IHSG Sempat Anjlok, Ekonom Soroti Ekonomi Politik hingga Danantara

foto: ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Pasar modal Indonesia mengalami tekanan signifikan dalam beberapa hari terakhir, yang ditandai dengan penurunan tajam harga saham. 

IHSG tercatat turun lebih dari 11% dalam tiga bulan terakhir, dari 7.163 menjadi 6.146 saat ini. 

Menanggapi kondisi ini, Prof. Didik J. Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Rektor Universitas Paramadina, menekankan bahwa faktor utama yang memicu gejolak tersebut adalah dinamika ekonomi politik.

"Pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Yang pertama dan terang benderang faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik. Yang harus dan wajib diingat oleh pemerintah, pemimpin dan pengambil keputusan lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik, sebaliknya masalah terbesar dari politik adalah ekonomi," ujar Prof. Didik dikutip Kamis (20/3/2025).

Menurutnya, umumnya kehadiran pemerintah baru disambut positif oleh pasar karena pemilihan umum dianggap sebagai penyegaran kepemimpinan.

Namun, jika proses demokrasi diwarnai tekanan, politik uang, dan penyimpangan politik yang memanipulasi rakyat sehingga tidak benar-benar nyata dukungan riilnya.

Tapi politik seperti ini adalah yang maksimal dihasilkan oleh suatu sistem pemerintahan dan rakyatnya, yang kemudian diuji dalam perjalanan kepemimpinan dan pemerintahan baru.

Lebih lanjut, Prof. Didik menyoroti IHSG yang terjungkal ini tidak lain karena faktor politik dimana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan yang dilakukan selama ini.

Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih instrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik.

“Jangan anggap remeh politik TNI yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi. Demokrasi yang dibangun kembali pada masa reformasi setelah jatuh selama 30 tahun dianggap bisa tergelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam etatisme, militerisme, dwi fungsi dan hal-hal lain yang merusak masa depan demokrasi. Ekosistem demokrasi sudah rusak semasa Jokowi, dengan harapan bernas lagi, dengan kepemimpinan baru tidak bisa dilihat kembali masa depannya. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain," katanya.

Ditambahkan, salah satu penyebab utama yang disoroti adalah kebijakan ekonomi yang dinilai tidak terencana dengan baik, seperti pembentukan Danantara yang disahkan DPR dalam waktu singkat.

Menurutnya, ide pembentukan Danantara bagus, bisa menjadi Temasek versi Indonesia.

Tetapi jika kebijakan dieksekusi secara terburu-buru dan tanpa transparansi, dampaknya justru negatif.

Terbukti, setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025, investor asing langsung menarik Rp24 triliun, termasuk Rp3,47 triliun dalam sehari.

“Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah, DPR, kabinet seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan diterima pasar,” ungkap Prof. Didik.