ANALIS MARKET (04/6/2020) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat Terbatas
Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, capital inflow yang wow, membuat Rupiah jadi ikutan wow.
Hingga tanggal 29 May kemarin, pasar obligasi mengalami inflow sebesar Rp 16.3m, meskipun datanya sedikit tertinggal, namun yang menarik adalah capital inflow di pasar saham per tanggal 3 June kemarin sudah senilai IDR 1.5 T.
Tentu ini menjadi sebuah tolok ukur bahwa penguatan Rupiah memang didominasi oleh masuknya capital inflow khususnya ke dalam pasar modal, meskipun tidak sebanyak saham, namun pasar obligasi masih mengalami inflow, sehingga hal ini yang membuat pasar obligasi juga beranjak mengalami kenaikkan.
Saat ini imbal hasil obligasi sudah mulai menguji titik support di 7%, apabila imbal hasil 10y mengalami penurunan di bawah 7%, maka imbal hasil 10y akan menuju 6.85%.
Too good to be true? Well, dengan situasi dan kondisi seperti saat ini tidak berubah, maka mungkin saja imbal hasil kembali mencoba menuju 6.85%, namun tidak dalam waktu yang singkat.
Selama ekspektasi dan harapan masih kuat mendominasi pasar, maka 6.85% bukan sesuatu yang mustahil.
Namun sejauh ini, kita belum melihat data pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ke dua nanti.
Apa yang akan terjadi nanti mungkin cukup menarik apabila ternyata pertumbuhan data ekonomi kembali mengalami penurunan, apakah investor akan mengabaikan atau terus memperhatikan, akan menjadi arah pasar berikutnya.
Meskipun kami melihat bahwa investor akan mengabaikan data data ekonomi yang ada, karena gegap gempitanya pelonggaran PSBB.
Lebih lanjut analis Pilarmas menilai, diperdagangan Kamis (04/6) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat terbatas, tetap hati hati dengan penguatan pasar obligasi saat ini.
Bagi yang belum punya posisi, alangkah baiknya menunggu. Namun bagi yang sudah memiliki posisi dan masuk ke dalam portfolio for sale, mungkin bisa merealisasikan keuntungannya sedikit dari portfolio yang dimiliki.
Adapun cerita menjelang akhir pekan akan berlanjut dengan kisah dari;
1.BUMBU PENYEDAP RASA
Lagi-lagi tidak sedap rasanya kalau sebuah hubungan tidak ada bumbu bumbu penyedap rasanya. Kali ini bumbu penyedap rasanya datang dari Pemerintahan Trump yang menangguhkan penerbangan ke Amerika yang dilakukan oleh maskapai penerbangan China. Hal ini dilakukan sebagai bentuk balasan setelah sebelumnya China melarang maskapai penerbangan Amerika untuk memasuki kembali China. Peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 16 June 2020, atau mungkin dapat terjadi lebih cepat apabila Trump menginginkannya. Hal tersebut tentu memberikan kenaikkan tensi hubungan yang lebih tinggi lagi antara Amerika dan China, setelah sebelumnya hubungan kedua negara ini terus memanas. Disatu sisi, China telah menghentikan impor produk pertaniannya setelah sebelumnya Amerika akan menghentikan beberapa kebijakan special dan berbeda untuk Hong Kong. China telah mencegah operator penerbangan dari Amerika untuk memulai kembali jasa layanannya ke China, sementara 4 maskapai penerbangannya masih mempertahankan penerbangan ke dan dari bandara Amerika tahun ini ketika wabah virus corona meletus. Sejauh ini larangan tersebut lebih kepada penerbangan untuk penumpang, namun belum ada larangan lebih jauh lagi terhadap angkutan udara antara Amerika dan China. Sejauh ini Fed Ex Corp dan United Parcel Services Inc. masih terus meningkatkan layanan operasinya di China untuk memenuhi permintaan pasokan kesehatan dan peralatan lainnya. Kedutaan besar China di Washington masih belum memberikan komentarnya terkait akan hal tersebut. Department Transportasi pada tanggal 22 May silam mengatakan bahwa China telah melanggar perjanjian bilateral yang memungkinan layanan penerbangan antara kedua negara. Sebetulnya Delta akan mencoba untuk melanjutkan penerbangannya ke China pda tanggal 1 June, tetapi Pemerintah China menolaknya karena belum menyetujui penerapannya. Saat ini Delta sedang mencari cara untuk memulai kembali penerbangannya antara Detroit dan Shangai serta Seattle, yang dimana keduanya berhenti di Seoul. Sebagai informasi, penerbangan antara kedua negara tersebut pada awal bulan January masih melakukan 325 kali penerbangan yang sudah terjadwal setiap minggunya, dan mengalami penurunan drastis hanya menjadi 20 kali per minggu oleh 4 operator penerbangan China. Sejauh ini kami rasa, meskipun hubungan antar kedua negara kembali mengalami kenaikkan tensi, namun siapa yang peduli? Saat ini pelaku pasar dan investor sedang tertutup oleh ekspektasi dan harapan akan pembukaan kembali perekonomian yang akan mendorong optimisme bahwa yang terburuk sudah berlalu. Tentu kita aminkan! namun data di atas kertas, tidak bisa kita hindarkan. Melihat beberapa data PMI yang keluar dari Amerika, Europe, China dan Jepang, kami melihat ada sedikit kenaikkan meskipun tidak banyak, kecuali data PMI dari China yang mengalami kenaikkan lebih tinggi dari yang lainnya. Namun yang menarik adalah data Factory Orders dan Durable Goods Orders dari Amerika masih terus mengalami penurunan, ini yang harus menjadi perhatian. Tapi lagi lagi, saat ini itu semua sudah tidak ada artinya lagi, karena saat ini focus utamanya adalah menikmati rasa kasmaran antara ekspektasi dan harapan. Fokus selanjutnya adalah menantikan pertemuan Bank Sentral Eropa yang akan berlangsung pada sore hari nanti yang dimana akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai stimulus. Apabila hari ini Bank Sentral Eropa menyampaikan stimulus akan segera bergerak, tentu hal tersebut akan membuat pasar semakin merona.
2.AUSTRALIA SUDAH LHO
Pada akhirnya ekonomi Australia sudah memasuki resesi. Hal tersebut disampaikan setelah data pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan pada kuartal terakhir setelah melawan virus corona. Biro Statistik Australia menunjukkan bahwa perekonomian Australia mengalami kontraksi sebesar 0.3% pada kuartal yang berakhir pada bulan Maret. Penurunan ini merupakan yang pertama dalam kurun waktu 9 tahun. Penurunan tersebut pada akhirnya membuat pertumbuhan secara tahunan menjadi 1.4%, dan angka tersebut merupakan yang paling rendah sejak krisis keuangan global pada tahun 2009 silam. Bendahara atau Treasurer, Josh Frydenberg mengatakan dengan tegas bahwa kontraksi pada bulan Juni nanti, mungkin akan jauh lebih besar dari apa yang terjadi pada bulan Maret lalu. 2/4 kontraksi perekonomian secara berturut turut akan memberikan suatu tanda resesi secara teknis untuk pertama kalinya sejak awal 1990an, dan ini mengakhiri pertumbuhan yang merupakan terpanjang di dunia. Konsumsi rumah tangga merupakan hambatan terbesar pada pertumbuhan kuartal terakhir, dengan penurunan terbesar dalam bentuk pengeluaran pakaian, mobil, transportasi, pariwisata, hotel, kafe dan restaurant. Bank Sentral Australia telah melangkah dengan memangkas tingkat suku bunga ke rekor terendahnya yaitu 0.25% disertai juga dengan meluncurkan program pembelian obligasi pemerintah tanpa batas. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga mengeluarkan rencana stimulus fiscal dalam jumlah yang besar termasuk skema subsidi upah tenaga kerja senilai A$60 miliar. Sebelumnya Bank Sentral Australia juga belakangan terlihat suram mengenai perekonomian negara kangguru tersebut, namun dengan tingkat kesehatan yang saat ini jauh lebih baik, dapat memberikan kesempatan kepada Australia untuk melakukan pembukaan lebih awal terhadap perekonomiannya. Namun yang tersulit menurut kami juga adalah penurunan aktivitas ekonomi dalam kuartal ke 2 nanti, sebelum pada akhirnya mengalami pemulihan pada Q3 nanti. Tapi sebagai catatan, untuk mencapai pemulihan perekonomian dalam kondisi penuh, masih akan membutuhkan waktu lebih lama, karena tentu harus membuka pembatasan, ditambah dengan pembuatan jadwal mengenai pariwisata internasional. Sebagai catatan penting, sama seperti di Indonesia, bahwa pemulihan penuh dapat terwujud dengan catatan bahwa kesehatan dan ekonomi dapat berjalan beriringan, sehingga membutuhkan waktu untuk keduanya saling melengkapi. Ekspektasi dan harapan memang penting, namun sudut pandang dari sisi realistis juga merupakan sesuatu yang harus dipahami.
“Kami masih merekomendasikan beli hari ini dengan volume kecil,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Kamis (04/6/2020).

