Utang Garuda Capai Rp143 Triliun, Dirut Mengaku Kewalahan
Pasardana.id - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (IDX: GIAA) tercatat masih memiliki tagihan utang perusahaan senilai Rp143 triliun.
Besaran utang tersebut terlihat dari keterangan yang diunggah dalam situs resmi PKPU Garuda.
Dalam unggahan tersebut, utang terhitung per 14 Juni 2022 dengan rincian utang terdiri dari; Daftar Piutang Tetap (DPT) perusahaan lessor sebanyak Rp 104,37 triliun, DPT perusahaan non lessor sebesar Rp 34,09 triliun, dan DPT preferen sebesar Rp 3,95 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengaku kewalahan dalam mengurus penyelesaian utang ini.
Pasalnya, proses restrukturisasi yang dilakukan untuk menyelesaikan utang-utang tersebut, termasuk proses pengajuan perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tengah berlangsung, sangat kompleks.
“Jadi ini harus diakui adalah salah satu restrukturisasi yang kompleks, karena nilainya besar dan melibatkan banyak pihak,” ujar Irfan, di Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Irfan mengatakan, salah satu kesulitan yang dihadapi adalah negosiasi dengan para kreditur besar, termasuk perusahaan lessor pesawat.
"Memang tak bisa dinafikkan yang besar ini, atau lessor ini complicated. Karena bicara kita bukan utang tapi kerja sama kita ke depan bagaimana. Kan pesawat mereka di sini kan," ujar Irfan.
Adapun jadwal pengambilan suara persetujuan proposal perdamaian bagi kreditur pemegang hak voting akan berlangsung hari Jumat, 17 Juni 2022.
Dalam proses pemungutan suara, Garuda memiliki target untuk memperoleh suara 50 plus 1 persen dari headcount kreditur.
Selain itu, Garuda mesti mengejar 67 persen klaim dari kreditur non-preferen yang memiliki hak voting.
Irfan menuturkan, selama proses negosiasi, terjadi berbagai perubahan agar kreditur perseroan menyepakati proposal perdamaian.
Misalnya, nilai penerbitan surat utang yang semula US$ 800 juta berubah menjadi US$ 825 juta karena permintaan kreditur.
Penerbitan surat utang itu merupakan salah satu instrumen restrukturisasi pembayaran kewajiban utang bagi kreditur dengan nilai tagihan di atas Rp 255 juta.
“Tambahan US$ 25 juta itu major buat kita. Itu sudah nilai akhir karena ada yang minta US$ 50 juta. Akhirnya sepakat US$ 25 juta, jadi US$ 825 juta,” ujar Irfan.
Lebih lanjut Irfan mengungkapkan, mayoritas kreditur umumnya ingin memaksimalkan return atau pengembalian.
“Ini ya melelahkan, tapi overall positif,” ucapnya.
Meski demikian, ia menyebutkan, lebih dari 50 persen kreditur telah sepakat untuk mendukung proses PKPU Garuda.
“50 persen kreditur (headcount) yang termasuk di dalamnya mayoritas lessor serta sejumlah kreditur dengan nilai kewajiban usaha yang cukup signifikan, akan mendukung proposal perdamaian pada pemungutan suara besok,” kata Irfan.

