IESR Kritisi Pernyataan Adik Prabowo soal JETP dan Pemensiunan PLTU
Pasardana.id - Pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, dalam ESG Sustainability Forum 2025 mendapat respons dari para pemerhati energi.
Terutama setelah Hashim menyebut ada kegagalan di Just Energy Transition Partnership (JETP).
Selain itu, Hashim juga menilai rencana penutupan PLTU akan menjadi "bunuh diri ekonomi".
Menanggapi hal itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pernyataan Hashim mengenai kegagalan JETP tidak akurat, keliru dan tidak berdasarkan data.
Menurut IESR, sesuai dengan kesepakatan JETP, yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG), inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi di sektor kelistrikan, meningkatkan bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan dan mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 di 2030.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa pun mendesak pemerintah Indonesia untuk meningkatkan komitmen melakukan transisi energi mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal.
Ia menekankan, agar Pemerintah Indonesia tidak gamang atas keputusan Trump keluar dari Persetujuan Paris, serta implikasi kebijakan “American First” di bidang energi terhadap JETP.
"Kesepakatan JETP tidak bersandar pada pemerintah Amerika Serikat semata, karena IPG terdiri dari banyak negara dan lembaga pendanaan internasional, yang tetap berkomitmen menyokong pendanaan transisi energi di Indonesia melalui inisiatif ini," ujar Fabby dikutip Senin (3/2/2025).
Selain itu, Fabby juga menilai, justru mempertahankan energi fosil dan tetap mengoperasikan PLTU batubara yang berisiko menjadi “bunuh diri ekonomi”.
Hal ini akan membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi, menekan biaya penyediaan energi, serta mengurangi subsidi karena mengabaikan kesempatan membangun pembangkit energi terbarukan dengan skala yang lebih besar.
"Keterlambatan membangun energi terbarukan dengan skala besar akan melemahkan daya saing Indonesia dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dan menghambat masuknya investasi asing di bidang manufaktur, digital dan industri pengolahan lanjutan, yang diperlukan Indonesia saat ini dan di masa depan," tutur Fabby.

