KSEI Sebut Klaim APT Atas 32,32% Saham BFIN Terlambat

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Permintaan PT Aryaputra Teguharta (APT) atas kepemilikan 32,32% saham PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) dianggap sudah terlambat. Pasalnya, perpindahan saham tersebut sudah terjadi pada tahun 2001 dan hingga kini sudah terjadi perpindangan tangan berkali-kali.

Hal itu disampaikan Direktur PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Syafruddin saat ditemui di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (26/11/2018).

Menurut Syafruddin, pihaknya tidak tidak bisa membatalkan suatu transaksi yang sudah terjadi di pasar modal. Meski demikian, menghalangi perpindahan kepemilikan aset berupa saham yang disengketakan bisa dilakukan KSEI, namun bersifat pencegahan dan melalui mekanisme tertentu.

"Jadi, misalnya ada sesuatu (upaya hukum) yang masih belum jelas kemudian ada permintaan melalui pihak berwenang bahwa saham itu tidak boleh ditransaksikan. Nah itu bisa. Tapi harus saat itu juga," jelas Syafruddin.

Namun saat terjadi peralihan kepemilikan saham sekitar 32,32% seperti diklaim APT pada 2001, APT tidak melakukan upaya dimaksud. Tidak ada juga penghentian sementara transaksi (suspensi) saham BFI Finance.

Terlebih proses transaksi sudah didahului mekanisme yang sesuai dan diatur dalam regulasi pasar modal maupun Perseroan Terbatas (PT). Maka proses transaksi saham sudah memenuhi prosedur dan sah.

"Kan waktu itu nggak di suspensi juga. Maka transaksi terjadi," terusnya.

Pria yang akrab disapa Alex itu, kemudian mencontohkan peristiwa yang menimpa PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) pada Desember 2017. Saat itu, KSEI memenuhi permintaan blokir dari MNCN atas sejumlah transaksi saham tertentu karena diduga ada penggelapan dari pihak yang dititipkan saham perusahaan media itu.

Permintaan pemblokiran saham MNCN ke KSEI pun dilakukan oleh pihak berwenang yaitu Polda Metro Jaya. Dengan begitu, maka dalam proses penyelesaian transaksi (settlement) tidak sampai terjadi perpindahan kepemilikan.

"Nah seperti itu bisa dilakukan. Tapi saat itu juga sehingga transaksi belum selesai dilaksanakan," imbuhnya.

Sebaliknya, jika suatu transaksi sudah terjadi, berjalan lancar, dan sudah bergulir selama bertahun-tahun dan mengalami berbagai aksi korporasi termasuk pemecahan nilai nominal saham (stock split), maka tidak bisa dikembalikan.

“Tidak pernah ada sejarahnya bisa recall. Di KSEI tidak bisa. Artinya, yang sudah tercatat ya sah. Saya kira di bursa (Bursa Efek Indonesia) juga sama," terangnya.

Terkait dengan klaim kepemilikan sekitar 32,32% saham BFI Finance oleh APT, menurut Syafruddin, perlu ditanyakan porsi saham dimaksud itu disimpan di mana?

"Kalau ternyata sudah hilang (pindah tangan) ya mau bagaimana," imbuhnya.

Lebih lanjut, Syafruddin menyarankan, dalam kasus sengketa seperti dialami BFI Finance dengan APT perlu membaca amar putusan secara jelas beserta turunan dari putusannya. Sebab tidak bisa diartikan sekadar menang gugatan, lalu kemudian mengklaim atas gugatan bisa diambilalih.

"Tidak serta merta, saya menang. Oke menang, tapi transaksi (bertahun-tahun sebelumnya) sudah terjadi. Jadi mesti dilihat lagi turunannya supaya tidak menimbulkan dampak bahaya bagi market juga," sarannya.

Seperti diketahui, meskipun objek perkara sudah kadaluarsa alias sudah terjadi pada 2001, PTUN Jakarta tetap mengabulkan gugatan PT Aryaputra Teguharta pada 12 November 2018. Dimana Aryaputra menggugat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM  (Kemkumham) dan meminta Kemenkumham membatalkan 12 produk tata usaha negara (TUN) pada Ditjen AHU yang berkaitan dengan BFI Finance.

Misalnya, pencatatan data BFI Finance, pendaftaran pemegang saham, dan anggaran dasar BFI. Alasannya, seluruh produk TUN Ditjen AHU tersebut diklaim tidak mencantumkan kepemilikan saham BFI oleh Aryaputra.