ANALIS MARKET (17/12/2021) : IHSG Memiliki Peluang Bergerak Melemah Terbatas

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pada perdagangan hari Kamis, 16/12/2021 kemarin, IHSG ditutup melemah 31 poin atau 0,47% menjadi 6.594. Sektor consumen cylicals, industrial, properties&real estate, consumer non cylicals, basik materials, energy, infrastructure, dan financials bergerak negatif dan mendominasi penurunan IHSG kali ini. Investor asing di seluruh pasar membukukan penjualan bersih Rp 735 miliar.

“Berdasarkan analisa teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak melemah terbatas dan ditradingkan pada 6.525 – 6.660,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Jumat (17/12/2021).

Adapun cerita hari ini akan kita awali dari;

1.ECB, SMOOTH!!

Setelah sebelumnya kita mendengarkan arisan The Fed yang menyita perhatian banyak orang serta pelaku pasar pastinya, kali ini kita akan mendengarkan arisan dari Bank Sentral Eropa, yang dimana mereka sepakat untuk melakukan pembelian obligasi kembali selama 6 bulan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar lagi bagi perekonomian untuk pulih, dan memberikan titik keluar yang aman bagi perekonomian setelah pandemi. Lagarde sendiri telah memproyeksikan rebound ekonomi yang kuat diimbangi dengan inflasi yang lebih cepat pada tahun depan. Omicron menjadi salah satu alasan terkuat bagi Bank Sentral Eropa untuk kembali menambah rentang waktu stimulusnya, padahal stimulus tersebut berakhir pada bulan Maret 2022. Bank Sentral Eropa mengatakan bahwa ancaman terus berkembang dari Omicron, sehingga hal inilah yang membuat Bank Sentral Eropa berjanji untuk tidak melakukan masa transisi secara kasar, melainkan harus halus dan mulus. Para pejabat di Bank Sentral Eropa juga akan mengubah alat kebijakan untuk menangani krisis dan dapat menangani gejolak pasar di masa yang akan datang. Kemajuan pemulihan ekonomi yang kuat dan menuju target inflasi jangka menengah memberikan kesempatan kepada Bank Sentral untuk terus melakukan pengurangan stimulus langkah demi langkah. Namun Lagarde mengingatkan bahwa inflasi diproyeksikan masih akan tetap tinggi dalam jangka waktu menengah namun diperkirakan akan turun dalam waktu dekat yang berpotensi sangat besar akan terjadi pada tahun 2022 mendatang. Program Pembelian Asset telah diperjuangkan untuk berada dikisaran 40 miliar euro perbulan, dan akan berkurang menjadi 30 miliar euro, dan kembali turun menjadi 20 miliar Euro pada bulan October. Para pejabat Bank Sentral Eropa telah mengubah aturan reinvestasi pada PEPP sehingga menjadikannya lebih mudah dalam memberikan dukungan atau stimulus ketika gejolak terjadi di pasar keuangan. Namun pelaku pasar dan investor melihat ada kesempatan bagi Bank Sentral Eropa untuk menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 10 bps pertama pada tahun 2023 mendatang. Sejauh ini keputusan Bank Sentral Eropa merupakan sebuah pengakuan terhadap inflasi sehingga harus menciptakan sebuah kebijakan moneter yang tepat dalam menghadap inflasi, dimana inflasi kali ini begitu cepat sejak mata uang tunggal di ciptakan. Situasi dan kondisi saat ini memberikan ketidakpastian yang mengalami peningkatan akibat Omicron yang dimana telah berhasil menghentikan pertumbuhan ekonomi di Jerman. Presiden Bank Sentral Eropa sejauh ini telah memberikan proyeksi ekonomi terbarunya yang dimana mereka menaruh inflasi diatas target 2% untuk tahun 2022 mendatang, dengan tingkat rata rata 3.2%. Pejabat Bank Sentral Kemudian melihat pertumbuhan inflasi akan mengalami penurunan karena harga mengalami pengurunan pada tahun 2023 dan 2024 sebesar 1.8% setiap tahunnya. Kenaikkan harga yang terjadi saat ini lebih terjadi karena harga energi yang tinggi, dan pasokan yang terbatas. Para pembuat kebijakan memberikan isyarat bahwa mereka dapat kembali menggunakan tools dan stimulus yang tersedia apabila krisis kembali terjadi. Lagarde menyampaikan bahwa fleksibilitas akan tetap menjadi elemen kebijakan moneter setiap kali ada ancaman terhadap tranmisi kebijakan moneter yang dimana membahayakan pencapaian stabilitas harga. Pembelian obligadi dibawah PEPP juga dapat dilanjutkan jika diperlukan untuk melawan guncangan terkait dengan pandemi. Saat ini pandangan kami terkait dengan sikap Bank Sentral Eropa menurut kami sudah tepat, karena inflasi meskipun saat ini berada pada tingkat kecepatan yang lebih cepat dari biasanya, namun inflasi masih dikatakan lebih terkendali dibandingkan inflasi di Amerika. Hal ini yang membuat Bank Sentral Eropa masih menggunakan kata kata inflasi hanyalah sementara. Apalagi kalau kita lihat, IHS Markit di Jerman sudah mulai menunjukkan tanda tanda bahwa inflasi di German, mungkin sudah mencapai puncaknya sehingga perekonomian di negara Eropa tersebut mulai terlihat stagnasi pada bulan December ini. Akomodasi secara moneter tentu masih diperlukan agar inflasi tetap stabil pada target inflasi 2% dalam jangka waktu menengah. Oleh sebab itu karena masih banyaknya ketidakpastian saat ini, kita perlu mempertahankan fleksibilitas dan opsionalitas. Dari sisi Bank Sentral Eropa, kami lihat masih sangat fleksibel dalam melihat pergerakan pasar. Namun ternyata di Eropa sendiri adalah lho yang dimana Bank Sentral Inggris, pada akhirnya secara mengejutkan menaikkan tingkat suku bunga. Gubernur Bank Sentral Inggris, Andrew Bailey mengatakan bahwa prospek inflasi terlihat lebih persisten, sehingga hal inilah yang membuat Bank Sentral Inggris harus mengambil keputusan untuk menaikkan tingkat suku bunga sebesar 15 bps menjadi 0.25%. Saat ini Inggris masih menjadi negara pertama dari G7 yang mengambil langkah drastic tersebut, alih alih inflasi apakah karena keputusan dari The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga lebih awal ya? Kenaikkan ini merupakan kenaikkan pertama tingkat suku bunga dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Bailey mengatakan bahwa Bank Sentral Inggris melihat bukti dari pasar tenaga kerja yang sangat ketat, ditambah lagi dengan kehadiran inflasi yang tidak kunjung turun sehingga membuat Bank Sentral Inggris yakin bahwa inilah saatnya. Nah kenaikkan tingkat suku bunga Bank Sentral Inggris ini diproyeksikan akan kembali mengalami kenaikkan pada bulan February sebesar 25 bps kembali dengan tingkat probabilitas sebesar 80%. Yang kami apresiasi adalah Bank Sentral Inggris melakukan hal tersebut ditengah tengah kehadiran Omicron yang memberikan signal bahwa ketidakpastian masih menyelimuti di pasar. Sebetulnya masih banyak kisah Bank Sentral yang ingin kami ceritakan, cuma saying kertas memisahkan kita. Tapi jangan khawatir, pekan depan edisi arisan Bank Sentral dari berbagai belahan dunia ya.

2.THE FED + OMICRON = B AJAH

Pergerakan pasar saham Asia merespon positif kebijakan Fed yang melihat perekonomian lebih baik pada tahun depan di tengah ketidakpastian dari pemulihan pandemi. Hal tersebut tentu menjadi perhatian dimana Fed melihat adanya potensi kenaikan suku bunga secara tiga kali pada tahun depan dimana suku bunga akan merespon kenaikan dari inflasi Amerika yang cukup tinggi saat ini. Mengacu pada data historis selama 10 tahun terakhir, posisi suku bunga Amerika selalu berada di bawah inflasi dan baru berada di atas inflasi pada kuartal II 2017 hingga kuartal I 2020. Sehingga kami melihat apabila kenaikan suku bunga acuan Amerika mencapai tiga kali pada tahun depan, hal tersebut masih dalam kondisi yang dapat ditoleransi oleh pelaku pasar, mengingat saat ini inflasi Amerika berada pada 6.8% sedangkan suku bunga acuan Amerika masih berada di 0.25%. Rendahnya inflasi di Indonesia akan menjadi perhatian dari Bank Indonesia dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan. Pertemuan RDG Bank Indonesia pada tanggal 16 Desember 2021 memberikan sebuah pandangan bahwa Bank Indonesia masih merasakan kekhawatiran dari ketidakpastian dalam pasar keuangan global. Pemulihan ekonomi negara maju dinilai dapat memberikan konsekuensi dim pengurangan stimulus dan juga kenaikan suku bunga acuan menjadi tantangan pada pasar keuangan ke depan. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 7DRRR pada 3.5%, suku bunga pinjaman 4.25% dan suku bunga simpanan 2.75%. Hal tersebut dilakukan guna mendukung progress dari pemulihan ekonomi Indonesia saat ini. Bank Indonesia melihat pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan berpotensi mencapai 4.4%. Optimisme terhadap pemulihan tersebut didukung oleh pemulihan di negara maju seperti Amerika, China, Jepang serta Kawasan Eropa. Faktor positif lainnya adalah kenaikan volume perdagangan dan tingginya harga komoditas internasional dimana Indonesia menjadi bagian yang mendapat momentum kenaikan ekspor pada tahun depan. Tapi kami cukup kecewa, karena Bank Indonesia sendiri tidak memberikan sebuah pandangan khusus terkait dengan rencana kenaikkan tingkat suku bunga The Fed sebanyak 3x pada tahun depan. Pelaku pasar dan investor justru menurut kami membutuhkan hal tersebut, sebagai bagian dari persiapan dalam menghadapi rencana kenaikkan tingkat suku bunga The Fed.