Impor Masih Lesu, BPS : Pemerintah Harus Waspada

Foto : istimewa

Pasardana.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  neraca perdagangan impor selama bulan Juli 2020 mengalami penurunan sebesar 2,73 persen dari posisi Juni menjadi 10,47 miliar dolar AS.

Salah satu kelompok yang mengalami penurunan yakni bahan baku yang menjadi salah satu tolok ukur kegiatan industri dalam negeri.

"Kalau kita lihat penyebabnya penurunan ini terjadi karena adanya penurunan impor non-migas sebesar 5,7 persen," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam konfrensi pers melalui video teleconference di Jakarta, Selasa (18/8/2020).

Sementara untuk impor migas justru mengalami kenaikan yang cukup tinggi yakni mencapai 41,53 persen, dimana importasi minyak mentah menjadi yang paling tinggi.

Sementara itu, secara tahunan atau year on year (yoy) impor migas mengalami penurunan sebesar 45,19 persen. Dari 15,52 miliar dolar AS pada Juli 2019, menjadi 10,47 miliar dolar AS pada Juli 2020.

Sedangkan impor non-migas juga mengalami penurunan secara YoY. Yakni 30,95 persen. Dari 13,77 miliar dolar AS pada Juli 2019, menjadi 9,51 miliar dolar AS pada Juli 2020.

"Dari gambaran ini kita bisa melihat bahwa memang kita belum kembali ke arah yang normal," kata Kecuk.

Penurunan impor nonmigas terbesar Juli 2020 dibandingkan Juni 2020 adalah golongan kendaraan dan bagiannya senilai 157,9 juta dolar AS (42,77 persen), sedangkan peningkatan terbesar adalah golongan mesin dan perlengkapan elektrik senilai 220,9 juta dolar AS (15,77 persen).

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Juli 2020 adalah Tiongkok senilai 21,36 miliar dolar AS (29,31 persen), Jepang 6,75 miliar dolar AS (9,26 persen), dan Singapura 4,86 miliar dolar AS (6,66 persen).

Impor nonmigas dari ASEAN senilai 13,94 miliar dolar AS (19,12 persen) dan Uni Eropa senilai 5,77 miliar dolar AS (7,91 persen).

Nilai impor seluruh golongan penggunaan barang selama Januari–Juli 2020 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan terjadi pada golongan barang konsumsi (7,15 persen), bahan baku/ penolong (17,99 persen), dan barang modal (18,98 persen).

Dari total realisasi impor tersebut, data menunjukkan, mayoritas impor didominasi oleh bahan baku sebesar 70,85 persen. Selanjutnya diikuti impor barang modal 18,79 persen dan barang konsumsi 10,63 peren.

Suhariyanto mengatakan, selain bahan baku yang perlu dijaga, kegiatan impor barang modal juga menjadi indikator yang penting untuk indikator pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi.

Oleh karena itu, ia menegaskan, impor bahan baku dan barang modal wajib menjadi perhatian pemerintah demi mendorong industri dalam negeri terus berproduksi menghasilkan produk.

"Ini perlu perhatian karena akan berpengaruh kepada industri manufaktur. Jadi pemerintah harus mewaspadai dengan berbagai cara sehingga pergerakan industri tidak terganggu," pungkas Suhariyanto.