ANALIS MARKET (10/9/2019) : Harga Obligasi Diproyeksi Variatif

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, pasar obligasi mengalami kenaikkan imbal hasil kemarin (09/9), meskipun tidak banyak, tapi cukup baik, karena biasanya apabila mendekati lelang justru pasar obligasi mengalami penurunan harga yang mengakibatkan imbal hasil menjadi naik.

Ketika imbal hasil naik, tentu penawaran yang masuk juga akan mengakibatkan permintaan imbal hasil menjadi tinggi.

Namun sejauh ini kenaikkan tersebut hanyalah reaksi positif saja terhadap prospek perekonomian, meskipun minggu ini merupakan minggu yang minim sentiment, sehingga tidak akan memberikan impact terlalu besar kepada pasar.

Lebih lanjut, analis Pilarmas menyebutkan, diperdagangan Selasa (10/9) pagi ini, pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariatif, dengan terfokus kepada lelang.

Hasil lelang akan menjadi arah bagi pergerakan pasar obligasi selanjutnya. Sarapan pagi telah tersedia dari sentiment pertemuan Bank Sentral Eropa.

Wacana untuk terjadinya pelonggaran kuantitatif dan substansial atau kita menyebutkan Quantitative Easing menjadi tema yang sedang hangat dibicarakan.

Hal ini diperdebatkan setelah sebelumnya Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi mengkonfirmasi bahwa Mario sedang menjajaki langkah langkah untuk meningkatkan ekonomi Zona Euro yang beranggotakan 19 Negara, yang dimana inflasi terus menerus rendah dan pertumbuhan ekonomi yang lamban.

Oleh sebab itu wacana mengenai pemotongan tingkat suku bunga, tingkat deposito yang bertingkat, serta Quantitative Easing terus menjadi bahan pembicaraan.

Namun, beberapa Presiden Bank Sentral dari Prancis, Estonia, Dewan Eksekutif ECB, Bank Sentral Belanda, dan Bundesbank, menyatakan bahwa mereka ragu bahwa Quantitative Easing akan dimulai kembali.

Program Quantitative Easing telah lama menjadi kontroversial di Jerman, dimana pengadilan konstitusional menyatakan bahwa pembelian surat utang oleh Bank Sentral Eropa dilarang berdasarkan hukum Uni Eropa.

Tidak hanya itu saja, perang perdagangan antara Amerika dan China, serta Dollar yang kuat telah membebani kondisi keuangan global, sehingga mengurangi permintaan untuk ekspor dari Kawasan Euro, kekacauan Brexit yang tidak ada ujungnya menjadi penyebab pelemahan ekonomi di Kawasan ini.

Namun, kami melihat bahwa apabila terjadi Quantitative Easing tahap 2, tentu hal ini dapat memberikan dorongan yang lebih bermakna untuk situasi dan kondisi moneter serta pembiayaan.

Analis dari Kawasan Euro menyatakan bahwa Quantitative Easing tahap 2 bisa sekitar 1/3 dari 2.6 triliun Euro atau ($2.88 Trilliun) yang telah disuntikkan ke Quantitative Easing tahap 1.

Kalau hanya penurunan tingkat suku bunga yang mungkin akan dilakukan pada hari Kamis nanti, tanpa adanya Quantitative Easing mungkin akan menjadi sia sia, karena perlambatan yang terjadi saat ini sudah cukup mengkhawatirkan.

Beberapa Ekonom di Zona Euro juga mengatakan, bahwa untuk menutupi kesenjangan inflasi 0.5%, setidaknya diperlukan 600 Miliar Euro pada Quantitative Easing tahap ke 2 nanti.

Kami melihat bahwa apabila Quantitative Easing tahap ke 2 nanti jadi dilaksanakan, kami berharap bahwa nilai pembelian tersebut sebesar 50 miliar euro per bulan dan dilakukan selama rentang 12 bulan.

Hal ini akan mendorong perekonomian di Kawasan Zona Euro, karena apabila hanya mengandalkan pemotongan tingkat suku bunga, tampaknya stimulus tidak akan berhasil.

Kita jalan jalan sebentar ke Inggris, tampaknya Boris Johnson tetap memaksakan keinginannya untuk mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.

Namun kami melihat hal ini akan memberikan ketidakpastian baru yang berkepanjangan di tahun tahun yang akan datang.

Anggota Parlement Inggris saat ini telah terlibat dalam pertempuran yang paling bersejarah atas prospek Brexit yang yang tidak sepakat, koalisi lintas partai sedang mencari Undang Undang untuk memblokir Boris Johnson untuk membawa Inggris keluar tanpa kesepakatan pada 31 October.

Apabila Inggris tetap pergi tanpa kesepakatan, pengenaan tarif dan non tarif antara Inggris serta mitra dagang akan menjadi kejutan besar bagi perekonomian.

Ekonomi Inggris tetap akan beradaptasi dengan keluar dari Uni Eropa, namun tentu suka atau tidak suka, tentu akan memberikan hal yang tidak baik bagi ekonomi Inggris itu sendiri.

Organisasi UNCTAD mengatakan bahwa Brexit yang tidak memiliki kesepakatan akan merugikan Inggris setidaknya $16 Miliar dalam penjualan terhadap Uni Eropa yang hilang. Hal itu akan mencakup $5 miliar dalam bentuk ekspor kendaraan bermotor, $2 miliar pada produk hewani, dan $2 miliar untuk pakai jadi dan tekstil.

Tekanan Brexit akan semakin berasa karena Boris Jonhson tidak mengindahkan peraturan untuk mengeluarkan Brexit dengan kesepakatan.

Oleh sebab itu, meningkatnya ketidakpastian Brexit akan membuat ketidakpastian dunia bertambah.

“Kami merekomendasikan wait and see dan ikuti lelang hari ini,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Selasa (10/9/2019).