Indeks BEI dan Bursa Regional Kompak Rontok, Analis Sebut Faktor Berikut Ini Penyebabnya. Apa Saja?
Pasardana.id - Bursa saham Asia merosot tajam pada hari Selasa, 6 Februari 2018, seiring dengan bursa saham di Amerika Serikat yang rontok pada perdagangan kemarin (05/2).
Hingga jeda siang ini situasi pasar saham regional Asia masih terus mengalami tekanan, antara lain Nikkei (Jepang) -6,66% , Shanghai (China) -2,15%, Hang Seng (Hong Kong) -4,94%, hingga IHSG (Indonesia) juga turut terkoreksi -2,47 persen.
Semalam (05/2), tekanan jual terus terjadi di Wall Street dengan Dow Jones turun -4,60%, kemudian S&P 500 kehilangan -4,10%, serta Nasdaq Composite terkoreksi -3,78%.
Adapun Indeks Volatilitas Cboe VIX naik 115,6 persen yang disebut indikator kepanikan Wall Street, melonjak 104 persen menjadi 35,02, tingkat tertinggi sejak Agustus 2015, menurut FactSet.
Menurut analis market Pasardana.id, Arief Budiman, faktor utama dari terjadinya panic selling di AS adalah kekhawatiran para pelaku pasar akan kenaikan suku bunga The Fed pada tahun ini, yang diproyeksikan bisa mencapai empat kali, dan yang pertama akan terjadi dalam waktu dekat di bulan Maret.
"Di samping itu, pasar saham juga telah naik tinggi sejak pemilihan Presiden Donald Trump hingga terus mencetak rekor tertingginya atau telah naik sekitar 23,8% sejak kemenangan Trump, sehingga kondisi saat ini pasar saham telah jenuh beli," jelas Arief, di Jakarta, Selasa (06/2/2018) siang.
Ditambahkan, beberapa faktor yang membuat para pelaku pasar yakin akan terjadinya kenaikan suku bunga dalam waktu dekat adalah sinyal perbaikan ekonomi AS yang semakin positif, yang ditunjukkan oleh beberapa data ekonomi seperti : Pertumbuhan lapangan kerja di AS yang naik mencapai 200.000, atau lebih tinggi dari konsensus pasar sebesar 180.000; Tingkat pengangguran di AS yang bertahan pada level 4,10 %; Rata-rata tingkat penghasilan per jam di AS meningkat 2,90% secara tahunan, atau merupakan kenaikan yang terbaik sejak pemulihan ekonomi di tahun 2009; dan Data nonmanufaktur ISM untuk bulan Januari yang menunjukkan kenaikan menjadi 59,9, mengalahkan ekspektasi 56,5.
Lebih lanjut, Arief juga mengungkapkan, kebijakan proteksionisme pedagangan serta reformasi pajak yang telah disahkan pada Desember 2017 lalu, diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi AS yang semakin baik pada tahun ini.

