ANALIS MARKET (25/3/2021) : Pasar Obligasi Berpotensi Menguat

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, ditengah penurunan US Treasury pemirsa, pasar obligasi kita menunjukkan kekuatan yang ciamik pada perdagangan obligasi kemarin.

Pasar obligasi pun pelan tapi pasti mulai mengalami kenaikkan secara harga kembali yang diakibatkan redanya volatilitas US Treasury meskipun dapat kita katakan masih belum dalam batas yang aman.

Sejauh ini, kami berharap bahwa turunnya imbal hasil obligasi menjadi sesuatu yang baik bagi pasar obligasi dalam negeri, oleh sebab itu, kami melihat bahwa saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk mulai membeli secara bertahap.

Memang benar ada potensi bahwa pasar obligasi akan mengalami penurunan secara harga, namun kami juga yakin secara jangka menengah hingga panjang, pasar obligasi masih akan kembali pulih.

Nah, berita kali ini, datang dari Bank Sentral Korea yang sangat menenangkan, tatkala mereka ternyata juga mengkhawatirkan ekspektasi inflasi yang mengalami kenaikkan. Namun sosok Gubernurnya yang memberikan kita keyakinan bahwa Bank Sentral Korea belum akan menaikkan tingkat suku bunganya.

Namun yang jadi masalah adalah Brazil, yang kemarin (24/3), pada akhirnya mereka menyerah dengan menaikkan tingkat suku bunganya sebanyak 75 bps. Tentu hal ini merupakan suatu cerita tersendiri, karena menurut Bank Sentral Brazil, mereka tidak yakin untuk terus memberikan stimulus terus menerus di kala pandemic merupakan sesuatu yang sangat baik.

Tidak hanya Brazil, namun Chili pun berpotensi untuk menaikkan tingkat suku bunga akibat tekanan kenaikkan ekspektasi inflasi. Hal ini yang harus kita cermati bahwa ternyata tidak semua Negara emerging market itu kuat menghadapi tekanan ekspektasi inflasi.

“Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka menguat dengan potensi menguat. Kami merekomendasikan beli,” sebut analis Pilarmas dalam riset yang dirilis Kamis (25/3/2021).

Adapun cerita di hari Kamis (25/3) ini, akan kita awali dari;

1.BANK KOREA SAJA SUDAH SIAP

Bagi para pemirsa penggemar drama Korea, nah kali ini berita ini datang dari Gubernur Bank Korea, Lee Ju-yeol yang mengatakan bahwa Bank Sentral Korea memproyeksikan bahwa inflasi dan pertumbuhan akan terjadi lebih cepat di tahun ini, namun Bank Sentral Korea tidak akan menaikkan atau mengetatkan kebijakan moneternya lebih awal untuk berjaga jaga jangan sampai resiko keuangan mengalami peningkatan. Lee mengatakan bahwa kinerja ekspor dan investasi mengalami kenaikkan, ditambah dengan adanya anggaran tambahan yang tinggal menunggu persetujuan. Anggaran tambahan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Inflasi diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 1.3%. Lee juga tidak mau kalah keepoh pemirsa, sementara dunia sedang memperhatikan The Fed dan Powell, Lee juga ingin ikut mencuri perhatian dengan mengkomentari prospek pemulihan perekonomian yang lebih cepat tahun ini. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa akan adanya pengetatan kebijakan moneter lebih awal yang akan dilakukan oleh Bank Sentral Korea, meksipun sejauh ini Bank Sentral Korea membantahnya untuk tetap memberikan kebijakan moneter yang longgar. Pandangan positive Lee ini sama dengan pandangan Presiden Moon Jae-in yang menginginkan pemulihan ekonomi yang lebih cepat dan kuat dari proyeksi sebelumnya khususnya tahun 2021. Lee sejauh ini sudah memangkas tingkat suku bunga hingga mendekati 0%, menjadi 0.5% tahun lalu, dan sampai dengan hari ini Lee tetap memegang teguh janjinya untuk menjaga kebijakan agar tetap akomodatif sampai perekonomian menjalani proses pemulihan dengan baik dan keluar dari masa pandemic. Lee mengatakan bahwa memang benar ada potensi bahwa kebijakan moneter akan diperketat lebih awal, karena adanya prospek perekonomian yang lebih baik. Namun itu semua tidak berarti bahwa perekonomian mulai pulih ke dalam track normalnya, dan situasi dan kondisi saat ini tidak memperlukan sesuatu yang terburu-buru untuk menyesuaikan kebijakannya. Beberapa proyeksi dari perusahaan terkemuka juga mengatakan bahwa Korea Selatan tahun ini akan mengalami kenaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari sebelumnya 3.8% menjadi 4.1% yang dipimpin oleh ekspor yang meluas kepada permintaan domestic. Lee juga menegaskan bahwa langkah pemulihan akan sangat bergantung terhadap perkembangan Covid, distribusi vaksin, serta kekuatan industry semiconductor global. Yang menariknya Lee mengatakan bahwa ketegangan antara Amerika dan China juga menjadi salah satu perhatian pemulihan ekonomi global. Apa yang disampaikan Lee merupakan salah satu perhatian kami juga pemirsa, kami tidak bisa bayangkan di tengah fase pemulihan ini, apabila China dan Amerika dapat bersatu, tentu saja pemulihan ekonomi global akan terjadi lebih cepat. Nah disinggung masalah inflasi, Lee mengatakan bahwa permintaan yang mengalami kenaikkan dapat terjadi karena virus corona telah mereda untuk sementara waktu yang dimana hal tersebut dapat menyebabkan kenaikkan harga konsumen. Namun kenaikkan tersebut tidak akan berlanjut seterusnya, sehingga kenaikkan inflasi tidak perlu dikhawatirkan dengan tidak perlunya direspon melalui kebijakan moneter. Kami setuju sekali pemirsa, hal ini yang sebetulnya menjadi perhatian pelaku pasar dan investor terkait dengan kenaikkan ekspektasi inflasi yang terjadi di US. Sekalipun inflasi mengalami kenaikkan, bukan berarti Bank Sentral harus merespon hal tersebut dengan kebijakan moneter. Bank Sentral Korea sendiri mengatakan bahwa inflasi ada potensi mengalami kenaikkan di atas 1% pada kuartal kedua karena adanya penurunan harga minyak yang mendorong naiknya konsumsi. Kenaikkan tersebut diperkirakan akan bertahan hingga semester ke dua tahun ini. Bank Sentral Korea juga sudah berjanji pemirsa, akan terus melakukan pembelian obligasi pemerintah, dan akan menyesuaikan jumlahnya dengan imbal hasil obligasi tersebut. Fokus Bank Sentral Korea adalah menjaga dan mengelola likuiditas setelah membeli merupakan hal yang paling penting. Selisih antara imbal hasil antara obligasi jangka pendek dan panjang juga terus melebar pada bulan Maret ini pemirsa, dengan kenaikkan yang lebih cepat dari yang dibayangkan. Namun penerbitan obligasi stabilitas moneter oleh Bank Sentral Korea dapat disesuaikan dengan variable yang ada, sehingga Bank Sentral Korea siap untuk memenuhi kebutuhan pasar, menanggapi volatilitas yang terjadi. Pembelian obligasi yang dilakukan juga berfungsi sebagai penstabil pasar, namun berbeda dari pelonggaran secara kuantitatif. Well, kami cukup senang dengan sikap yang ditunjukkan oleh Lee sebagai seorang Gubernur dari Bank Sentral. Tenang, menyakinkan, namun siap untuk menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi saat ini tanpa ragu untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan untuk menjaga pasar. Cara Lee merespon kenaikkan inflasi pun ditanggapi tenang oleh Lee, sehingga pasar merasa bahwa sosok inilah yang dibutuhkan untuk menghadapi kenaikkan ekspektasi inflasi yang mendorong US Treasury bergejolak. Pelaku pasar dan investor di Korea pun akhirnya dapat tenang dan percaya, bahwa Bank Sentral Korea tidak akan mengubah tingkat suku bunganya meskipun inflasi mengalami kenaikan.

2.CHINA, PELAN TAPI PASTI

China pelan tapi pasti mengalami penurunan bertahap pada pasar sahamnya pemirsa. Ternyata bukan pelan tapi pasti naik, tapi pelan tapi pasti untuk turun. Hal ini terjadi setelah secara perlahan, Bank Sentral dan Pemerintah mulai keluar dari pasar setelah sebelumnya melakukan pelonggaran moneter untuk memastikan bahwa perekonomian dapat pulih. Indeks CSI 300 telah mengalami penurunan hamper 15% pemirsa sejak naik ke level tertingginya dalam kurun waktu 13 bulan lalu karena kekhawatiran tentang kebijakan moneter yang lebih ketat dapat mempengaruhi proses pemulihan ekonomi. Bank Sentral di seluruh dunia pun mulai harap harap cemas pemirsa, terkait dengan kenaikkan ekspektasi inflasi yang terjadi di Amerika yang memberikan indikasi bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi jauh lebih cepat, sementara negara negara lain masih banyak yang belum siap untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya untuk menopang perekonomiannya. Meskipun sebetulnya negara negara besar katakanlah seperti Amerika, Eropa, bahkan Korea Selatan pun sudah berjanji untuk tidak mengubah tingkat suku bunganya hingga 2023 mendatang atau memastikan bahwa perekonomian memang benar benar pulih. Brazil merupakan negara pertama dari G20 yang menaikkan tingkat suku bunga diikuti dengan Turki, dan Rusia. Pandangan Bank Sentral Norwegia juga jauh lebih hawkish pemirsa. Bagi Brazil, alasan utama mereka menaikkan tingkat suku bunga disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa kenaikkan harga konsumen dapat mendorong inflasi mengalami kenaikkan di masa depan. Bank Sentral Brazil mau tidak mau menaikkan tingkat suku bunga sebesar 75 bps point dari sebelumnya 2% menjadi 2.75%, dan Brazil juga mengatakan bahwa mereka akan menaikkan indicator yang lain dengan besaran yang sama pada bulan May mendatang. Bank Sentral Brazil mengatakan bahwa memperpanjang stimulus selama masa pandemic hanya akan memperburuk prospek fiscal negara, dan menciptakan tekanan ke atas pada proyeksi inflasi. Komite di Brazil pun menyetujUi hal tersebut, karena resiko fiscal tetap tinggi dalam jangka pendek, karena pandemic yang masih dalam situasi dan kondisi sulit. Ada kemungkinan Bank Sentral Chili juga akan melakukan hal yang serupa karena adanya tekanan untuk menaikkan tingkat suku bunga di Emerging Market untuk mengimbangi antara resiko dan ekspektasi. Di China sendiri penurunan harga saham merupakan sesuatu yang wajar karena adanya ekspektasi bahwa Bank Sentral dan pemerintah akan menarik dukungannya terhadap stimulus, karena perekonomian yang mulai membaik. Hal ini lah yang membuat pelaku pasar dan investor khawatir, meskipun sebetulnya kami menyadari bahwa China sebagai negara yang pertama mengeluarkan stimulus, tentu akan menjadi yang pertama mengakhiri stimulus tersebut. Sebagai negara yang sukses mengendalikan wabah virus corona, tentu hal ini memberikan sebuah gambaran bahwa China akan memimpin pemulihan. Partai Komunis sendiri ternyata mengkhawatirkan pemberian stimulus yang berlebihan akan menjadi buah simalakama tersendiri bagi China, karena bagi China mereka tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti pada krisis keuangan pada tahun 2008 yang dimana China beralih kepada kredit untuk meningkatkan perekonomiannya. Alhasil, naiknya utang hingga saat ini dapat memberikan ancaman terhadap stabilitas system keuangan negara. Apabila ternyata Bank Sentral China dan pemerintah akhirnya berhenti untuk memberikan stimulus sedangkan pemulihan masih berjalan, kami cukup khawatir bahwa ternyata respon pasar tidak akan seindah yang dibayangkan pemirsa. Namun kami menyadari bahwa China akan selalu lebih kuat daripada yang kita semua bayangkan. Well, mari kita saksikan terus perkembangan terkait dengan perhentian stimulus dari China ya.