ANALIS MARKET (29/7/2019) : IHSG Memiliki Peluang Bergerak Melemah

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, mengawali pekan terakhir Juli ini, Senin (29/7/2019), para pelaku pasar menyoroti sentiment yang diawali berita dari Amerika dan China yang akan bertemu di hari Senin ini untuk membahas mengenai kesepakatan dagang yang masih tidak kunjung usai.

Pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung 2 hari, ketegangan pertemuan kedua Negara tersebut juga masih akan menyelimuti.

Apalagi kalau kita flashback kebelakang, investigasi terhadap FedEx Corp yang secara keliru mengubah rute paket Huawei ke Amerika menemukan pelanggaran hukum tambahan.

Kesepakatan dagang ini mempertaruhkan sesuatu yang sangat besar yaitu kesehatan ekonomi global yang masih terus membawa beban akan kesepakatan yang tidak kunjung usai.

IMF terus memangkas estimasi pertumbuhan ekonomi global. Sekali lagi kami mengingatkan bahwa tuntutan China masih berada dalam 3 hal; Penghapusan semua tarif yang ada, perjanjian yang seimbang, adil, dan setara, serta target yang realistis untuk pembelian produk Amerika.

Selama hal ini tidak ada kemajuan, tampaknya akan sulit bagi Amerika dan China untuk menghanturkan kata sepakat. Amerika harus menghapus semua tarif tambahan terlebih dahulu jika ingin mencapai kata sepakat yang dimana menunjukkan kesetaraan dan rasa hormat kedua Negara.

Permintaan Amerika pun masih berada pada reformasi structural terhadap perekonomian China, perlindungan yang lebih besar terhadap Hak Kekayaan Intelektual, dan hubungan perdagangan yang seimbang. Robert dan Steven yang berangkat hari ini mengatakan bahwa kami ingin kembali ke perjanjian pada bulan Mei lalu yang dimana 90% perjanjian sudah hampir selesai.

Presiden Donald Trump sendiri mengatakan bahwa China tampaknya mungkin akan menunggu kesepakatan dengan Amerika setelah Pemilu Presiden Amerika pada tahun 2020 nanti.

China tampaknya lebih suka mengatakan kesepakatan dengan Demokrat imbuh Trump. Ketika nanti Saya menang, mereka akan segera menandatangani kesepakatan tersebut.

Pekan ini merupakan pekan yang ditunggu oleh banyak orang, pekan dimana sebuah penantian akan disampaikan khususnya pertemuan FOMC meeting yang akan berlangsung 31 July nanti.

Sejauh ini pasar kompak mengatakan bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunganya sebesar 25 bps, apabila pemangkasan tersebut dilakukan, hal ini akan menjadi yang pertama kalinya dalam kurun waktu 1 decade.

Namun dari 100% probabilitas kenaikkan tingkat suku bunga The Fed pada FOMC meeting dibulan July nanti, 5% diantarakan mengatakan tidak akan ada perubahan, 10% diantaranya menginginkan pemotongan sebesar 10%, dan 85% sisanya menginginkan pemotongan sebesar 25 bps.

Sejauh ini 25 bps, merupakan angka yang sudah tepat menurut kami, karena apabila kita menilik data ekonomi yang keluar, data ekonomi Amerika juga tidak dapat dikatakan buruk, masih ada beberapa data ekonomi yang mampu mengimbanginya.

“Oleh sebab itu kami melihat bahwa apabila ada pemotongan tingkat suku bunga pun, nilainya seharusnya sebesar 25 bps,” jelas analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Senin (29/7/2019).

What’s next? Pasar menginginkan pelonggaran lebih besar kedepannya sebesar 25 bps lagi. Tentu hal ini bukan perkara yang mudah.

Kami mengingatkan sekali lagi bahwa keputusan berada di The Fed, itu artinya tidak menutup kemungkinan bahwa FOMC meeting pada bulan July nanti tidak akan mengubah apa apa, meskipun nantinya pasar akan kecewa.

Justru ada kemungkinan yang cukup besar bahwa pemangkasan tingkat suku bunga The Fed akan terjadi pada bulan September atau October nanti. Pertemuan The Fed yang berlangsung pada hari Rabu nanti tidaklah sendiri, ada Bank Sentral Jepang yang mengadakan pertemuan pada hari Selasa.

Memang tidak banyak impact yang dihasilkan, namun tentu kita juga harus melihat sudut pandang dari Jepang yang bagaimana pandangan mereka terkait komitmen mereka dengan tingkat suku bunga rendah.

Komisi Eropa telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada pelaku pasar di Benua Biru atas rencana penerapan bea masuk antisubsidi terhadap produk biodiesel asal Indonesia.

Keputusan tersebut menghimbau agar biodiesel Indonesia dengan bea masuk antisubsidi itu sesuai dengan regulasi UE 2016/1037 tentang proteksi pasar oleh otoritas UE terhadap serbuan produk impor bersubsidi dari negara selain anggota blok bermata uang Euro.

Di dalam surat notifikasi tersebut, Komisi Eropa juga memaparkan rencana pengenaan tarif impor untuk perusahaan-perusaah Indonesia yang selama ini memasok biodiesel ke Benua Biru.

Perinciannya antara lain impor biodiesel dari Musim Mas dikenai bea masuk 16,3%, dari Permata Group 18%, dan Wilmar Group 15,7%.

Sementara itu, impor biodiesel dari perusahaan lain asal Indonesia dikenai tarif impor sebesar 18%. Surat pemberitahuan tersebut sempat memantik lonjakan drastis pada harga fatty acid methyl ester (FAME 0) di Eropa.

Komoditas tersebut merupakan produk biodiesel utama yang diekspor Indonesia ke Uni Eropa.

Kebijakan bea masuk antisubsidi terhadap produk biodiesel asal Indonesia akan diberlakukan secara provisional per 6 September 2019 dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.

“Kami melihat tekanan terhadap Palm Oil masih cukup besar apalagi untuk dapat bersaing dengan produk Eropa,” jelas analis Pilarmas.

“Adapun secara teknikal, kami melihat saat ini IHSG memiliki peluang bergerak melemah dan ditradingkan pada level 6.297 - 6.369,” jelas analis Pilarmas.