Februari, lebih tinggi dari bulan Januari yang sebesar US$ 1.96 miliar. Impor mengalami kenaikkan tercatat sebesar US$ 13.26 miliar atau naik 14.86%. Impor sepanjang Februari didominasi oleh barang modal yang naik 9,08% MoM dan 17,68% YoY. Impor bahan baku turun 0,50% MoM menjadi US$9,89 miliar, namun realisasi ini tumbuh 11,53% YoY. Impor barang konsumsi turun 13,78% dipicu oleh penurunan sejumlah vaksin dan bawang putih. Naiknya impor dari barang modal menjadi harapan terkait meningkatnya produktivitas dari industri dalam negeri. Sedangkan ekspor mengalami kenaikan menjadi US$15.27 miliar atau naik 8.56% lebih tinggi dari Februari 2020 yang sebesar US$ 14.06 miliar. Namun jika mengacu pada data historis, kenaikan angka ekspor bulan Februari lebih rendah dari bulan sebelumnya 0,19%. Hal tersebut seiringan dengan adanya penurunan ekspor migas sebesar 2,63%. Dilihat dari sisi sektornya, ekspor bulan Februari didominasi oleh industri pengolahan yang tumbuh 1,38% MoM, didorong besi baja, kendaraan motor, logam dasar mulia dan kimia dasar organik dari hasil pertanian. Secara tahunan, industri pengolahan juga tumbuh 9% YoY, didorong oleh besi baja dan kimia dasar organik serta peralatan listrik. Berdasarkan data dari BPS terdapat penurunan ekspor ke China pada bulan Februari 2021 sebesar US$ 96,2 juta, penurunan tersebut seiringan dengan penurunan dari harga komoditas seperti minyak dan lemak hewan nabati yang dalam akumulasi satu bulan turun 40.99%, sedangkan pulp turun 21.55%. Meski mengalami penurunan, pangsa ekspor nonmigas Indonesia masih belum banyak berubah. Posisi pertama tetap ditempati oleh China dengan pangsa mencapai 20,50% dengan nilai ekspor sebesar US$2,95 miliar. Di sisi lain, impor Indonesia dari China juga mengalami penurunan sebesar US$215,9 juta. BPS mencatat, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan dnegan China, yaitu mencapai US$968,5 juta. Di samping China, penurunan ekspor yang paling dalam adalah ke negara tujuan India, yang mencapai US$178 juta. Selanjutnya, disusul oleh Spanyol US$75,5 juta, Myanmar US$52,8 juta, dan Singapura -49,7 juta.

“Berdasarkan analisa teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak melemah terbatas dan ditradingkan pada level 6.273 – 6.363,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Selasa (16/3/2021).