Outlook Perbankan 2020: Keketatan Likuiditas dan NPL Ancam Perbankan Nasional

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - IDX Channel menyelenggarakan special event Economic Outlook Perbankan 2020 di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, (4/11) yang membahas ketegangan hubungan dagang AS dan Tiongkok yang berlanjut, diikuti risiko geopolitik terus menekan perekonomian dunia yang menyebabkan ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi. 

"Dampak dari perang dagang yang terjadi antara Amerika dan China berdampak besar terhadap perekonomian dunia, salah satunya Indonesia. Dampaknya terhadap perbankan dalam melakukan fungsi intermedia," ujar Raden Pardede Komisaris Independen Bank Central Asia dilansir dari siaran pers, Selasa (5/11).

Dia berpendapat, capital market saat ini harus berperan signifikan di dalam mendorong perekonomian.

"Saat ini terjadi kekeliruan jika perbankan yang diharapkan mendorong perekonomian, justru dari capital market," ucap Raden Pardede.  

Dalam acara yang bertema 'Keketatan Likuiditas dan Ancaman NPL Ancam Perbankan' ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memprediksi kondisi likuiditas ketat masih dialami perbankan pada 2020. Pasalnya, tingkat ekspansif penyaluran kredit tidak diimbangi dengan pertumbuhan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang memadai. 

Sementara itu, Kepala Eksekutif LPS, Fauzi Ichsan memperkirakan, rasio pembiayaan terhadap pendanaan (Loan To Deposit Ratio/LDR) industri perbankan di 2020 mencapai 100,6 persen, sementara di akhir 2019 sebesar 96,8 persen.

“Tingkat LDR yang diproyeksikan LPS tersebut di atas ketentuan batas atas Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) Bank Indonesia yakni sebesar 94 persen. Sementara batas bawah RIM ditetapkan BI sebesar 84 persen," ucap Fauzi Ichsan. 

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), La Ode  Saiful Akbar menilai, keberpihakan perbankan terhadap pengusaha dalam hal ini kontrak, juga masih minim. Sehingga kontraktor kesulitan mengakses pembiayaan perbankan. 

“Yang terjadi saat ini, pihak perbankan sangat minim mengucurkan pinjaman kepada kami. Ini juga menjadi kendala kita untuk berusaha,” ucap La Ode  Saiful.

Dijelaskan, kenaikan tarif dagang oleh AS dan Tiongkok yang terus berlangsung makin menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.

Perekonomian AS tumbuh melambat akibat penurunan ekspor dan investasi nonresidensial. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, Tiongkok dan India juga berlanjut, dipengaruhi penurunan ekspor dan kemudian berdampak pada penurunan permintaan domestik. 

Perekonomian dunia yang melambat telah mendorong harga minyak dan komoditas global kembali menurun, yang kemudian mengakibatkan pada rendahnya tekanan inflasi. Kondisi ini direspons banyak negara dengan melakukan stimulus fiskal dan melonggarkan kebijakan moneter.

Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi telah mendorong pergeseran penempatan dana global ke aset yang dianggap aman seperti obligasi Pemeritah AS dan Jepang, serta komoditas emas, meskipun aliran modal ke negara berkembang tetap terjadi.

Dinamika ekonomi global tersebut perlu menjadi perhatian karena dapat memengaruhi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga arus masuk modal asing sebagai penopang stabilitas eksternal.

Menyikapi hal tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober 2019 lalu memutuskan menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,75%. 

Kebijakan tersebut konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil investasi keuangan domestik yang tetap menarik, serta sebagai langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.

Kebijakan tersebut juga didukung strategi operasi moneter yang terus diperkuat untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendukung transmisi bauran kebijakan yang akomodatif.